Pembangunan Prasarana Olahraga di Desa, Upaya Memasyarakatkan Olahraga

Akbar Mia
ASN Kemenpora yang juga seorang adventurir. Menyukai kegiatan luar ruang, hiking, beladiri dan olahraga, terutama Aikido, jogging dan memanah. Alumnus program pascasarjana UI konsentrasi Kajian Stratejik Pengembangan Kepemimpinan
Konten dari Pengguna
20 April 2021 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akbar Mia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi lapangan sepak bola. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lapangan sepak bola. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Salah satu kendala bagi masyarakat dalam berolahraga adalah kurangnya prasarana olahraga yang tersedia. Baik di perkotaan maupun di pedesaan menghadapi permasalahan yang hampir mirip. Masyarakat di perkotaan menghadapi masalah kurangnya lahan untuk berolahraga. Bahkan ada yang memanfaatkan lantai puncak gedung pasar sebagai lapangan untuk bermain sepak bola. Lain lagi dengan masyarakat pedesaan yang umumnya tidak bermasalah dengan lahan untuk berolahraga. Masalah yang kerap mereka hadapi adalah lahan berolahraga yang seadanya, jauh dari kata memadai atau sesuai dengan standar prasarana olahraga yang ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, meluncurkan program bernama Pembangunan 1.000 lapangan desa. Sebuah program prestisius, kalau tidak mau disebut ambisius, yang sejatinya sudah dimulai sejak tahun 2015, namun baru resmi dicanangkan pada tahun 2016 di Desa Saluyu, Kabupaten Bogor. Di antara tujuan utamanya yaitu menyediakan sebanyak mungkin prasarana olahraga berstandar nasional dengan harapan akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang berolahraga. Premisnya adalah semakin banyak yang berolahraga, maka semakin banyak pula kemungkinan mencari bibit olahragawan yang berpotensi menjadi atlet yang mengharumkan nama bangsa.
Disebut prestis, karena anggaran yang digelontorkan tidak main-main, mencapai puluhan miliar rupiah setiap tahunnya. Dikatakan ambisius karena jumlah yang dicanangkan terhitung sangat banyak, 1.000 lapangan desa per tahun. Berangkat dari hanya berbentuk lapangan sepak bola pada tahun 2015, kemudian bermetamorfosis menjadi 5 bentuk prasarana olahraga berbeda, yaitu lapangan sepak bola, lapangan futsal, lapangan voli, lapangan basket, dan prasarana panjat dinding. Kelima bentuk prasarana Olahraga tersebut diyakini merupakan cabang-cabang olahraga yang saat itu cukup diminati masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, setiap tahun ternyata Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) rata-rata hanya sanggup membangun sekitar 300-400 lapangan saja. Kurangnya SDM menjadi salah satu kendala. Ribuan proposal dari berbagai desa yang setiap tahun membanjiri Asisten Deputi Standardisasi dan Infrastruktur Olahraga, sebagai unit yang mengampu program tersebut, menuntut untuk diverifikasi dan divalidasi.
Tidak hanya secara administratif berupa kelengkapan dan kesesuaian proposal, tidak kalah pentingnya adalah verifikasi faktual atau verifikasi lapangan. Salah satu solusi yang diambil adalah dengan meminta bantuan dan memberdayakan mitra kerja Dinas Pemuda dan Olahraga di tiap provinsi, sebagai perpanjangan tangan untuk turut melakukan verifikasi faktual ke desa-desa. Tim dari Kemenpora pun tidak ketinggalan melakukan uji petik ke berbagai desa di seluruh provinsi. Penulis termasuk personel yang beruntung pernah bergabung dengan tim verifikasi lapangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Berbagai pengalaman, kenangan, hambatan, tantangan, dan lain sebagainya pernah penulis alami saat menjadi bagian tim verifikasi faktual pembangunan lapangan desa Kemenpora. Fakta di lapangan menunjukkan tidak semua desa memiliki pemahaman yang sama mengenai standar-standar lapangan olahraga yang ada. Untuk itu, sebagian desa memberdayakan pemuda pendamping desa untuk menyusun proposal pengajuan bantuan pembangunan lapangan desa tersebut. Sebagian lainnya memilih meminta bantuan konsultan perencanaan yang berpengalaman.
Selain kendala pemahaman tersebut, penulis juga pernah menemui kendala-kendala non teknis. Lokasi pembangunan lapangan yang jauh di atas gunung, berada di tengah area persawahan, jauh memasuki hutan, ataupun berada di lahan lereng dengan kemiringan yang tidak memungkinkan untuk dijadikan lapangan olahraga. Sebagian desa memilih untuk mengajukan lapangan olahraganya sendiri yang sudah sering digunakan, untuk kemudian direvitalisasi hingga menjadi prasarana olahraga yang lebih baik dan memadai. Sementara sebagian lainnya memilih untuk menggunakan lahan desa lainnya, untuk menambah prasarana olahraga yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan verifikasi faktual ke daerah Kabupaten Bandung Barat dan Garut, penulis mendapati lahan yang diajukan oleh pihak desa berada jauh di atas bukit yang cukup sulit dicapai. Hawa yang sejuk dan pemandangan yang luar biasa, tidak bisa menutupi fakta bahwa lokasi tersebut bukan merupakan lokasi ideal bagi pembangunan lapangan olahraga, setidaknya menurut penulis. Namun pihak desa mengeklaim bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi yang bisa digunakan warga untuk berolahraga.
Dalam perjalanan verifikasi faktual lainnya ke Pulau Sebatik, yang berbatasan langsung dengan Malaysia, penulis mendapati lokasi calon lapangan olahraga yang terletak di tengah hutan, dengan kontur tanah yang sangat bergelombang dan masih dipenuhi tumbuhan dan tanaman. Kali lainnya di daerah Sumatera Utara, penulis bertemu dengan lokasi calon lapangan olahraga yang merupakan sawah produktif yang, ketika penulis datangi, masih dipenuhi batang-batang tanaman padi.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari dicanangkannya program tersebut, serta maraknya masyarakat yang berolahraga, laporan Kemenpora Tahun 2019 menyebutkan angka partisipasi penduduk Indonesia yang berolahraga sebesar 31%. Angka yang terhitung rendah untuk negara sebesar Indonesia. Angka ini mungkin mengalami peningkatan di masa belakangan ini, saat pandemi sedang berlangsung. Namun pengamatan sekilas mengisyaratkan bahwa partisipasi masyarakat dalam berolahraga belum merata, kebanyakan masih terpusat di kota-kota besar. Sementara masyarakat di berbagai lokasi lainnya, hingga ke desa, dayah, nagari, gampong, kampung atau istilah lainnya, masih perlu disentuh dan diajak untuk turut serta berolahraga.
Maraknya pembangunan prasarana dan penyediaan sarana olahraga ternyata tidak langsung berbanding lurus dengan tingkat berolahraga masyarakat.
Perlu pemikiran yang lebih dalam dan kerja sama berbagai pihak untuk terus meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berolahraga. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang, di mana olahraga disebut sebagai salah satu kegiatan positif yang berdampak sangat baik untuk menjaga dan meningkatkan imunitas masyarakat.
Lapangan Desa di Sorong Selatan (Foto: Dok pribadi)