Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Perjalanan ke Negeri Seberang Xinjiang China
11 Mei 2017 15:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Bersiap, Khawatir dan Tak Sabar
Saat itu matahari belum menampakkan sinarnya, namun aku sudah bergegas membawa setumpuk bawaan untuk melakukan tugas pertamaku menjelajahi negeri seberang.
ADVERTISEMENT
Jalanan menuju bandara masih lengang, tak ada bunyi klakson ataupun antrean kendaran di tol. Andai Jakarta setiap detik seperti ini, gumamku dalam hati.
Sampai di bandara, aku langsung menuju tempat check in. Aku menuju counter maskapai yang tak biasa kutumpangi.
Rasa cemas sempat menghantui penerbangan pertamaku ke luar Indonesia kali ini. Bukantakut terbang melainkan aku takut tak makan seharian, karena makanan yang disediakan oleh maskapai China ini belum tentu ada ada yang halal.
Akhirnya aku duduk di kursi 51C. Penerbangan hari itu cukup kosong, bahkan dua kursi di sebelahku tak berpenghuni. Butuh waktu sekitar 15 jam untuk sampai di kota tempat tujuan dengan sekali transit.
Belasan jam di dalam kabin pesawat membuat rasa bosan datang menghampiri. Tak ada layar di depan mataku. Tak ada teman bicara juga. Akhirnya aku memutuskan untuk membaca novel Tan Malaka yang aku bawa dari rumah. Buku yang belum pernah kusentuh sejak kudapat sebagai hadiah ulang tahunku, Januari lalu.
ADVERTISEMENT
Satu jam aku terbang, para pramugari bulak-balak di depanku untuk menawarkan minuman dan makanan. Saat menawarkan minuman, aku meminta orange juice. Tapi, baru seruput sedikit aku tak berkenan untuk menyantapnya lebih lanjut. Rasanya sangat asam.
Untungnya saat jam makan, pramugari memiliki menu ayam dan aku akhirnya bisa makan. Sedikit mie dan daging ayam yang rasanya hambar. Tapi setidaknya perutku tak keroncongan.
Pemeriksaan Imigrasi yang Ketat
Aku tiba di tempat transit. Ini kali pertamaku tiba di negeri orang dan harus merasakan keribetan diperiksa bagian imigrasi.
Sebelum dicek, antrean sudah menjalar sangat panjang. Berbagai warna kulit berbaur menjadi satu. Setibanya di tempat pemeriksaan, petugas imigrasi memintaku untuk membuka kaca mata setelah melihat pasporku. Beberapa kali ia memperhatikan wajahku sambil melihat pasporku.
ADVERTISEMENT
Sekitar 15 menit aku diperiksa oleh petugas imigrasi yang tak murah senyum itu. Aku lalu melanjutkan perjalananku melalui penerbangan domestik. Penerbanganku kali ini butuh waktu 5 jam.
Tiba di Negeri Seberang: Seperti Dongeng
Aku mendarat sekitar pukul 23.30 waktu setempat. Setibanya di bandara aku disambut seorang gadis putih berkacamata lucu. Dia berteriak memanggil namaku.
"Wisnu Prasetiyo, Wisnu Prasetiyo!'
Dan aku pun langsung menyambanginya. Namanya Valentina, dia pelajar dan orang asli negeri seberang ini. Belum sempat berbincang panjang, aku kemudian langsung bergegas ke hotel untuk beristirahat.
Tempat ku menginap sangat mewah. Ruangannya luas, nyaman, fasilitas lengkap. Tak lama setelah bersih-bersih dan menunaikan kewajibanku untuk beribadah, aku pun tidur dengan pulas.
ADVERTISEMENT
Azan subuh terdengar. Seperti biasa ku bersyukur bisa membuka mata tepat di kala suara syahdu melewati kedua telingaku.
Namun, ketika aku membuka mata, aku tak melihat secangkir kopi susu dan sepotong roti yang biasanya sudah ada di meja televisi dekat tempatku tidur. Aku juga tak mendengar suara kerincingan kunci Ibuku yang tengah membuka gerobak dagangannya.
Sambil mengusap kedua mataku perlahan, aku baru menyadari aku tak lagi berada di rumah 6 x 2 meter yang biasa kutinggali bersama ibuku.
Ah, aku baru ingat, subuh ini aku membuka mata di negeri seberang. Untuk pertama kalinya aku merasakan peristiwa subuh di sebuah tempat yang bergitu jauh dari rumah.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri sejenak sambil bersuci. Kemeja berwarna hitam dan jaket abu-abu sudah kusiapkan untuk menghadap Sang Khalik di negeri yang pernah disebut nabi sebagai tempat yang patut dikunjungi untuk menuntut ilmu.
ADVERTISEMENT
Setelah aku sarapan, aku langsung bergegas untuk mengikuti serangkaian kegiatan. Selama perjalanan, aku melihat paradoks yang mencengangkan. Gedung-gedung menjulang namun suasana masih sejuk dengan udara segar pegunungan dan satu lagi tanpa macet.
Kesan pertamaku tentang Xinjiang adalah: kawasan yang indah, maju dan sangat berbeda dengan tempatku menghabiskan hidupku, Jakarta.
Nantikan kelanjutan cerita perjalananku di kumparan. Follow topik Wisnu Goes to China untuk mengikuti ceritaku selanjutnya.
*Laporan wartawan kumparan.com Wisnu Prasetiyo dari Xinjiang, China.