Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Buka Bersama dan Reuni : Sebuah Refleksi (Bagian 1)
19 Juni 2017 22:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Rulli Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pesan whatsapp di handphone Kartono berbunyi.
“Sore ini bukber yuk? Mumpung guwe lagi disini.”, kata Kang Isnan, teman masa kuliah Kartono dulu di Kota Geulis.
ADVERTISEMENT
“Hayuk!”, sambar Kamilla.
“Ok.” Balas Kartono singkat.
Dan begitulah. Acara buka bersama (bukber) direncanakan dengan spontan dan langsung. Tidak perlu direncanakan secara sistematis dan terstruktur. Karena biasanya yang direncanakan jauh-jauh hari pun bisa batal. Maka berangkatlah Kartono dari rumahnya yang berada di bagian barat batas ibukota.
Kali ini Kartono memilih untuk naik kereta commuter line lalu kemudian disambung dengan naik busway ke tempat acara bukber, yakni mall Tamanria City. Untuk ke stasiun, Kartono cukup naik motor lalu ia parkir motornya di area stasiun. Lebih praktis dan tidak macet pikirnya.
Pada sore hari, commuter line yang menuju kearah kota relatif masih sepi penumpang. Sehingga Kartono dapat duduk dengan nyaman. Enak juga ternyata naik kereta ya, begitu pikir Kartono dalam hati. Momen itu adalah momen dimana Kartono bisa merasakan fasilitas umum yang disediakan Bangsa ini. Selama ini memang Kartono cenderung pesimis terhadap pemerintahan Bangsa ini. Jangankan memperhatikan kinerja pemerintah, nyoblos pemilu pun sebenarnya Kartono ogah-ogahan. Dia berpikir bahwa demokrasi bangsa ini masih terlalu mahal biayanya dan tidak setimpal dengan hasilnya. Pemilu yang dilaksanakan dengan menghabiskan dana milyaran hanya untuk logistiknya saja (cetak surat suara, kotak pemilu, bilik suara). Belum lagi biaya untuk infrastruktur sistemnya. Ini semua belum termasuk biaya kampanye yang dilakukan oleh masing-masing calon.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya alasan Kartono mau beranjak dari rumahnya untuk pergi nyoblos di bilik suara adalah karena ia ingin menghargai teman-teman dan tetangga kompleknya yang sudah susah payah menjadi anggota panitia pemilu. Ia merasa tidak enak kepada mereka yang semalam suntuk begadang untuk mempersiapkan lokasi pencoblosan berikut atribut dan perangkat lainnya.
“Kalau kita bisa naik kereta dan kendaraan umum lainnya dengan nyaman, yaa itu berkat jasa pemerintah No. Makanya kita perlu untuk nyoblos. Pilih calon yang benar-benar memiliki visi dan misi yang jelas untuk kemajuan Bangsa ini No. Tahu darimana visi misinya? Ya kita lihat program-program kampanye-nya, track record-nya sebagai kepala daerah seperti apa.” Papar Kasmanto kepada Kartono saat ia mengajak Kartono nonton acara debat kandidat. Kasmanto adalah salah satu panitia persiapan pemilu di kampungnya.
ADVERTISEMENT
“Kamu dibayar berapa To untuk jadi panitia pemilu?” Tanya Kartono pada temannya.
“Ah memang tidak seberapa No. Buat aku yang penting ikut sumbangsih pada Bangsa ini, itu sudah cukup.”, jawab Kasmanto.
Kartono manggut-manggut saja.
Kartono belum begitu mengerti dengan detail program-program kerja yang ditawarkan tiap calon dalam setiap pemilu. Yang pasti ia setuju apabila soal transportasi dan infrastruktur patut menjadi salah satu perhatian untuk ditingkatkan kualitasnya. Kartono lalu teringat pengalaman tidak enaknya saat di bandara.
Kala itu Kartono baru pulang dari seberang pulau. Karena urusan pekerjaannya hanya menghabiskan waktu setengah hari, Kartono memilih untuk mengendarai mobil dari rumah ke bandara dan memarkirnya disana. Dalam perjalanan pulang, ternyata salah satu maskapai penerbangan Bangsa yang ditumpangi Kartono mengantarnya ke Terminal 2. Sementara mobilnya diparkir di Terminal 1. Ah ya sudahlah, toh bisa naik shuttle airport pikir Kartono. Ia lalu menuju area shuttle yang ditunjukkan oleh security bandara.
ADVERTISEMENT
Lalu datanglah mobil berwarna putih dengan stiker Shuttle Airport di kaca bagian depan. Sekilas bentuknya kok malah seperti angkot. Kartono pun naik kedalam mobil tersebut. Ternyata benar, interior didalam mobil shuttle itu persis seperti angkot. Susunan kursi dan lembaran-lembaran uang yang menghiasi dashboard memperkuat deskripsi angkot tersebut. Bedanya mobil ini pintunya tertutup dan menggunakan AC. Kartono sempat berpikir keras. Seingatnya, ia pernah juga naik shuttle airport tapi bentuknya tidak seperti ini. Dan itu free, tidak ditarik biaya. Makanya Kartono heran kok banyak lembaran uang terpajang di dashboard.
Ah mungkin itu tips saja. Seikhlasnya saja kali, pikir Kartono.
Maka pada saat sampai di tujuan yakni Terminal 1, dengan polosnya Kartono memberikan sepeser uang sebesar lima ribu. Kartono haqqul yaqin bahwa shuttle airport adalah fasilitas yang disediakan pihak bandara untuk orang-orang seperti dia yang perlu untuk berpindah terminal.
ADVERTISEMENT
“Wooii apa ini mas?? Kurang!” kata si sopir (angkot) shuttle.
“Hah kurang? Emang berapa pak?” Tanya Kartono.
“Sepuluh ribu. Ceban!” jawab si sopir tegas.
Dengan sedikit merengut akhirnya Kartono mengeluarkan lagi uang dari dompetnya sesuai dengan nominal yang diminta sang sopir.
Kalau tidak ingat sedang berpuasa, mungkin Kartono akan mendebat si sopir. Ia jelas ingin mempertanyakan status shuttle itu apakah memang ditetapkan berbayar atau tidak. Lagipula ia merasa tidak layak jarak tempuh yang begitu dekat antara Terminal 1 dan 2 diganjar dengan tarif ceban.
Tapi itu tidak ia lakukan. Kartono memilih pulang.
Pesan whatsapp di handphone-nya berbunyi memecahkan lamunan Kartono soal moda transportasi.
Mungkin ini Kamilla atau Kang Isnan yang menanyakan posisi, pikir Kartono. Ternyata bukan.
ADVERTISEMENT
Bunyi pesan tadi berasal dari pesan di grup WA alumni SMA Kartono dulu di Kota Gudeg.
Kartono lalu membuka puluhan pesan yang belum terbaca di grup alumni tersebut. Ternyata sedang ramai pembicaraan antara dua teman sekelasnya semasa SMA, Kalam dan Kadek. Mereka sedang berdebat soal sunni dan syiah.
(Bersambung)