Kegiatan Alih Wahana Karya Danarto dalam Diskusi Resonansi Budaya Islam

Salma Fairuz Hasanah
Sedang berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
21 November 2023 17:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salma Fairuz Hasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Milik Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Milik Pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu rencana aksi dalam hal pemajuan kebudayaan yang ada di Indonesia adalah dengan dibentuknya Pekan Kebudayaan Nasional atau yang biasa disingkat dengan PKN. Pada tahun 2018, Kongres Kebudayaan Republik Indonesia meresmikan Pekan Kebudayaan Nasional. Hingga hari ini, PKN telah sukses menjadi sarana untuk menunjukkan aksi dan interaksi yang kreatif secara bersama sebagai sarana untuk peningkatan interaksi antar budaya. Perayaan Pekan Kebudayaan Nasional menggunakan metode dan praktik kuratorial yang berasal dari konsep "lumbung". Lumbung dapat diinterpretasikan sebagai suatu medium kolektif, di mana bakat dari suatu kelompok atau individu bisa terwadahi dan dikelola secara bersama-sama. Sebagai suatu metafora, lumbung juga dapat diartikan sebagai representasi dari ruang tamu yang sederhana. Baik seorang individu maupun suatu kelompok dapat ikut serta untuk mengisi, meramaikan, dan menata ruang tamu yang ada. Pekan Kebudayaan Nasional 2023 diselenggarakan di 40 titik ruang tamu yang tersebar di seluruh daerah Jabodetabek, dan salah satu diselenggarakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kegiatan yang terdapat di dalam ruang tamu milik UIN Syarif Hidayatullah diantaranya adalah kegiatan seminar yang dihadiri oleh para pemateri yang sangat hebat. Salah satu kegiatan yang sangat menarik menurut saya adalah pada kegiatan yang dilaksanakan pada hari Rabu 25 Oktober 2023 yang memiliki tema kegiatan “Diskusi Resonansi Budaya Islam dalam Sastra dari dan Seni Rupa”. Pemateri yang turut hadir pada diskusi tersebut adalah Dr. Didin Sirojuddin, M.Ag., Hairus Salim, dan Annisa Rahadiningtyas, Ph.D. Kegiatan diisi dengan pemaparan materi oleh ketiga pemateri dan diakhiri dengan sesi tanya jawab. Satu hal yang membuat penulis tertarik pada diskusi tersebut adalah ketika Hairus Salim menyampaikan materi penelitian yang telah dilakukan oleh dirinya terhadap karya-karya dari Danarto. Hairus menyampaikan bahwa Danarto merupakan seorang sastrawan yang bukan hanya berfokus untuk menulis cerpen saja, tetapi Danarto juga mampu membuat ilustrasi sendiri untuk cerita pendek nya. Dari sosok Danarto, saya dapat mendapatkan sebuah pemahaman baru, yaitu ternyata kemampuan seorang sastrawan tidak hanya terbatas di dalam bidang menulis saja, tetapi juga dapat mengimplementasikan karya tulisan nya ke dalam sebuah lukisan.
ADVERTISEMENT
Danarto merupakan seorang sastrawan sekaligus pelukis yang terpandang di Indonesia. Danarto lahir di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 27 Juni 1941. Pada tahun 1958-1961, Danarto pernah menempuh Pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia atau SRI Yogyakarta dan mengambil jurusan Seni Lukis. Pada tahun 1958-1952, Danarto pernah ikut serta dalam proses majalah anak-anak si Kuncung yang menceritakan tentang anak sekolah dasar. Danarto mengemas jalan cerita tersebut dengan berbagai macam gambar. Selain itu juga, Danarto pernah membuat karya kesi rupa, seperti relief, mozaik, patung, dan lukisan dinding. Danarto juga bekerja sebagai tukang poster di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada tahun 1969-1974. Danarto pernah mengikuti lokakarya International Writing Program di Amerika Serikat pada tahun 1976. Danarto merupakan seorang seniman yang sangat istimewa, sebab selain menulis cerpen, Danarto juga dapat membuat ilustrasi untuk cerpen-cerpen nya. Malaikat merupakan salah satu tokoh yang sering sekali muncul di dalam karya-karya Danarto. Selain menjadi penulis cerpen, puisi, dan menjadi seorang pelukis, Danarto juga pernah terlibat dalam industri film sebagai seorang penata dekorasi.
