Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berkaca soal Dilema Pendanaan Museum dari Kontroversi Museum SBY-Ani
23 Februari 2021 7:04 WIB
Tulisan dari Salsabilla Sakinah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dilema Museum: Dicibir ketika Buruk Rupa, Tapi Pendanaannya Tak Menjadi Prioritas
ADVERTISEMENT
Kontroversi dana hibah Rp 9 M dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk pembangunan Museum dan Galeri Seni SBY-Ani di Kabupaten Pacitan membuka satu diskusi menarik soal pendanaan museum, yang oleh banyak pihak, rupanya dianggap sebagai hal yang belum perlu diprioritaskan. Masalah museum dinilai sebagai hal yang kalah penting dibanding masalah ekonomi, kesehatan, dan aspek kehidupan lainnya, terutama di tengah kesulitan akibat pandemi COVID-19 ini. Hal itu antara lain tercermin dari sejumlah pernyataan para tokoh yang dikutip di berbagai media.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, anggota DPRD Jatim Fraksi PDI Perjuangan, Deni Wicaksono, menyebut agar dana tersebut lebih baik digunakan untuk membagikan beras kepada rakyat, memfasilitasi bantuan paket data untuk pelajar, atau memberi beasiswa untuk mahasiswa yang kesulitan membayar biaya kuliah. Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, juga berpendapat bahwa pembangunan museum tidaklah tepat menjadi sasaran bantuan keuangan. Menurutnya, anggaran tersebut lebih baik diarahkan untuk bidang kesehatan, peningkatan kualitas lingkungan hidup, dan penurunan kemiskinan. Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, bahkan menilai bahwa museum masih belum sepenuhnya dibutuhkan masyarakat. Alih-alih untuk museum, ia mengusulkan agar dana tersebut digunakan untuk program pemulihan kesehatan, ekonomi, atau bahkan diberikan dalam bentuk bantuan langsung tunai ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tapi benarkah bahwa pendanaan bagi museum memang belum sepantasnya dijadikan prioritas, terlebih di masa pandemi COVID-19 ini?
Kasus pencurian ratusan koleksi Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara yang belum ada sebulan lalu menghebohkan kita mungkin bisa menjadi gambaran jawabannya. Ketika laporan kasus pencurian tersebut mencuat disertai foto-foto langsung dari lokasi kejadian, kita serentak marah, menghujat, dan tak habis pikir: mengapa museum kita bisa seburuk itu? Storage alias ruang penyimpanan koleksi yang berdebu dan seadanya–hanya rak-rak besi terbuka beralas koran-koran bekas, tidak ada CCTV, tidak ada tenaga keamanan, juga pengamanan fisik yang hanya berupa sebuah gembok tipis berkarat. Seperti diakui oleh Kepala Museum dan Taman Budaya Sulawesi Tenggara, Dodhy Syahrulsah, selaku pengelolanya, minimnya anggaran dan pendanaan adalah salah satu sebab utama kondisi museum yang amat jauh dari ideal tersebut.
ADVERTISEMENT
Mari beranjak melihat dari sudut pandang lain lagi. Berapa banyak, sih, di antara kita, yang tidak pernah merutuki buruknya kondisi museum di Indonesia? Meski saat ini semakin banyak museum yang sudah berbenah jadi lebih baik, persepsi bahwa museum adalah tempat yang gelap, kumuh, suram, kotor, monoton, dan isinya ‘begitu-begitu saja’ masih belum hilang sempurna. Tentu kemelekatan pandangan itu adalah hasil dari pengalaman kita puluhan tahun tumbuh bersama museum-museum dengan kondisi semacam itu. Tak banyak yang membahas penyebabnya secara terang-terangan, tapi sangat masuk akal kalau menduga bahwa keterbatasan anggaran adalah salah satunya.
Mengapa? Tentu saja karena membangun, merawat, dan mengelola museum yang bagus itu perlu dana yang memadai. Pendanaan museum bukan hanya soal dana untuk membangun gedungnya, tapi juga untuk melengkapi infrastruktur keamanan dan keselamatan yang sesuai standar, membangun sistem pendataan, manajemen, dan konservasi koleksi yang baik, menata display pameran, juga melaksanakan kegiatan dan program-program edukasi sebagai salah satu tugas utama museum. Jangan lupakan pula anggaran memadai yang mesti dialokasikan untuk pengembangan sumber daya manusia yang mengelola museum tersebut, agar museum dapat tetap berjalan dengan baik secara berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Anggaran dana ini akan membengkak lagi kalau ada tuntutan untuk melengkapi museumnya dengan aneka piranti teknologi canggih demi menarik perhatian milenial dan Gen Z masa kini. Saya pernah diminta salah satu instansi pemerintah untuk membantu menghitungkan biaya yang diperlukan kalau mau menambahkan digital interactive wall di sebuah bangunan bersejarah. Ketika angkanya keluar, mereka tercengang, karena anggaran yang tersedia rupanya hanya sepersekian dari dana yang dibutuhkan untuk merealisasikannya.
Jadi, kalau museum kita ramai-ramai dituntut untuk jadi bagus, keren, dan modern seperti museum-museum di luar negeri, tapi anggaran dan pendanaannya tak pernah dijadikan prioritas–bahkan kalah oleh kepentingan penyaluran bantuan langsung tunai–saya hanya bertanya-tanya: Bagaimana caranya?
Kembali ke polemik dana hibah untuk Museum dan Galeri Seni SBY-Ani, saya sebenarnya bisa memahami apa yang menjadi keberatan banyak pihak sesungguhnya: karena museum yang akan didanai ini adalah museum swasta yang narasinya sangat personal. Secara hukum, benar bahwa berdasarkan PP No. 66 Tahun 2015 Tentang Museum, museum swasta pun berhak menerima bantuan pendanaan dari pemerintah. Tapi pihak SBY dan Demokrat sendiri sudah menyatakan bahwa mereka tidak meminta dana dari pemerintah dan akan tetap melanjutkan pembangunan museumnya meski tanpa bantuan hibah tersebut.
ADVERTISEMENT
Kalau begitu, jalan tengahnya, mungkin akan lebih baik, berdampak, dan minim kontroversi apabila dana yang telah dianggarkan tersebut dialihkan untuk membangun Museum Kabupaten Pacitan saja. Bagaimana?