Perempuan dan Konstruksi Sosial

Safa Alifianisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
6 Mei 2024 8:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Safa Alifianisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ancol, Jakarta Utara 2024. Sumber: Foto Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ancol, Jakarta Utara 2024. Sumber: Foto Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda, kita sering salah mengartikan akan keduanya. Jenis kelamin merupakan pembagian dua seks berdasarkan biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, lain hal dengan gender yang mengartikan pembagian secara sosial dalam masyarakat, dengan kategori ‘masculine’ dan ‘feminime’. Konsep gender disini, erat kaitannya dengan sifat-sifat yang terkonstruksi secara sosial, seperti yang sudah dijelaskan dengan kategori masculine dan feminime. Laki-laki dianggap lebih kuat, jantan, dan perkasa, sedangkan wanita dianggap lemah lembut, cantik, keibuan, dan emosional. Seiring berkembangnya waktu, sifat-sifat tersebut saling bertukar ataupun menetap, diakibatkan adanya konstruksi sosial yang membedakan sifat yang melekat pada kedua gender tersebut.
ADVERTISEMENT
Sudut pandang perempuan menggambarkan tanggapannya sebagai wanita dilingkungannya, mereka mengatakan bahwa sebagai perempuan terdapat banyak batasan-batasan yang dibangun dari konstruksi nilai sosial yang patriarkis, sebagai perempuan masih harus menjalankan peranan ganda dari ranah privat (rumah tangga) maupun publik. Dibeberapa daerah seperti Surabaya, sosok perempuan termasuk banyak yang menduduki jabatan-jabatan publik (politis), seperti gubernur dan 30% kepala dinas perempuan tetapi representasinya masih simbolis, jadi belum dapat membawakan kepentingan perempuan secara substantif.
Inti dari gender yaitu bagaimana laki-laki dan perempuan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam peranan sosial, contoh hak politik, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Dari awal posisi perempuan dan laki-laki secara sosio-historis berbeda (perempuan dianggap masyarakat kelas dua atau The Second Sex), maka dibutuhkan ruang yang memberikan kesamaan atau permulaan tersebut, misal regulasi kuota beberaa persen bagi perempuan di perkantoran atau dalam politik perlu zipper system 30% dan menanamkan gender bukan hanya berguna bagi perempuan, melainkan juga membebaskan laki-laki dari stereotype-nya.
ADVERTISEMENT
Perubahan pemikiran dan pendapat menjadi pengadaptasian dari penyamarataan pendapat tersebut juga di perlukan. Mengetahui urgensi dari isu gender dan mencapai tujuan bersama, kita juga perlu mengetahui bahwa kita hidup tidak sendiri. Menerima pendapat dan pemikiran yang berbeda perlu diterima dengan lapang dada, selama tidak menyimpang dari nilai sosial dan ideologi dasar kemanusiaan. Perubahan ini tidak akan efektif, jika tidak dibantu dengan media pendukung seperti media massa (stasiun televisi, portal berita online), juga perlu adanya peranan besar dari pihak yang memiliki pengaruh besar (agent of change) seperti pemerintah, aktor politik, akademisi, lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan isu gender dan lain sebagainya.
Hak istimewa yang diberikan oleh tuhan kepada kita merupakan bonus kebermanfaatan di struktur sosial ini. Banyaknya standar yang diberlakukan membuat manusia terbawa oleh arus konstruksi sosial tersebut. Standar kecantikan, kekayaan, kelas sosial, dan lain sebagainya terbentuk dikehidupan manusia. Banyak tanggapan bahwa walaupun memiliki sedikit pengalaman terkait hal yang dibutuhkan perusahaan, tetapi ia memiliki hal yang istimewa seperti cantik, kulit putih, badan ramping dan lainnya, maka orang tersebut akan menduduki kelas sosial pertama. Hak istimewa dan kesempatan merupakan satu hal yang sama, dalam artian saling berdampingan.
ADVERTISEMENT
Penjelasan tersebut melihat bahwa privileged sangat menaikan derajat kalangan manusia. Sebagai mahasiswa, mendapatkan hak istimewa dari orang tua. Sebagai contoh, jika orang tua yang memiliki jabatan yang sangat berpengaruh bagi lingkungan kampus, maka anaknya atau mahasiswa tersebut akan memiliki kesempatan yang istimewa bagi kelas atau strata sosial di lingkungan kampus tersebut. Sebagai perempuan ada kerugian dan manfaatnya, kerugiannya kadang kita dianggap remeh dan banyak stereotype jelek tentang perempuan.
Hak istimewa perempuan ini, kita mendapatkan highlight, seperti adanya promo atau diskon di hari perempuan, adanya gerbong kereta khusus perempuan, atau ladies parking. Dari hal tersebut, kita melihat bahwa adanya hak istimewa yang diberikan oleh sosial kepada perempuan untuk memudahkan dan menghindara hal-hal kejahatan yang tidak diinginkan. Sebagai perempuan juga banyak mendapatkan ilmu dan pengetahuan mengenai isu gender karena dari kasus-kasus yang banyak terjadi di dunia ini, kita mengetahui bahwa adanya urgensi dari gender dan berusaha untuk mencari lebih dalam lagi terkait hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dapat dilihat bahwa status sosial dan kesempatan yang didapat dari hak istimewa tersebut menjadi privileged untuk mengakses kehidupan, edukasi, politik, ekonomi, dan lain sebagainya ke ranah yang lebih terkemuka. Dari perspektif perempuan lainnya juga mengatakan bahwa secara kelas sosial memang mendapatkan cukup hak yang istimewa dari menempuh pendidikan dan adanya tempat tinggal yang baik tanpa memikirkan atau terhambat akan permasalahan budaya. Dari kelas sosial disini juga memberikan akses yang lebih luas untuk menjalin relasi yang berkaitan dengan bidang yang diminati, mengakses sumber-sumber pengetahuan dengan teknologi yang ada, hingga memperoleh pekerjaan dari jejaring sosial yang ada. Priviliged ini juga memungkinkan untuk lebih mudah mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Namun, sebagai perempuan yang dalam stereotype sosio-historis masyarakat Indonesia dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Cukup mendapat "ketidakberpihakan", terutama di bidang politik, hal ini identik dengan stereotype laki-laki sebagai pemimpin yang kerap diasosiasikan dengan sifat-sifat kepemimpinan yang ‘maskulin’ dan logis, sehingga dalam politik laki-laki memiliki peluang yang lebih besar untuk menduduki jabatan politis ataupun menjadi pemimpin politik secara formal dan informal.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, perempuan yang diidentikan dengan "perasaan" dan ketekunan dalam kerja-kerja domestik, biasanya hanya dijadikan sebagai sekretaris atau bahkan dijadikan simbol keterwakilan, tanpa membawakan kepentingannya secara substansif. Banyak perempuan yang mengalami hal ini dalam beberapa kontestasi, di mana calon laki-laki dipilih dengan alasan lebih tegas dan rasional. Hal ini termasuk bentuk diskriminasi secara tidak langsung terhadap perempuan. Dari kerugian tersebut, banyak perempuan yang tertarik akan membawakan isu-isu mengenai kesetaraan perempuan. Untuk memeroleh kesetaraan perempuan harus berdaya untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Sehingga dapat dikatakan, ketidaksetaraan yang dirasakan sebagai perempuan mampu memberikan tujuan baru bagi pola pikir dan arah gerak dalam mengembangkan diri kedepannya.