ADVERTISEMENT
Asmaraloka merupakan karya novel yang ditulis oleh Danarto dan diterbitkan pada tahun 1999. Untuk karya kumpulan cerpen, Danarto sudah menulis lebih dari 5 kumpulan cerpen, diantaranya; Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), Berhala (1987), Orang Jawa Naik Haji (1984), Gergasi (1993), Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dan untuk naskah drama, Danarto telah menulis kurang lebih dua karya, yaitu; Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek (1976) dan Bel Geduwel Beh (1976). Terakhir, Danarto juga pernah menulis esai yang berjudul Gerak-Gerak Allah yang terbit pada tahun 1976.
Danarto sering sekali mendapatkan berbagai macam penghargaan, baik penghargaan dari dalam negeri hingga penghargaan dari luar negeri. Sebagai contoh, Danarto sempat mendapatkan penghargaan untuk cerpennya yang berjudul “Rintik” yang diberikan oleh majalah Horison di tahun 1968. Lalu pada tahun 1982, Danarto pernah mendapatkan hadiah dari Dewan Kesenian atas cerpennya yang berjudul “Adam Ma’rifat”.
ADVERTISEMENT
Salah satu karya Danarto yang ditampilkan pada tema kegiatan “Diskusi Resonansi Budaya Islam dalam Sastra dari dan Seni Rupa” adalah cerita pendek Danarto yang berjudul “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat”. Cerita pendek “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” merupakan salah satu cerita pendek yang terdapat di dalam buku Kumpulan cerita pendek Danarto yang berjudul “Adam Ma’rifat” yang diterbitkan pada tahun 1982 oleh Balai Pustaka. Tokoh yang terdapat di dalam cerpen “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” adalah Malaikat Jibril, anak-anak SD, dan seorang tukang kebun. Cerpen ini memberikan penjelasan kepada para pembacanya mengenai upaya yang dilakukan oleh manusia untuk lebih dekat lagi dengan Allah dan menjadikan Al Qur’an dan Hadist sebagai landasan dasarnya. Selain menampilkan potongan isi dari cerita pendek “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat”, Hairus Salim juga menampilkan video dramatisasi dari cerita pendek “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat”. Menurut saya, proses alih wahana yang terjadi antara teks cerita pendek menjadi sebuah dramatisasi sangatlah bagus. Di dalam dramatisasi tersebut terlihat seseorang yang menyerupai malaikat Jibril tengah melakukan monolog dengan menaiki Hoverboard dan mengelilingi panggung. Dari dramatisasi tersebut juga, saya jadi merasa bahwa karya-karya milik Danarto sangatlah sufistik.
ADVERTISEMENT
Kajian alih wahana dapat menjadi sarana untuk berpikir secara kritis dalam membahas tentang bagaimana ideologi bisa masuk ke dalam bentuk, khususnya ketika suatu bentuk mengalami perubahan ke dalam bentuk lain atau ketika sebuah bentuk internal dibangun oleh multimedilitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Alih memiliki makna, yaitu suatu proses perpindahan suatu informasi dari satu bahasa ke bahasa lain atau perpindahan suatu variasi bahasa ke variasi bahasa lain. Sapardi dalam bukunya yang berjudul Alih Wahana (2018) berpendapat bahwa wahana merupakan sebuah medium yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu, mencapai sesuatu, ataupun untuk memperlihatkan suatu gagasan atau perasaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa alih wahana merupakan suatu proses kegiatan pengalihan, penerjemahan, dan menyadur suatu jenis karya seni ke jenis karya seni lainnya. Sapardi menjelaskan mengenai dua konsep penting yang harus dicakup dalam alih wahana, yaitu; (1) wahana merupakan medium yang dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu, (2) wahana sebagai sebuah alat untuk memindahkan gagasan, perasaan, atau amanat ke tempat lain. Medium memiliki makna sebuah penyaluran bagi mediasi informasi dan hiburan. Horace dalam Sapardi berpendapat bahwa sebuah karya seni tidak hanya mencakup satu jenis media saja, tetapi karya seni juga mencakup berbagai jenis genre yang memiliki kaitan dengan wahana.
ADVERTISEMENT