Konten dari Pengguna

Menikmati Proses Ikhlas dan Merelakan

Salsyabila Sukmaningrum
Mahasiswi Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta.
20 Juli 2023 15:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salsyabila Sukmaningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Genggaman tangan terbuka melepaskan mimpi dan harapan. Foto: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Genggaman tangan terbuka melepaskan mimpi dan harapan. Foto: unsplash.com
ADVERTISEMENT
Perasaan rela sangatlah erat kaitannya dengan kata ikhlas. Membiarkan sesuatu yang diinginkan, diharapkan, bahkan yang sudah dimiliki pergi dan lepas begitu saja rasanya sangat sulit. Siapa yang rela jika harus membiarkan apa yang sudah menjadi kepunyaan harus dibiarkan pergi begitu saja?
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya semua yang dimiliki di dunia ini hanyalah titipan. Pasangan, barang, benda, perasaan hingga mimpi yang diidam-idamkan dulu bisa saja pergi begitu saja. Beberapa hal mungkin tidak bisa digapai hingga harus dibiarkan pergi karena lelah. Belajar ikhlas menjadi kunci untuk merelakan kepergian.
Perihal mengalah, seringkali saya dihadapkan dengan keadaan di mana harus membiarkan kepunyaan saya pergi begitu saja. Membiarkan pergi apa yang kita miliki baik yang hidup hingga benda mati pergi tentu menyakitkan. Namun, ada beberapa hal yang harus terpaksa dibiarkan pergi jika memang harus.
Saat kecil, bertengkar dengan adik menjadi persoalan yang sering terjadi. Merebutkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu berharga membuat perkelahian kecil antara hubungan kakak dan adik dulu rasanya malu jika diingat-ingat. Tetapi, bumbu serunya hubungan kakak-beradik ada dari selisih kecil tersebut.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang sebenarnya sangat abstrak. Dari meributkan tontonan televisi hingga sepasang baju yang warnanya berbeda padahal sama-sama dibelikan Ibu. Jika diingat, pasti melelahkan dan memusingkan kepala jika menjadi Ibu di masa itu.
"Yuk mengalah dengan adik. Kamu kan kakak, sudah besar."
Ketika pertengkaran dimulai, Ibu selalu berkata demikian. Tentu perasaan marah, kesal, dan kecewa pasti ada. Merasa tidak dibela siapa-siapa, tidak diutamakan sampai harus mengalah dengan semua. Saya ketika kecil sangat kesal mendengar ucapan Ibu yang seperti itu.
Beranjak remaja, problematika seperti ini selalu ada saja, misal mengalah dengan teman. Untuk orang yang memiliki rasa tidak enak hati seperti saya, pastilah sangat sering mengorbankan perasaan dan memilih mengalah di setiap perdebatan, pilihan yang dinilai lebih bijak.
Mengalah dan memilih menjaga perasaan teman. Foto: pexels.com
Seperti pesan Ibu, tidak apa-apa jika harus mengalah lebih dulu. Tidak ada yang benar atau salah, hanya ada siapa yang memiliki hati paling lapang dan ikhlas. Mungkin juga memang bukan takdir, maka pilihan satu-satunya adalah mengikhlaskan.
ADVERTISEMENT
Namun, sesekali janganlah mengorbankan perasaan sendiri. Jika memang bisa berargumen untuk menyampaikan hak, maka sebaiknya disampaikan. Karena dibutuhkan hati yang benar-benar ikhlas untuk bisa menerima lapang dada, hati yang tulus untuk merelakan. Jika tidak, gejolak yang berkumpul pelan-pelan akan berubah menjadi dendam.
Semakin dewasa, ketika dihadapkan dengan realita kehidupan sebenarnya, saya baru menyadari itu semua. Tentang ucapan ibu dan hal yang pernah terjadi di masa lampau. Akan ada banyak hal yang harus direlakan dan diikhlaskan, sekalipun belum dimiliki.
Menyadari beberapa cita-cita yang dulu di genggam erat dan di doakan setiap harinya, harus dibiarkan begitu saja. Ironis, tapi begitulah kehidupan. Beberapa keinginan harus digapai, diusahakan semaksimal mungkin, dan diwujudkan pelan-pelan. Namun beberapa hal yang lain harus terpaksa dilupakan karena terpaksa keadaan.
ADVERTISEMENT
Memiliki jiwa pejuang pun tidak cukup jika harus melepaskan karena keadaan. Merelakan keinginan untuk sementara waktu memang cukup memberatkan hati, apalagi sesuatu yang sangat berharga dan telah diperjuangkan sejak dulu.
Namun, di masa lalu sudah terlalu banyak merelakan hal-hal yang seharusnya milik saya. Kini saya juga merelakan beberapa mimpi yang seharusnya menjadi hak milik. Mungkin lelah menjadi alasan untuk ikhlas. Ada banyak faktor yang membuat semua hal ini terjadi, termasuk merelakan.
Usaha yang tidak putus dijalankan dan doa yang tidak berhenti dipanjatkan, akan menemui titik lelahnya sendiri. Saya berpikir, mungkin memang bukan jalannya di sana, bukan pula itu jalan kesuksesan yang dimaksud. Maka saya mencoba cara lain, diawali dengan ‘mengikhlaskan dan merelakan’ impian saya.
ADVERTISEMENT
Merelakan impian tidak selamanya buruk. Selama sudah melakukan banyak usaha ini dan itu seharusnya perjalanan mimpi sudah dapat terproses. Kemudian berserah diri pada Tuhan. Meminta petunjuk apa langkah selanjutnya yang harus dijalankan. Dari sini, baik dan buruk input yang akan terlihat datangnya dari diri sendiri. Bagaimana menyikapi kegagalan dengan bijak, bagaimana menghadapi krisis dengan tenang.
Tidak apa-apa menjadi gagal karena harus merelakan dan mengikhlaskan berkali-kali. Selama niat dan tekad selalu ada, bangkit menjadi jalan utama yang harus ditempuh. Mencari tujuan dan kemenangan lain bukan berarti menyerah, bisa jadi ada kunci yang mengantarkan menuju kesuksesan itu sendiri.
Ada faktor x yang bisa menyebabkan banyak hal tak sejalan dengan kemauan. Maka dari itu belajar mengikhlaskan dan merelakan menjadi jawaban untuk menghadapi faktor x di kemudian hari. Setelah itu, nikmati prosesnya sembari belajar dari pengalaman.
ADVERTISEMENT