Ancaman Paham Radikal dalam Dunia Pendidikan

samsularifin98
Samsul arifin adalah seorang dosen di fakultas hukum universitas muhammadiyah surabaya
Konten dari Pengguna
7 September 2023 5:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber; pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber; pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pendidikan merupakan aspek vital dalam kehidupan manusia, mencakup proses dan hasil dari tindakan individu dari bangun tidur hingga meninggal dunia. Ki Hadjar Dewantoro menyebutnya sebagai pendidikan seumur hidup, yang menekankan bahwa pendidikan adalah proses yang berkesinambungan sepanjang hidup seseorang.
ADVERTISEMENT
Taksonomi pendidikan Benjamin Samuel Bloom mengkategorikannya ke dalam tiga domain: kognitif (keterampilan intelektual), afektif (sifat-sifat kepribadian dan nilai-nilai), dan psikomotorik (keterampilan fisik). Pendidikan bersifat integratif dan komprehensif, melibatkan berbagai aspek yang saling berhubungan yang tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif, tetapi juga mencakup etika dan keterampilan mekanik. Keberhasilan pendidikan harus dievaluasi berdasarkan pencapaian ketiga ranah tersebut secara holistik dan lengkap.
Teori perkembangan kognitif Jean Piaget, menyebutkan bahwa pendidikan harus sejalan dengan perkembangan manusia. Ini berarti bahwa pendidikan harus mempertimbangkan kemampuan individu dan dinamika masyarakat yang terus berkembang, yang meliputi pengetahuan, teknologi, dan budaya. Ketika kehidupan menjadi lebih maju, masalah menjadi lebih kompleks, dan tuntutan masyarakat menjadi lebih tinggi, pendidikan harus menggabungkan kecerdasan untuk mengimbangi dinamika sosial dan memastikan tidak tertinggal.
ADVERTISEMENT
keberhasilan pendidikan dalam membimbing individu untuk menjadi manusia yang baik dipengaruhi oleh perkembangan dan dinamika kehidupan manusia, aksesibilitas informasi, kemudahan komunikasi, serta tuntutan demokrasi dan transparansi.
Kita dapat melihat gerakan reformasi di Indonesia, yang bertujuan untuk beralih dari sistem otoriter ke sistem demokratis, yang menghasilkan perubahan signifikan dalam pemilihan kepemimpinan, transparansi pemerintahan, dan isu-isu sosial di bidang pendidikan. Namun, masih ada tantangan yang harus dihadapi, seperti ekspektasi yang tidak proporsional terhadap para pendidik, ancaman dan intimidasi yang dihadapi oleh para guru, serta adanya radikalisme dalam sistem pendidikan, yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut dan solusi.
Agama sebagai Landasan Radikalisme
Radikalisme dalam konteks pendidikan, secara umum dipahami sebagai sebuah gerakan sosial yang cenderung mengarah pada tindakan negatif. Namun, dari segi bahasa, radikalisme pada dasarnya berbeda dengan terorisme. Radikalisme melibatkan proses pelatihan yang tulus untuk meraih kesuksesan atau aspirasi positif, sedangkan terorisme berakar pada penanaman rasa takut melalui cara-cara yang negatif dan mengintimidasi.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, perbedaan antara radikalisme dan terorisme semakin kabur, dimana radikalisme dianggap sebagai cikal bakal gerakan teroris, karena pemikiran radikal sering kali mengarah pada potensi tindakan ekstremis. Di Indonesia, ada beberapa kasus di mana terorisme dan radikalisme saling terkait, sehingga sulit bagi masyarakat umum untuk membedakan keduanya.
Akar atau sumber radikalisme yang berujung pada terorisme sebagian besar dipengaruhi oleh penafsiran yang sempit terhadap dogma agama. Dalam doktrin-doktrin teks keagamaan, khususnya dalam Islam, terdapat penjelasan tekstual yang dengan mudah dapat dipahami sebagai penumbuh gerakan radikal yang pada akhirnya berujung pada terorisme. Banyak ayat-ayat dalam Al Qur'an yang jika ditafsirkan secara tekstual berpotensi untuk diasosiasikan dengan gerakan radikal.
