Konten dari Pengguna

Mengapa PPN PMSE Bisa Diterapkan, tetapi PPh PMSE belum?

Sandika Ilham Muhammad
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
21 Januari 2025 12:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sandika Ilham Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pajak (sumber : freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pajak (sumber : freepik.com)
ADVERTISEMENT
Dalam era ekonomi digital yang berkembang pesat, transaksi melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) telah menciptakan peluang besar bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Namun, di balik potensi ini, terdapat kesenjangan regulasi yang signifikan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sudah dikenakan pada PMSE, tetapi Pajak Penghasilan (PPh) hingga kini belum mampu diterapkan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa pemerintah masih kesulitan mengenakan PPh pada PMSE ?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pasal 4 Perppu No. 1 Tahun 2020, Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Akan tetapi, sebelum tahun 2020, Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur pengenaan pajak terhadap transaksi ini. Ketiadaan aturan ini memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan yang memperoleh pendapatan dari Indonesia tanpa kehadiran fisik di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketentuan sebelumnya yang hanya memungkinkan pemerintah menarik pajak dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang beroperasi secara fisik di Indonesia. Akibatnya, perusahaan-perusahaan tanpa keberadaan fisik di Indonesia mendapatkan kemudahan dalam menjalankan operasional mereka tanpa dikenai pajak.
Untungnya, pemerintah mengambil langkah sehingga dapat mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap PMSE sejak adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 yang telah digantikan dengan PMK Nomor 60 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
ADVERTISEMENT
Meskipun PPN PMSE telah dikenakan, tetapi hingga saat artikel ini dibuat, pajak yang dapat dikenakan pemerintah atas PMSE hanyalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Regulasi yang ada belum mencapai titik di mana pemerintah bisa mengenakan pajak atas penghasilan atau yang sering dikenal dengan pajak penghasilan (PPh).
Kenapa PPN bisa dikenakan pada PMSE, tetapi PPh tidak ?
Di era digital saat ini, transaksi lintas batas melalui platform perdagangan elektronik (PMSE) semakin mendominasi. Namun, satu pertanyaan penting muncul, mengapa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dikenakan pada PMSE, sementara Pajak Penghasilan (PPh) sampai saat ini tidak dikenakan? Jawabannya terletak pada perbedaan mendasar antara sifat kedua pajak ini dan regulasi yang mendukungnya.
1. PPN: Pajak Berbasis Konsumsi
ADVERTISEMENT
PPN adalah pajak konsumsi yang dikenakan atas barang dan jasa yang dimanfaatkan di dalam negeri, tanpa memandang lokasi penyedia layanan atau produk. Dalam konteks PMSE, pemerintah Indonesia telah menetapkan aturan untuk memastikan layanan digital dari luar negeri, seperti Netflix, juga dikenakan PPN jika digunakan oleh konsumen di Indonesia. PPN PMSE ini telah memberikan penerimaan yang signifikan, yaitu sebesar 8,44 Triliun pada tahun 2024. Penerimaan PPN PMSE ini terus mengalami kenaikan setiap tahunnya sejak diterapkan dari tahun 2020.
Penerimaan PPN PMSE (sumber : diolah penulis dari pajak.go.id)
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 60 Tahun 2022 memperjelas mekanisme pengenaan PPN pada PMSE. Pelaku usaha digital yang memenuhi kriteria tertentu ditunjuk sebagai pemungut PPN. Mereka diwajibkan memungut PPN dari konsumen, menyetorkannya ke kas negara, dan melaporkan transaksi mereka. Regulasi ini memungkinkan pemerintah untuk memungut pajak meskipun penyedia layanan tidak memiliki kantor fisik di Indonesia. Prinsip dasarnya adalah bahwa pajak dikenakan di tempat konsumsi terjadi.
ADVERTISEMENT
2. PPh: Pajak Berbasis Penghasilan
Berbeda dengan PPN, PPh dikenakan atas penghasilan yang diperoleh oleh individu atau badan usaha. Namun, dalam konteks PMSE, pengenaan PPh lebih rumit. Menurut pasal 6 ayat 1 huruf (b) UU No. 2 Tahun 2020, sudah diatur bahwa pengenaan pajak penghasilan PMSE dikenakan terhadap subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan ”kehadiran ekonomi signifikan” (significant economic presence). Namun, Aturan perpajakan domestik dan tax treaty masih mensyaratkan adanya "kehadiran fisik" di negara sumber untuk mengenakan pajak penghasilan. Salah satu contohnya adalah Netflix. Netflix tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia sehingga tidak bisa dianggap sebagai BUT dan belum bisa dikenai pajak penghasilan.
