Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Feodalisme Agama itu Bernama “Gus”
5 Desember 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istilah "Gus" dalam konteks budaya Jawa, khususnya di kalangan pesantren, sebenarnya memiliki latar belakang historis dan budaya yang berbeda dari konsep kasta dalam agama Hindu atau kelas sosial secara umum. "Gus" adalah panggilan kehormatan yang diberikan kepada putra kiai, khususnya kiai yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. kalau di Madura, orang-orang biasa menyebutnya “Lora”.
ADVERTISEMENT
Meskipun terlihat seperti “hierarki sosial,” penggunaan istilah ini lebih mencerminkan penghormatan kepada keluarga kiai karena peran mereka dalam menyebarkan ilmu agama dan mendidik masyarakat, bukan karena status ekonomi atau keturunan semata. Dalam tradisi pesantren, penghormatan ini didasarkan pada ilmu, akhlak, dan kontribusi, yang sebenarnya sejalan dengan ajaran Islam tentang penghargaan terhadap mereka yang berilmu.
Guru saya berkata, “jika istilah ini kemudian berkembang menjadi status yang melampaui fungsi asalnya, itu lebih disebabkan oleh faktor budaya dan dinamika sosial, bukan ajaran Islam itu sendiri”.
Saya menilai bahwa "sebenarnya Islam datang untuk memperbaiki kehidupan, menjadi tuntunan, ajaran, menghapus kasta-kasta, menghapus kelas sosial, serta Islam menghapus kelakuan feodal, tapi Muslim Jawa malah mengembalikan dengan melahirkan istilah Gus". Kritik ini saya sampaikan, karena saya berpikir penting untuk terus mengingatkan umat Muslim agar tidak melestarikan struktur sosial yang berlawanan dengan prinsip Islam tentang persamaan derajat manusia di hadapan tuhan.
ADVERTISEMENT
Islam memang mendorong egalitarianisme dan menilai seseorang berdasarkan takwa, bukan garis keturunan atau status sosial. Oleh karena itu, saya kira penting untuk terus mengarahkan pemahaman terhadap istilah-istilah seperti ini agar tidak menjadi bentuk "feodalisme terselubung" di masyarakat Muslim.
Hidup dengan Penuh Kesombongan
Tulisan ini mungkin akan memancing beragam reaksi, terutama dari kelompok tertentu yang merasa tersentil. Namun, saya merasa perlu menyampaikan pengalaman pribadi ini, karena menurut saya, ada bahaya besar yang mengintai ketika segelintir orang mulai menganggap diri mereka memiliki derajat lebih tinggi hanya karena gelar atau garis keturunan. Ini adalah refleksi dari pengalaman saya sendiri, termasuk bagaimana keluarga saya, khususnya orang tua, bersikap ketika berhadapan dengan individu yang menyandang gelar “Gus”, "Lora", atau “Habib.”
ADVERTISEMENT
Tidak jarang saya melihat mereka diperlakukan seolah-olah lebih mulia, lebih suci, dan lebih dekat kepada Tuhan dibandingkan umat lainnya. Ada semacam aura eksklusivitas yang mereka ciptakan, baik secara sadar maupun tidak, yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa kecil dan rendah. Bahkan, dalam interaksi sehari-hari, beberapa dari mereka membawa sikap yang mencerminkan keyakinan bahwa status mereka sebagai keturunan tertentu otomatis membuat mereka lebih berhak atas penghormatan, tanpa harus membuktikan nilai moral, akhlak, atau kualitas pribadi yang sebenarnya.
Yang paling mengkhawatirkan adalah dampaknya terhadap masyarakat. Sikap ini tidak hanya melahirkan hierarki sosial yang semu, tetapi juga memupuk budaya pengkultusan individu. Banyak orang, termasuk orang tua saya sendiri, tanpa sadar memperlakukan mereka dengan cara yang hampir menyerupai penghambaan. Takut berbeda pendapat, ragu mengajukan pertanyaan, bahkan cenderung tunduk secara mutlak hanya karena mereka adalah “kaum khusus”. Padahal, dalam Islam, satu-satunya standar kemuliaan adalah ketakwaan, bukan gelar, bukan garis keturunan, dan bukan status sosial.
ADVERTISEMENT
Periaku ini telah menciptakan feodalisme terselubung yang bertentangan dengan ajaran Islam tentang egalitarianism, menimbulkan bahaya jangka Panjang, masyarakat yang terjebak dalam pola pikir feodal, kehilangan keberanian untuk berpikir kritis, dan akhirnya terpecah oleh kesenjangan sosial yang tidak seharusnya ada.
Gelar “Gus” dan “Lora”
Dulu, ketika saya masih di pesantren, ada sosok-sosok yang saya jadikan panutan dalam bersikap dan bertindak. Mereka adalah para lora muda, putra-putra kiai yang memiliki pesona tersendiri. Cara mereka membawa diri, menyikapi masalah, hingga sekadar bercanda, seolah menggambarkan bagaimana seorang anak muda yang santun dan berkarisma seharusnya bertingkah laku. Kebetulan, salah satu lora yang saya maksud itu adalah teman seangkatan saya, sekelas di XII IPA 1. Dalam pandangan saya waktu itu, ia adalah figur ideal seorang “Gus” atau “Lora” yang menjadi teladan bagi lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Namun, idealisme saya mulai terkikis ketika mendengar cerita-cerita lain tentang mereka, cerita yang tidak seindah bayangan saya. Ternyata, ada sisi lain dari beberapa lora yang cenderung nyeleneh, bahkan sering melanggar norma-norma sosial yang selama ini dihormati oleh masyarakat. Anehnya, ketika sikap mereka menabrak tatanan yang berlaku, masyarakat justru bersikap memaklumi, seolah-olah perilaku tersebut adalah bagian dari “keistimewaan” yang melekat pada status mereka.
Salah satu cerita yang membuat saya berpikir keras adalah ketika musim panen padi tiba. Di desa kami, sudah menjadi kebiasaan bagi warga untuk menjemur padi di halaman rumah, atau bahkan sampai ke tepi jalan. Kadang, padi-padi itu sedikit mengganggu lalu lintas, tetapi semua orang memaklumi karena ini bagian dari tradisi dan mata pencaharian utama masyarakat. Namun, lain cerita jika yang melintas adalah seorang lora. Dengan sepeda motornya, ia melaju dengan kecepatan tinggi, tanpa memedulikan padi-padi yang dijemur di jalan. Padi itu diinjak-injak ban motornya, terburai, dan rusak. Bukannya mendapat teguran atau peringatan, si lora justru dipuji. Pemilik padi bahkan menganggap kejadian itu sebagai suatu keberkahan. "Padi kita diinjak ban lora, pasti rezekinya makin barokah," begitu kira-kira logika yang berkembang.
ADVERTISEMENT
Saya tertegun. Keistimewaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab moral malah berubah menjadi tameng yang membuat mereka kebal dari kritik, bahkan norma. Mereka bebas melakukan apa saja, dan masyarakat, dengan sukarela, membangun narasi pembenaran yang tidak masuk akal. Betapa ironisnya ketika status sosial mampu membelokkan akal sehat hingga sedemikian rupa. Keberkahan tidak lagi lahir dari perilaku mulia, tetapi dari tindakan yang melukai kepentingan orang lain. Jika seperti ini terus, bagaimana mungkin masyarakat bisa berharap pada generasi yang beradab? Keistimewaan itu, alih-alih menjadi teladan, justru menjadi racun yang perlahan merusak nilai-nilai kehidupan bersama.