Kita ambil contoh yang disebutkan dalam Al-Quran (Q.S. Muhammad [47]: 4) yang berisi perintah tekstual untuk memenggal leher orang kafir yang ditemui di medan perang. Ayat tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa setelah mengalahkan mereka, mereka dapat dijadikan tawanan dan dibebaskan atau ditebus. Ayat ini juga menyebutkan bahwa Allah dapat menghancurkan mereka jika dia menginginkannya, tetapi dia bermaksud untuk menguji orang-orang beriman melalui tindakan ini. Ayat ini dikutip sebagai contoh dasar tekstual yang berpotensi ditafsirkan sebagai mempromosikan tindakan radikal, terutama dalam konteks dogma agama dan pemahaman yang sempit.
ADVERTISEMENT
Atau yang disebutkan dalam Al-Quran (Q.S. at-Taubah [9]: 29) yang memerintahkan orang-orang beriman untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, tidak mengikuti agama yang benar, dan tidak mematuhi larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Ayat ini juga menyebutkan pembayaran jizyah (pajak) oleh orang-orang kafir dalam keadaan tunduk. Ayat ini, jika ditafsirkan secara sempit dan tanpa pemahaman yang komprehensif tentang prinsip-prinsip agama, berpotensi menumbuhkan pemikiran radikal dan membenarkan tindakan terorisme.
Radikalisme dalam agama pada akhirnya merambah ke ranah pendidikan, di mana oknum-oknum tertentu dalam sistem pendidikan terlibat dalam kegiatan radikal yang mengarah pada tindakan teror atau menanamkan rasa takut di antara para pemangku kepentingan pendidikan, sehingga menghambat kemampuan mereka untuk menjalankan perannya secara efektif. Guru mungkin tidak dapat bekerja secara optimal karena takut akan ancaman dari pihak eksternal yang merasa dirugikan, sementara administrator sekolah mungkin menghadapi tekanan atau ancaman dari atasan mereka, yang mengakibatkan ketidaksesuaian antara proses pendidikan dan tujuan pendidikan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Radikalisme dalam Dunia Pendidikan
Radikalisme di dunia pendidikan tidak hanya terwujud dalam bentuk tindakan kekerasan, tetapi juga melalui ucapan dan sikap yang berpotensi menyulut terjadinya kekerasan yang tidak sesuai dengan norma-norma pendidikan. Potensi kekerasan ini telah menimbulkan situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan di sekolah, di mana peran dan fungsi sekolah sebagai institusi yang membimbing dan mengayomi telah bergeser menjadi institusi yang mengintimidasi, menyusahkan, dan bahkan menyengsarakan siswa.
Pergeseran ini disebabkan oleh pergeseran orientasi pendidikan yang bergeser dari proses pencerahan menjadi proses pemaksaan dalam memperoleh pengetahuan, sebagai akibat dari dinamika budaya dan persepsi masyarakat yang cenderung memaknai perubahan dan kemajuan pengetahuan, teknologi, dan budaya secara negatif, bukannya memetik nilai-nilai positifnya.
ADVERTISEMENT
Berkurangnya nilai-nilai etika dan rasa hormat di dalam lembaga pendidikan, terutama antara guru, siswa, dan tenaga kependidikan. munculnya pola pikir kepuasan instan di kalangan siswa dan keinginan untuk sukses dengan mudah, sementara para guru dianggap mencari tugas-tugas yang mudah dan mengabaikan tanggung jawab mereka. Pergeseran sikap dan perilaku ini mencerminkan dinamika budaya yang lebih luas dan perubahan sosial yang berdampak pada lingkungan pendidikan.
Untuk mengeliminasi munculnya radikalisme, sangat penting untuk memulai dengan pemahaman kontekstual tentang fenomena sosial. Mengedepankan pola pikir yang seimbang, moderat, dan mengedepankan kebenaran universal adalah langkah utama dalam melawan radikalisme. Disatu sisi perlu tindakan dari otoritas pendidikan untuk segera mengambil langkah-langkah strategis dan teknis untuk mengembangkan peraturan perlindungan guru, yang bertujuan untuk mencegah perlakuan diskriminatif dan ancaman terhadap guru. Penerapan peraturan ini harus disertai dengan upaya komprehensif dan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan untuk secara efektif memerangi dan menghapus radikalisme dalam pendidikan, memastikan bahwa guru melaksanakan tugas mereka tanpa bentuk pelecehan atau bias apa pun, terutama terhadap siswa.
ADVERTISEMENT