Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sejarah Hisab-Rukyat: Antara kebijakan dan kebijaksanaan
1 Mei 2023 8:23 WIB
Tulisan dari Salman Farishi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perbedaan dalam menentukan awal Ramadan, Idulfitri, hingga Iduladha di kalangan umat Islam bukan terjadi kali ini atau beberapa tahun belakangan saja. Di Indonesia, hal ini sudah terjadi sejak masa orde baru atau bahkan mungkin lebih lama lagi dari itu. Namun, baru kali ini hal tersebut menimbulkan polemik kegaduhan yang luar biasa setelah dua oknum periset bidang astronomi membuat pernyataan yang jauh dari etika seorang periset atau peneliti.
ADVERTISEMENT
Seorang profesor riset bidang astronomi yang juga anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) dalam akun media sosialnya melemparkan tuduhan “tidak taat” dan seolah mengemis fasilitas pemerintah terhadap ormas Muhammadiyah yang kebetulan tahun ini memutuskan 1 Syawal berbeda dengan keputusan pemerintah. Sementara sang anak buah membuat ancaman membunuh dan menghalalkan darah warga Muhammadiyah.
Selain tidak beradab, pernyataan-pernyataan tidak mendasar tersebut seolah mengabaikan kontribusi besar Muhammadiyah dalam meraih kemerdekaan serta menjaga keutuhan NKRI selama ini. Seakan keduanya lupa dengan sejarah sepak terjang Muhammadiyah di Indonesia.
Sejarah perbedaan penetapan sejak era Orde Baru
Lalu bagaimana sebenarnya sejarah perdebatan dan perbedaan penetapan hari-hari yang penting bagi umat Islam tersebut khususnya di Indonesia?
Pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama (NU) melalui keputusan Musyawarah Nasionalnya menyatakan bahwa penetapan pemerintah tentang awal Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha yang berdasarkan hisab tidak wajib diikuti. Masih menurut keputusan tersebut, hisab hanya boleh diikuti dan diambil oleh pelaku hisab (orang yang memahaminya) dan yang meyakininya. Hisab tidak berlaku bagi warga Nahdliyin dan ummat Islam di Indonesia pada umumnya. Lalu pada tahun 1987 munas NU menyatakan bahwa penetapan awal Ramadan, awal Syawal, dan Iduladha hanya boleh diambil dan diikuti warga Nahdliyin jika dilakukan dengan metode rukyatulhilal atau istikmal (penggenapan).
ADVERTISEMENT
Sementara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sejak dulu hingga sebelum dibubarkan oleh pemerintah RI sama-sama menggunakan metode rukyatulhilal seperti NU, secara praktikal agak berbeda. Rukyatulhilal yang dipakai HTI lebih bersifat global, bukan regional sebagaimana pendapat sebagian besar ulama mazhab Syafi’i yang diaminkan oleh kalangan NU. Itu sebabnya HTI selalu mengikuti atau berbarengan dengan Arab Saudi dan kebanyakan negara-negara timur tengah lainnya.
Muhammadiyah dan PERSIS (Persatuan Islam) sama-sama mengadopsi metode hisab namun dengan kriteria yang berbeda. Muhammadiyah telah lama mengadopsi dan mengamalkan hisab hakiki wujudul hilal dengan kriteria: (1) ijtimak sebelum gurub, (2) bulan terbenam (moonset) setelah matahari terbenam (sunset), (3) saat gurub hilal sudah wujud di atas ufuk, tanpa mengharuskan kriteria ketinggian hilal yang mungkin untuk dilihat. Sementara PERSIS menggunakan metode hisab imkan rukyat dengan kriteria ketinggian 2 derajat, metode dan kriteria yang sama dengan yang digunakan oleh Badan Hisab dan Rukyat (BHR) dan dijadikan acuan pada setiap sidang isbat terutama setelah era reformasi sebelum diterapkannya kriteria baru MABIMS.
ADVERTISEMENT
Di masa orde baru, rezim yang berkuasa saat itu cenderung menerima dan menggunakan metode serta kriteria dari Muhammadiyah, sehingga ketetapannya lebih sering sejalan dengan hasil hisab Muhammadiyah, kecuali pada tahun 1998. Sementara di era sesudah reformasi, kecenderungan pemerintah adalah menggunakan metode hisab imkan rukyat, yakni hisab yang divalidasi oleh rukyatulhilal dengan kriteria 2-3-8 ( tinggi hilal 2 derajat-elongasi 3 derajat-dan usia hilal 8 jam) yang kemudian diubah dengan menggunakan kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei Indonesia Malaysia dan Singapura) 3-6,4 (tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4) sejak tahun 2022 lalu.
