Konten dari Pengguna

Hanan Attaki dan kumparan

Rumail Abbas
Hadir dalam kata yang tidak akan kamu temukan dalam kamus mana pun
8 Juli 2019 16:09 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rumail Abbas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ustaz Hanan Hattaki Foto: Instagram @hanan_attaki
zoom-in-whitePerbesar
Ustaz Hanan Hattaki Foto: Instagram @hanan_attaki
ADVERTISEMENT
Seminar yang hendak digelar dengan mengundang Hanan Attaki di Tegal , Minggu(7/7), berakhir dramatis. Pimpinan Cabang GP Ansor Kota Tegal sebelumnya melayangkan surat keberatan, hingga akhirnya pihak hotel sebagai penyedia tempat, membatalkan acara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kembali, Ansor/Banser jadi bulan-bulanan di media sosial karena dianggap membenci pengajian—kendati tidak ada satupun Banser yang turun memboikot atau membubarkan acara, dan mereka pun sudah ditegur pengurus pusatnya.
Dalam tulisan ini, perkenankan saya memperbincangkan beberapa hal:
Hanan Attaki
Sama seperti “pendakwah hibrida” di Indonesia, Hanan tampil sebagai intelektual muslim Indonesia yang mencicipi pendidikan Timur Tengah dengan balutan yang akrab dengan milenial: bahasa gaul yang menyihir, bercelana jin, jaket, dan bertutup kepala kupluk ala Rasta. Nyaris tidak seperti alumni Timur Tengah reguler lain yang berbusana seperti orang Arab di sana.
Hanan menjadi dekat dengan milenial karena berhasil menyajikan “petuah balsam” di tengah pegalnya muda-mudi kelas menengah urban—dalam menghadapi beratnya “hidup menjadi mereka” di dunia yang keras—yang haus pertaubatan.
ADVERTISEMENT
Perlukah Hanan Attaki Ditolak?
Betapapun kesalnya saya dengan simplifikasi “pertaubatan” menjadi “hijrah” yang sangat klise—namun berhasil dipabrikasi secara ekonomis oleh produsen busana kesalehan—akan tetapi sisi baiknya tidak bisa dikesampingkan.
Hanan ternyata mampu mengubah “muda-mudi tersesat”, sekadar contoh, dari pengonsumsi minuman keras menjadi pengonsumsi ayat-ayat Alquran yang dilantunkan Hanan secara mendayu-dayu baik di majelisnya maupun lewat Podcast.
Adakah yang salah dengan hal ini?
Bahwa Hanan terindikasi punya keakraban dengan Islam sempalan yang tidak ramah dengan keberagaman Indonesia, bahkan lantang berbicara khilafah, saya rasa tidak bisa dijadikan dalil untuk memvonis.
Beredar di linimasa bagaimana Hanan menyebut Nabi Musa sebagai premannya para nabi. Serta video Hanan menebak berat badan Sayidatina Aisyah (istri Rasulullah) sekitar 55 kilogram, dan itulah parameter seorang perempuan salehah. Pesan yang ingin disampaikan para pengunggah (dan penyebar) video ini sederhana: delegitimasi sosok dia sebagai pendakwah.
ADVERTISEMENT
Jika anda adalah follower atau subscriber @SantriGayengCom, tentu tidak asing dengan sosok Gus Baha (KH. Bahauddin Nursalim). Kiai asal Rembang, Jawa Tengah, yang mengisi pengajian di Narukan dan Yogyakarta ini tidak sekali dua memberikan mafhum (penjelasan) dari Tafsir Al-Jalalain dengan balutan canda dan gaya story telling yang “sangat dark joke”.
Jika mafhum dari Gus Baha ini diterima orang awam, apalagi dari sepenggal ceramah dan berdurasi sebentar, tentu banyak sekali kesalahpahaman. Hingga Gus Baha berpesan kepada seluruh orang yang mengunggah pengajiannya di media sosial hendaknya ditulis utuh dan tidak diberi judul sesukanya.
