Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Coping Mechanism yang Berbahaya Toxic Positivity
17 Desember 2022 20:25 WIB
Tulisan dari Sabrina Rosada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Semua orang punya cara yang berbeda dalam mengatasi stres. Mungkin dengan menonton film, membaca, belanja, atau menangis dengan keras agar merasa lega. Penanganan atau metode untuk mengatasi stres ini disebut dengan coping mechanism.
ADVERTISEMENT
Menurut Lazuardi dan Folkman (1984) dalam jurnal “Strategi Coping ditinjau dari Spiritualitas dan Resiliensi pada Wanita Dewasa Awal” strategi coping yang berpusat pada masalah yang dapat membantu mengubah kondisi individu sesuai dengan situasi, sedangkan strategi coping yang berpusat pada emosi bisa menolong individu dalam mengelola emosinya dengan baik ketika sedang stres. Artinya, coping yang berpusat pada emosi merujuk pada berbagai upaya untuk mengurangi emosi negatif terhadap stres.
Berpikir positif akan menjadi coping mechanism yang membantu kita untuk melangkah lanjut kedepan dan bisa menjadi upaya yang baik untuk membangun motivasi kita. Membiasakan perpikir positif juga, bukan berarti selalu memaksakan diri agar selalu mengedepankan emosi positif dalam mengadapi masalah. Emosi positif yang berlebihan juga bisa jadi berbahaya ketika memaksa, mendelegtimasi perasaan cemas, tidak tulus, sedih, atau menghilangkan kesulitan yang ada. Jangan sampai membuat kita memiliki sifat toxic positivity, ya, teman-teman!
ADVERTISEMENT
Apa Itu Toxic Positivity?
“Positive thinking saja”
“Kamu harus melihat sisi baiknya!”
“Semuanya pasti baik-baik, aja, kok!”
Secara tidak sadar, kalimat seperti di atas sering kali diucapkan, baik untuk diri sendiri maupun dari orang lain. Terkadang kalimat positif bukan semakin menguatkan, justru membuat suasana hati menjadi negatif. Kita seperti hidup berisi kebiasaan bahwa perasan positif itu baik sedangkan perasaan negatif itu buruk.
Lukin (2019) dalam jurnal penelitian Pychopreneur yang dipublikasikan pada tahun 2021. Mendefinisikan toxic positivity sebagai konsep untuk tetap positif sebagai jalan yang tepat untuk menjalani hidup. Sedangkan menurut artikel yang berjudul “Toxic Positivity : The Dark Side of Positive Vibes” hanya berfokus pada hal-hal positif dan mengabaikan apapun yang memicu emosi negatif disebut dengan toxic positivity. Akibat dari toxic positivity yaitu menghasilkan penyangkalan, minimalisasi, dan membatalkan pengalaman emosional manusia yang otentik. Oleh karena itu, sangat berbahaya jika seseorang menggunakan toxic positivity sebagai coping mechanism.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, bisa dikatakan bahwa toxic positivity adalah kondisi seseorang menuntut dirinya sendiri ataupun orang lain agar selalu berpikir positif dan bersikap positif, namun menolak emosi negatif.
Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
Saat seseorang mengalami situasi yang buruk, seperti kehilangan pekerjaan, orang lain mungkin akan berkata "sabar saja" atau "lihat sisi baiknya". Meskipun komentar semacam itu sering dimaksudkan untuk bersimpati, tetapi komentar tersebut dapat menutup apa yang mungkin ingin dikatakan orang lain tentang apa yang mereka alami.
Alih-alih dapat berbagi emosi manusia yang tulus dan mendapat dukungan tanpa syarat, orang-orang yang dihadapkan pada toxic positivity akan merasa perasaan mereka tidak valid, disingkirkan, atau bahkan diabaikan.
Lalu, apakah toxic positivity berbahaya? Tentu saja!