Perbedaan tidak hanya karena berbeda metode
Dalam praktiknya, perbedaan yang terjadi tidak selalu karena perbedaan metode hisab dan rukyat semata. Contoh kasus yang unik dan menarik misalnya pada tahun 2006. Meskipun sama-sama pengguna rukyatulhilal dan bahkan masih sama-sama NU, antara PBNU dan PWNU Jawa Timur terjadi selisih pendapat dalam menetapkan 1 Syawal 1427 H. PWNU memutuskan 1 Syawal jatuh pada 23 Oktober 2006 berdasarkan ketampakan hilal di Bangkalan, Madura. Sementara kesaksian itu ditolak oleh PBNU dan BHR karena dianggap hilal belum mungkin terlihat, sehingga pemerintah bersama PBNU, PERSIS dan kebanyakan ormas Islam lainnya memutuskan 1 Syawal jatuh pada 24 Oktober 2006. Muhammadiyah yang sama-sama pengguna hisab seperti PERSIS namun berbeda secara kriteria menyatakan hilal sudah wujud pada 22 Oktober 2006, sehingga keesokan harinya yaitu 23 Oktober sudah 1 Syawal. Muhammadiyah berlebaran bareng dengan PWNU Jawa Timur ketika itu.
ADVERTISEMENT
Hal menarik lainnya juga terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Pemerintah orde baru yang biasanya sejalan dengan hasil hisab Muhammadiyah pada sidang isbat 1998 menolak seluruh saksi rukyatulhilal dan memutuskan istikmal (penggenapan 30 hari) karena berdasarkan hisab imkan rukyat hilal tidak mungkin terlihat. Hanya Muhammadiyah yang meminta kesaksian di Bawean dan Cakung diterima.
Di tahun 1999 PBNU menyatakan hilal tidak terlihat meskipun menurut krteria imkan rukyat saat itu posisinya sudah di atas 2 derajat sehingga NU melakukan istikmal dan Ramadan menjadi 30 hari. Padahal pemerintahan era awal reformasi yang saat itu dipimpin oleh Gus Dur dari kalangan NU justru membuat ketetapan yang sama dengan Muhammadiyah yakni Ramadhan 29 hari sehingga berlebaran lebih cepat 1 hari dari NU.
ADVERTISEMENT
Dari fakta-fakta sejarah di atas, kita melihat bahwa perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha tidak selalu dikarenakan perbedaan metode hisab-rukyat ansich. Tetapi dan bahkan lebih seringnya disebabkan perbedaan kriteria hilal itu sendiri. Selain itu, keyakinan dalam melihat atau tidaknya hilal juga menjadi sebab perbedaan seperti yang terjadi antara PWNU dan PBNU pada tahun 2006.
Suka atau tidak suka, fakta sejarah juga menunjukkan bahwa situasi politik berpotensi mempengaruhi kebijkan penetapan hari-hari tersebut sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998 dan 1999.
Sebagian kalangan menduga bahwa pemerintah orde baru menetapkan Idulfitri yang berbeda dengan Muhammadiyah pada tahun 1998 karena dipengaruhi situasi politik di mana Amin Rais (ketua umum Muhammadiyah saat itu) terlibat konflik dengan pemerintahan orde baru. Sementara pada tahun 1999 Gus Dur berencana menghapus BHR yang dianggap tidak efektif, sehingga perbedaan ketetapan antara NU dan pemerintahan Gus Dur dianggap bukan masalah. Meskipun sampai Gus Dur turun tahta penghapusan BHR tidak pernah terwujud.
ADVERTISEMENT
Perlunya kebijaksanaan dalam menerima perbedaan
Tulisan ini tidak bermaksud mengkritisi atau bahkan membandingkan mana yang benar dari kesemua perbedaan metode, kriteria, serta penetapan hari-hari penting umat Islam tersebut. Pertama, hal tersebut bukanlah ranah kompetensi penulis yang merupakan seorang perekayasa bidang material. Kedua, hal itu juga bukan fokus dari tulisan ini.
Penulis hanya ingin mengajak semua pihak untuk menyadari kembali betapa pentingnya kebijakan yang disertai kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan. Terutama perbedaan yang lahir dan berkembang dari hasil produk pemikiran manusia. Selama produk pemikiran tersebut berdasarkan dalil yang dapat diterima, serta tidak menyalahi hal-hal yang prinsip dan qath’i (jelas tanpa memerlukan penafsiran) maka siapapun yang memiliki perbedaan pandangan terhadapnya tidak mempunyai hak untuk merasa paling benar dan merendahkan pendapat tersebut. Apalagi jika faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut tidaklah tunggal, rasanya terlalu gegabah jika menuduh salah satu organisasi saja yang bersifat egosektoral dan tidak taat pada pemerintah sementara fakta sejarah berkata lain.
