Konten dari Pengguna

Konsep Living Law dalam Pembaharuan KUHP

samsularifin98
Samsul arifin adalah seorang dosen di fakultas hukum universitas muhammadiyah surabaya
17 Maret 2024 17:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari samsularifin98 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disahkan menjadi undang-undang, setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP buatan Belanda. Perkembangan legislatif ini menandai momen penting dalam administrasi hukum pidana Indonesia, yang bertransisi untuk memiliki KUHP sendiri.
ADVERTISEMENT
Keberadaan KUHP sebagai landasan hukum bagi penegakan hukum pidana menandakan Indonesia sebagai negara yang diatur oleh hukum. Konsep Rechtsstaat, atau negara di bawah supremasi hukum, menekankan bahwa hukum harus menjadi otoritas tertinggi dalam mengatur negara, bukan keinginan individu atau pengaruh politik. Kerangka hukum ini, yang tercantum dalam Konstitusi Indonesia, menggarisbawahi pentingnya menegakkan keadilan dan legalitas dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Indonesia.
Pengesahan KUHP oleh DPR dan Pemerintah, menggantikan Wetboek van Strafrechts (WvS) yang diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947. Undang-undang yang baru ini memperkenalkan beberapa perkembangan signifikan seperti penerapan asas legalitas materiil dan konsep Living Law (hukum yang hidup), doktrin ultimum remedium dalam keadilan restoratif, perluasan subjek hukum pidana termasuk korporasi, penerapan prinsip pertanggungjawaban absolut dan substitusi, pengaturan pidana pokok baru seperti pengawasan dan pidana kerja sosial, dan pengenalan pidana mati bersyarat.
ADVERTISEMENT

Konsep Living Law

Selama ini tidak sedikit yang beranggapan bahwa konsep “hukum yang hidup” itu adalah hukum tidak tertulis, seperti hukum adat. Hal ini sejalan dengan pendapat Soepomo, yang mengatakan bahwa hukum adat dianggap sebagai "hukum yang hidup" karena mewujudkan sentimen asli masyarakat, yang terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Berasal dari masa kolonial di bawah pemerintahan Belanda oleh Van Vollenhoven, hukum adat berbeda dari hukum adat dalam bahasa Inggris, yang mewakili aturan-aturan adat dalam masyarakat yang tidak dirumuskan oleh otoritas pemerintah. Perbedaan ini menyoroti pertumbuhan dan perkembangan hukum adat secara organik berdasarkan norma-norma dan praktik-praktik masyarakat, bukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menurut Sukanto, S.H., hukum adat adalah suatu kompleks kebiasaan yang pada umumnya tidak dikodifikasi dan bersifat memaksa, mempunyai sanksi dan akibat hukum. Djojodigoeno menjelaskan bahwa hukum adat terdiri dari dua dimensi: formal, di mana hukum adat tidak tertulis, dan material, di mana hukum adat mengungkapkan norma-norma yang mencerminkan keadilan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia adalah hukum adat, yang dapat menjadi sumber hukum jika diamanatkan oleh undang-undang.
ADVERTISEMENT
Istilah "hukum yang hidup", yang diperkenalkan oleh Eugen Ehrlich, berbeda dengan "hukum negara", yang mengacu pada hukum yang dibuat oleh negara atau hukum positif. Perspektif Ehrlich menekankan bahwa perkembangan hukum berakar pada masyarakat itu sendiri, bukan semata-mata pada undang-undang negara, keputusan pengadilan, atau kesarjanaan hukum. Ia menegaskan bahwa sumber utama hukum adalah masyarakat, dengan menekankan bahwa hukum sangat terkait dengan dan muncul dari norma dan praktik masyarakat.
Konsep "hukum yang hidup" dari Eugen Ehrlich menekankan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dan dibentuk oleh norma-norma dan praktik-praktik masyarakat. Dia berpendapat bahwa hukum yang hidup, yang mendominasi kehidupan masyarakat bahkan sebelum diformalkan menjadi proposisi hukum, muncul bersamaan dengan lahirnya sebuah komunitas. Gagasan ini menyoroti sifat hukum yang dinamis dan berkembang sebagai cerminan dari nilai-nilai dan interaksi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Sociological Jurisprudence, Eugen Ehrlich menjelaskan bahwa konsep hukum melayani kepentingan masyarakat berkaitan erat dengan hukum yang hidup, yang muncul dari interaksi masyarakat. Ehrlich menekankan bahwa hukum negara, atau hukum yang dibuat oleh pemerintah, tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari faktor-faktor sosial, melainkan harus mempertimbangkan dan memasukkan hukum yang hidup yang telah berkembang di dalam masyarakat.
Perspektif ini menggarisbawahi sifat dinamis dari hukum sebagai cerminan dari nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, menyoroti pentingnya menyelaraskan kerangka kerja hukum dengan perkembangan organik norma-norma masyarakat.

Polemik Hukum Adat dalam Pembaharuan KUHP

Prof. Sulistyowati Irianto menekankan pentingnya memisahkan hukum dari moralitas. Beliau membahas koeksistensi hukum negara dan hukum non-negara, seperti hukum adat, hukum agama, dan tradisi, yang dikenal sebagai Pluralisme Hukum. Di dalam masyarakat, terdapat konsep "hukum yang hidup" yang berfungsi sebagai hukum masyarakat, yang menyoroti sifat dinamis dari hukum adat dan potensi risiko penggunaannya untuk melegitimasi politik identitas atau menunjukkan kecenderungan misoginis.
ADVERTISEMENT
apa yang dipaparkan oleh Prof Sulis merupakan pemikiran dari aliran positifisme hukum, Di mana hukum harus dijauhkan dari nilai-nilai moralitas, bahkan dalam lapisan ilmu hukum sendiri, meski posisinya lebih tinggi dari filsafat hukum, Moralitas tidak termasuk ke dalamnya. Sehingga para pembuat kebijakan harus menghindari pemaksaan untuk memasukkan unsur-unsur moral atau agama ke dalam hukum negara, karena penggabungan keduanya dapat menyebabkan pembusukan.
Perumusan hukum harus mempertimbangkan pengalaman dan realitas kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, masyarakat miskin, dan minoritas untuk memastikan inklusivitas dan keadilan dalam kerangka hukum, Prof. Sulis menekankan pentingnya menyusun undang-undang yang mencerminkan perspektif masyarakat yang beragam dan kebutuhan populasi yang terpinggirkan untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan dalam sistem hukum.
ADVERTISEMENT