Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Paradoks Demonstrasi: Upaya Buzzer Menghalangi Aksi Mahasiswa
25 Februari 2025 11:41 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Saiq Khayran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Demonstrasi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau sekelompok orang untuk mengkritik, menolak dan mengklarifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro terhadap masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam negara demokrasi, demonstrasi menjadi alat penting untuk mengontrol cara kerja pejabat negara. Sebab, jika tidak ada daya kontrol demikian, seringkali adanya penyelewengan kekuasaan yang berimbas terhadap ketidakadilan sosial. Sebagaimana dikatakan oleh Marx Weber (1864-1920) seorang sosiolog Jerman, bahwa kekuasaan adalah peluang seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai kepentingannya, meski harus mengorbankan orang lain.
Itu sebabnya, mengapa demonstrasi harus tetap digelar dan dilakukan. Biasanya, demonstrasi seringkali dilakukan oleh para mahasiswa yang tergolong dalam organisasi-organisasi tertentu. Berangkat dari kajian-kajian yang membahas tentang filsafat, hukum, politik dan ekonomi, mereka dapat menyimpulkan berbagai problematika yang ada. Baik soal ketatanegaraan, ketimpangan sosial, kemiskinan, dan komersialisasi pendidikan. Hal itu mereka lakukan hanya untuk meninjau dan menganalisis apakah etos kerja dari pemerintah sudah sesuai dengan norma hukum yang ada.
ADVERTISEMENT
Jika kita kembali melihat sejarah, dimana mahasiswa sudah banyak memberikan kontribusi terhadap perubahan bangsa melalui demonstrasi. Aksi Tritula yang terjadi pada tahun 1966, tuntutan Reformasi di tahun 1998, penolakan RUU Ciptaker dan RKUHP tahun 2019, seruan Indonesia Darurat di tahun 2024, hingga tagline Indonesia Hitam tahun 2025, menjadi catatan sejarah yang tak pernah dilupakan bagi kawan-kawan mahasiswa.
Kendati demikian, demonstrasi tidak selalu berada dalam arti yang sama. Selalu ada upaya penggeseran makna baik secara terminologis maupun praktis. Secara terminologi, demonstrasi sekarang bukan lagi diartikan sebagai upaya penolakan, kritik dan pernyataan sikap tidak puas dengan kebijakan pemerintah, akan tetapi hanya sebagai ajang mencari sensasi, buat bahan story dan supaya dianggap aktivis saja.
ADVERTISEMENT
Begitupun secara praktis, gerakan sekarang dianggap tidak selayaknya yang dulu. Dimana mahasiswa dulu melakukan gerakan murni untuk kepentingan masyarakat, akan tetapi demonstrasi sekarang dianggap mementingkan kepentingan beberapa kelompok saja.
Dalam kasus ini, perlu untuk kita cermati dan kritisi. Akankah demikian faktanya? apakah benar-benar demikian realitanya, atau jangan-jangan ini hanya sebatas penggiringan opini belaka agar mahasiswa tidak ikut demo karena tidak faham apa tuntutannya?
Jika kita kembalikan pada makna demontrasi itu sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal; unjuk rasa. Artinya demonstrasi dilakukan hanya untuk menyampaikan protes terhadap beberapa kebijakan nirguna yang dilakukan secara bersama-sama.
Perluh dicatat, dalam konteks ini demonstrasi hanya kegiatan jalanan, di mana mahasiswa turun ke jalan dengan membawa alat peraga seperti benner, pamflet, poster, kertas bertuliskan tuntutan, dan lain sebagainya. Berbeda dengan audensi: suatu kegiatan diskusi yang di lakukan 2 atau 3 orang bersama pihak-pihak tertentu (dewan, pemerintah atau stakeholder) untuk menyelesaikan masalah yang ada. Jika demonstrasi melibatkan massa yang banyak, sedangkan audensi hanya perwakilan orang saja. Namun secara subtansi sama (untuk menyelesaikan persoalan atau permasalahan).
ADVERTISEMENT
Jadi sebenarnya jika kita tarik benang merahnya, orang ikut demonstrasi bukan hanya orang yang faham akan persoalan atau permasalahan, akan tetapi orang yang ikut membantu menyuarakan permasalahan-permasalahan tertentu dalam hal yang lain. Seperti hanya membantu menjaga massa aksi, membantu meramaikan suasana, membantu membawakan alat peraga aksi, membantu menampilkan puisi atau tetaer, atau hanya sekedar membawakan konsumsinya.
Faham atau tidaknya terhadap persoalan, bukan alasan untuk tidak boleh ikut demo. Karena memberikan bantuan kepada massa aksi itu lebih baik dari pada orang yang faham namun tidak memberikan apa-apa. Memberikan kontribusi atas perubahan sosial itu bukan hanya sekedar berbentuk pikiran, namun juga tenaga dan keterampilan.
Sekarang banyak opini-opini kontroversi tentang demontrasi. Seperti orang yang tidak faham terhadap apa yang diusut tidak diperbolehkan ikut demo, orang yang ikut demo tapi tidak paham itu ‘memalukan’, dan sebagainya. Pertanyaan, sejak kapan ada aturan tentang orang demontrasi itu harus faham? bukankah undang-undang hanya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk melakukan unjur rasa?
ADVERTISEMENT
UUD 1945, Pasal 2 ayat (1), mengatakan setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, memiliki hak untuk menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di lain sisi juga di sebutkan dalam UU No. 9 Tahun 1998, Pasal 1 Ayat (3) tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menyebutkan unjuk rasa atau demonstrasi didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
Pondasi dasar di atas sama sekali tidak ada indikator tentang massa aksi itu harus faham dan tidak faham. Jika semisal ada salah satu dari masa aksi hanya membawa alat peraga tuntutan namun tidak faham atas persoalannya, apakah mereka tidak boleh ikut? Kalau semisal tidak boleh ikut maka ia telah kehilangan haknya untuk berdemonstrasi.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, opini tentang mahasiswa demo namun tidak faham atas persoalannya itu sangat memalukan, hanyalah doktrin-doktrin Buzzer-buzzer pemerintah untuk menghalangi mahasiswa melakukan aksi. Mahasiswa semakin pesimis dalam melakukan gerakan, semakin sedikit masa aksi untuk ikut serta dalam berdemo, dan mencemooh sesama saat ikut serta namun tidak memahaminya.
Dengan upaya demikian, pemerintah lebih aman dan lebih nyaman mengendalikan aksi mahasiswa. Serta gampang mengadu domba satu sama lain melalui framing tersebut.