ADVERTISEMENT
Penulis sendiri meskipun terlahir dari kalangan keluarga Muhammadiyah yang cukup kental, penerimaan penulis terhadap hisab hakiki wujudul hilal tidak datang begitu saja. Pernah pada suatu masa penulis yang sejak SMP merupakan pengagum Gus Dur ini lebih cenderung pada rukyatulhilal dan juga taat kepada ulil amri yang sesuai pemahaman penulis saat itu. Dalam perjalanannya penulis mempelajari berbagai literatur dan kajian-kajian dari berbagai ustadz lintas madzhab dan ormas. Hingga penulis sampai pada kesimpulan dan keputusan untuk lebih mengikuti ketetapan Muhammadiyah dalam 2 tahun terakhir ini tanpa menyalahkan pihak lain yang berbeda. Mungkin sebagian pihak akan menganggap penulis tidak konsisten, namun bagi penulis ini adalah sebuah proses pendewasaan dalam berpikir dan bersikap.
Perbedaan ini sudah terjadi sangat lama, puluhan tahun. Sudah semestinya kita lebih arif dan bijaksana menghadapi situasi ini. Pemerintah sendiri telah bersikap bijaksana dengan memberikan ruang toleransi terhadap perbedaan ketetepan dengan pemerintah selama hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
ADVERTISEMENT
Sudah seharusnya kebijaksanaan pemerintah diikuti oleh semua pihak dan individu terlebih lagi bagi mereka yang terlibat dalam proses pengambilan kebijakan tersebut seperti sang profesor yang ternyata anggota BHR dan peserta sidang isbat juga. Keinginan menyatukan umat Islam pada hari raya tentu merupakan cita-cita yang baik dan mulia. Namun cara untuk menyatukannya dengan dialog intensif yang penuh adab jauh lebih penting.
Sekiranya sang profesor mencukupkan diri pada merekomendasikan metode dan kriteria yang beliau yakini serta mengkritik metode dan kriteria yang beliau anggap keliru, karena memang itu ranah kompetensi beliau, kegaduhan ini tidak perlu terjadi. Pernyataan-pernyataan seperti “tidak taat pada pemerintah”, “egosektoral Muhammadiyah”, serta “minta difasilitasi pemerintah” adalah pernyataan yang offside dari ranah kompetensi beliau, tidak sesuai etika seorang peneliti, dan memancing perdebatan yang kontraproduktif. Terbukti sampai muncul pernyataan “menghalalkan darah warga Muhammadiyah” dari anggota peneliti beliau karena emosi menanggapi komentar orang lain yang mendebat pernyataan sang profesor.
ADVERTISEMENT
Belajar dari kegaduhan tahun ini dan perdebatan-perdebatan yang tidak kunjung usai pada tahun-tahun sebelumnya, sudah saatnya bagi pemerintah melalui kemenag, MUI, dan BHR serta merangkul semua pihak dan ormas untuk duduk berdiksusi secara intensif dengan hati yang dingin dan kepala yang lebih terbuka dalam mencari solusi yang bisa diterima semua pihak. Mungkin perlu waktu berhari-hari dan biaya yang tidak sedikit, namun boleh jadi diskusi intensif yang panjang tersebut memberikan hasil yang lebih baik dari sekedar debat sehari pada sidang isbat. Asalkan semua pihak datang dengan niat yang tulus untuk mencari solusi bersama.
Semoga apa yang dicita-citakan agar umat Islam memiliki kalender bersama dan berhari raya secara bersamaan terwujud. Jikalaupun cita-cita itu masih sulit untuk diwujudkan, maka masih ada cara lain agar perbedaan tidak menjadi musibah, yakni dengan mendewasakan masyarakat kita dalam menerima perbedaan dengan memberikan contoh toleransi yang baik dari para tokoh masyarakat dan elite pemerintahan. Bukan justru memancing kegaduhan.
ADVERTISEMENT
Wallahu’alam.
Mumpung masih dalam suasana Idulfitri, penulis mengucapkan Taqobbalallahu minna wa minkum. Semoga Allah menerima segala amal ibadah kita dan mengampuni segala khilaf kita selama ini.
Berikut ini adalah beberapa referensi yang penulis gunakan dalam menulis artikel ini:
Depok, 1 Mei 2023
Penulis merupakan Pengurus PCI Muhammadiyah Korea Selatan, perekayasa bidang material polimer BRIN, dan juga Mahasiswa S3 bidang Applied Physics di Ulsan, Korea Selatan.
ADVERTISEMENT