Menelusuri Jejak Kehidupan Masyarakat Xinjiang di Museum Etnik

16 Mei 2017 13:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Megah, mewah dan rapi. Tiga kata itu menggambarkan museum etnik Xinjiang yang ada di pusat kota Urumqi.
ADVERTISEMENT
Pada hari Minggu (14/5) kumparan (kumparan.com) bersama awak media dari puluhan negara lainnya berkesempatan untuk mengunjungi bangunan modern dan bersejarah itu.
Museum itu terdiri dari 4 lantai. Bangunannya tak seperti museum pada umumnya. Kamu yang tinggal di Indonesia mungkin jika ditanya apa kesanmu terhadap museum maka kamu akan menjawab: bangunan tua, barang-barang antik dan bukan kawasan yang tepat untuk tempat nongkrong anak muda.
Tapi di Urumqi berbeda. Di hari libur tengah hari itu ternyata banyak muda-mudi yang mengunjungi museum itu. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang berpasangan.
Anak-anak pun demikian. Banyak anak-anak seumur 8-12 tahun yang berbondong-bondong menuju museum itu. Ada yang sekadar jalan-jalan, ada yang mengggambar sesuatu dan ada yang sekadar hanya berlarian sambil tertawa
ADVERTISEMENT
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Museum ini ibarat Taman Mini Indonesia Indah (TMII)-nya Indonesia. Kita bisa melihat kehidupan masyarakat Xinjiang yang multietnis lewat museum ini.
Seperti yang dijelaskan dalam artikel-artikel sebelumnya, di Xinjiang ada beberapa etnis yang hidup: Uighur, China, Kazakh dan Mongolia. Kehidupan mereka secara lengkap tersaji di sini.
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Di lantai pertama kita akan melihat bagaimana masyarakat Uighur salah satu bagian terbesar kelompok etnis di Xinjiang hidup. Selama berkeliling rombongan disuguhkan dengan beragam alat kehidupan sehari-hari yang biasa mereka gunakan seperti: pakaian, alat rumah tangga, topi dan sebagainya.
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Ada juga ditampilkan replika makanan khas dan diorama tentang kehidupan mereka sehari-hari. Tak ketinggalan ada patung-patung lilin yang dibuat sangat mirip untuk menggambarkan budaya mereka.
ADVERTISEMENT
Ditampilkan pula bagaimana mereka menjalani budaya lokal dari mulai perayaan pernikahan, kelahiran hingga kematian. Di antara salah satu budayanya adalah saat menyambut kelahiran seorang anak.
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Untuk masyarakat Uighur, layaknya di Indonesia, mereka punya upacara untuk kelahiran jabang bayi. Ada juga tradisi potong rambut ketika usia bayi menginjak 7 bulan. Semua tergambar dalam patung lilin di museum tersebut.
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Berikutnya, kami menuju spot kehidupan masyarakat Kazakh. Di sana, dari patung lilin yang ditampilkan, kita bisa melihat pekerjaan utama mereka yakni bertani dan berternak.
Lain lagi dengan masyarakat etnis Mongol. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan sehari-hari adalah layaknya pakaian khas China, lengkap dengan topi khasnya.
ADVERTISEMENT
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Ada juga tradisi 'perang' di etnis Mongol layaknya gladiator di Yunani sana. Semua tergambar dari patung lilin yang betul-betul mirip aslinya.
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Soal kehidupan Kazakh juga tergambar jelas di sini. Mereka yang hidup dekat Tibet ini kebanyakan berprofesi petani.
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Wajah laki-laki dan perempuan di patung lilin digambarkan mancung-mancung serta berkulit putih. Ada juga di antara mereka yang berternak sapi ataupun domba.
Xinjiang Uyghur Autonomous Region Museum (Foto: Wisnu Prasetiyo/kumparan)
Dari museum ini kita belajar kehidupan di Xinjiang yang megah namun tetap khas. Pemandu mengatakan pemerintah setempat sangat serius dalam melakukan perawatan di museum ini.
"Mereka rutin memberikan dana dan barang-barang di sini semuanya tak ada yang rusak. "
Ya begitulah Museum etnik di Xinjiang. Jika mereka saja bisa menghargai budaya dan sejarah wilayahnya sendiri. Bagaimana dengan kita?
ADVERTISEMENT
Laporan wartawan kumparan.com Wisnu Prasetiyo dari Urumqi, Xinjiang, China