ADVERTISEMENT
Pertama, menurut Jati, Aliifah, Pangestu (2021) menunjukkan hasil penelitian bahwa dengan menekan, menghindari, atau menolak emosi negatif, maka akan menjadi perwujudan dari depresi, kecemasan, bahkan penyakit fisik. Jika hal tersebut dibiarkan berkepanjangan, akan berakibat buruk untuk kesehatan mental seseorang. Jadi, seseorang yang menggunakan coping mechanism toxic positivity akan menyebabkan dampak yang buruk untuk kesehatannya.
Selanjutnya, toxic positivity juga dapat menciptakan jarak mengenai hubungan dengan orang lain. Dalam salah satu jurnal psikologi mengutip pernyataan dari Quintero & Long (2019) kita akan mulai hidup bersama kepalsuan serta hilang hubungan atau koneksi dengan diri sendiri dan dunia, saat kita menolak apa yang sebenarnya kita rasakan. Artinya, saat kita sudah kehilangan hubungan dengan diri kita, akibatnya orang lainpun menjadi sulit untuk menjalin hubungan atau terkoneksi dengan diri kita. Dengan demikian, akan tercipta jarak dalam hubungan tersebut.
ADVERTISEMENT
Terakhir, (Priskila, 2020) mengutip pernyataan Syazka Narindra, Psikolog dari Patron Research Association. Seseorang bisa mati rasa jika memendam emosinya terlalu lama. “Ketika seseorang tersenyum, padahal seharusnya ia menangis akibatnya badannya akan bingung. Bahkan bisa berubah menjadi tumor atau bentuk psikosomatis (penyakit fisik akibat pikiran) secara klinis,” jelasnya. Maka dari itu, toxic positivity bisa berbahaya karena akan menyebabkan seseorang mati rasa.
Ahli teori emosi Richard Lazarus (2001) meyakini motivasi dan emosi selalu berhubungan, karena kita akan bereaksi secara emosional hanya saat motif dan tujuan puas, terancam, atau frustrasi (Passer & Smith, n.d.). Sebenarnya tidak masalah ketika kamu mengatakan “Aku tahu itu sulit. Aku selalu ada untuk kamu” atau “Terkadang sesuatu yang buruk dapat terjadi. Bagaimana saya bisa membantumu?” Ini menunjukkan penerimaan emosi negatif kita serta kasih sayang dan rasa terima kasih.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Izinkan diri anda untuk merasakan perasaan anda. Bahwa perasaan itu nyata, valid, dan penting. Sebanyak apa pun pikiran positif yang kita miliki, pasti tak terhindar juga dari stres. Jadi, wajar untuk sesekali menunjukkan emosi seperti kecewa, sedih, cemburu, atau marahmu, ya.
Reference
Aiman Sani, U. (n.d.). Strategi coping ditinjau dari spiritualitas dan resiliensi pada wanita dewasa awal (Vol. 13, Issue 2).
Geaby, M., Kojongian, R., Fakultas, P., Universitas, K., Satya, W. J., Universitas, F. P., Satya, K., Doddy Hendro, W., Fakultas, W., Universitas, P., & Wacana, K. S. (2021). Toxic positivity: sisi lain dari konsep untuk selalu positif dalam segala kondisi. Psychopreneur Journal, 6(1), 10–25.
Jati, P., Aliifah, J., Damayanti, Y. P., Pangestu, A., Nadarajah, C., Program, F., Bimbingan, S., & Konseling, D. (n.d.). Pemahaman generasi z mengenai pengaruh toxic positivity terhadap hubungan sosial individu.
ADVERTISEMENT
Passer, M. W., & Smith, R. E. (n.d.). Psychology the science of mind and behavior (4th ed.). m. passer et. al. mcgraw hill 2008 bbs.
Priskila, K. R. (2020, January 31). Toxic positivity, kenapa positivitas bisa berbahaya. Diakses tanggal 10 Desember 2022 pukul 03.19 WIB dari web Https://Www.Herworld.Co.Id/Article/2020/1/12803 Toxic Positivity Kenapa Positivitas Bisa Berbahaya.
Quintero, S., & Long, J. (n.d.). Toxic positivity: the dark side of positive vibes. Diakses tanggal 06 Desember 2022 pukul 12.16 WIB dari web Https://Thepsychologygroup.Com/Toxic Positivity/.