Hanan, saya yakin, setelah menonton video utuhnya, sedang menempuh metodologi penyampaian keterangan seperti Gus Baha lakukan. Bahkan kadar joke-nya masih di level rendah dan biasa. Tontonlah videonya, nanti anda akan lihat sendiri bahwa dia tidak sedikitpun berusaha menghina kesucian para nabi.
ADVERTISEMENT
Sebagai warga NU yang hidup di negara demokratis, saya sangat menghormati kehadiran Hanan di mana saja. Apalagi dia sangat tenar di media sosial, jadi hampir tidak memiliki keterbatasan dalam medium apapun di ranah digital. Menutup akses dakwah Hanan tidaklah berguna, dan tidak akan menghasilkan apa-apa.
kumparan
Apa yang lebih mudah dilakukan seseorang terhadap media online yang memberitakan kabar yang tidak enak di telinganya? Menuduh!
Menuduh itu, selain mudah, juga murah. Sama seperti berbohong yang tidak memerlukan usaha yang besar, menuduh tidaklah sukar. Aktivitas kumuh itu baru saja saya lihat di lini masa beberapa teman NU yang gegabah.
Hanya karena kumparan.com menerbitkan berita keberatan dari pihak GP Ansor Kota Tegal terhadap seminar Hanan Attaki, beberapa teman NU tanpa tedeng aling-aling menyebut kumparan.com dikelola para pembenci NU.
ADVERTISEMENT
Akrab dengan sikap gadungan seperti ini? Anda mudah mendapatinya dari orang-orang yang tak punya informasi lengkap, namun punya semangat tuduh yang ugal-ugalan.
Teguran ini sengaja saya tulis di kumparan.com sebagai bentuk deklarasi: Saya, Rumail Abbas, warga biasa di kultural NU yang sebisa mungkin mengedepankan akal sehat, masih percaya dengan kumparan.
Tuduhan prematur seperti ini juga pernah dialami Tirto.ID yang pernah menulis berita yang kurang enak didengar warga NU. Tuduhan, karena berangkat dari pseudo-argument. Dan prematur, karena cenderung gegabah tanpa terlebih dahulu melakukan tabayun dan verifikasi langkah jurnalisme yang ditempuh.
Warga NU tentu tahu betul arti dari dua tradisi ini, namun sayangnya ia kesampingkan ketika berbicara tentang kumparan.com. Untuk menilai kumparan.com, kita tidak bisa berangkat dari satu-dua berita. Hal yang paling bisa kita gapai adalah melihat rekam jejaknya.
ADVERTISEMENT
Kita baru bisa mengaitkan produk berita kumparan.com dengan kebencian mereka terhadap NU (dan kepentingan pemilik saham yang konspiratif ala Yahudi, Zionis, dan Freemason) mana kala kumparan.com secara konsisten melakukan apa yang mereka tuduhkan dan tanpa malu-malu melakukan hal itu.
Coba lihat kata kunci “Ansor” di kumparan.com, dan lihat begitu banyak kabar baik dari Ansor yang diunggah di kumparan.com. Bahkan Ansor News, sebuah akun content creator, bisa bebas menulis berita ke-Ansor-an di dalam kanal khusus mereka.
Dan tidak hanya itu, kumparan.com sendiri sangat terbuka dengan teman-teman NU yang berusaha memberikan konten berimbang terhadap HTI dan Islam Radikal yang lain (silakan cari kata kunci “NU & Radikal”).
Rasanya cukup ceroboh jika langsung menyebut kumparan.com sebagai media yang tidak menerapkan etika jurnalistik, menggadaikan independensinya sebagai produsen jurnalisme, dan tidak becus menjaga “pagar apinya” sendiri karena terjebak tuntutan nafkah.
ADVERTISEMENT
Melihat rekam jejak yang seperti ini, apa yang mereka lakukan sangat mudah kita simpulkan sebagai tuduhan yang terlalu mengada-ada. Dulu, mereka seharusnya ikut “Roadshow Makan Ikan” kumparan.com bersama Susi Pudjiastuti yang dilakukan di pesantren-pesantren NU. Dan tidak berlangsung cuma sehari dua hari.