Selain itu, kehadiran ekonomi signifikan belum dapat diimplementasikan secara penuh karena Indonesia menunggu tercapainya kesepakatan internasional melalui Konsensus Pajak Global yang dikembangkan oleh OECD. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengikuti Pilar 1 dan Pilar 2 OECD. Pilar 1 berfokus pada pembagian hak pemajakan atas penghasilan perusahaan multinasional, sementara Pilar 2 menetapkan tarif pajak minimum global. Beliau menegaskan bahwa pemerintah masih menunggu implementasi kesepakatan tersebut sebelum menerapkan PPh PMSE secara domestik.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, PPN lebih mudah dikenakan pada PMSE karena pajak ini berbasis konsumsi dan tidak tergantung pada lokasi fisik penyedia layanan. Sebaliknya, PPh berbasis penghasilan, yang membutuhkan keberadaan fisik atau keterkaitan ekonomi yang signifikan untuk dapat diterapkan.
Apakah PPh PMSE bisa dikenakan ?
Karena Indonesia sudah menyatakan akan mengikuti platform internasional dalam pengenaan pajaknya, maka Indonesia dapat mengenakan PPh PMSE ketika sudah ada kesepakatan yang dilakukan di forum internasional. Sesuai dengan pernyataan Staf Ahli Menteri Keuangan, Indonesia akan mengikuti pilar 1 dan 2 OECD yang direncanakan akan diterapkan di tahun 2025 ini.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah cepat untuk penerapan PPh PMSE ini. Hal ini dikarenakan ada potensi penerimaan pajak yang signifikan bagi Indonesia dari sektor pajak tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemerintah harus memantau perkembangan dari kesepakatan ini. Untuk mendukung implementasi ini, pemerintah perlu mempersiapkan diri dengan menyusun regulasi domestik yang selaras dengan prinsip-prinsip Pilar 1 dan 2. Selain itu, kementerian terkait dan pelaku usaha dapat dilibatkan untuk memastikan kesiapan teknis dan operasional. Tidak hanya itu, sosialisasi juga diperlukan mengenai dampak dan manfaat dari penerapan konsensus tersebut.
Kedua, pemerintah perlu melakukan pemutakhiran definisi ”kehadiran ekonomi signifikan”. Salah satu kendala utama dalam pengenaan PPh pada PMSE adalah keterbatasan definisi kehadiran ekonomi signifikan. Selain itu, perusahaan asing yang melakukan usaha di Indonesia dapat dikenai pajak jika dikategorikan sebagai BUT. Oleh karena itu, regulasi yang mengatur lebih lanjut terkait hal ini diperlukan untuk memastikan kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Peningkatan infrastruktur data pajak menjadi kunci dalam mendukung implementasi kebijakan perpajakan digital. Hal ini dapat dilakukan dengan memantau transaksi lintas batas secara real-time. Selain itu, identifikasi perusahaan yang memenuhi kriteria ”kehadiran ekonomi signifikan” sangat diperlukan. Sebagai upaya timbal balik antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, transparansi dalam pengumpulan data pajak dapat dilakukan. Untuk mewujudkan ketiga hal ini, pemerintah sebaiknya mengoptimalkan teknologi saat ini, seperti big data dan artificial intelligence (AI) untuk mempercepat proses pengolahan data transaksi, meminimalkan celah hukum, dan tentunya meningkatkan efisiensi pengawasan.
Keempat, Kolaborasi regional dan internasional menjadi kunci untuk mengoptimalkan kebijakan. Indonesia dapat menginisiasi kerja sama, baik regional maupun internasional untuk menyusun panduan pajak regional yang mendukung pengenaan PPh pada PMSE, sekaligus menciptakan keselarasan dalam pendekatan perpajakan untuk meminimalkan praktik penghindaran pajak. Selain itu, pengembangan sistem pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain memungkinkan identifikasi perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria "kehadiran ekonomi signifikan.". Terkait pertukaran informasi (exchange of information) ini, Indonesia sudah mempunyai regulasi yang tertuang dalam PMK No.39 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional. Oleh karena itu, kebijakan ini sangat perlu dioptimalkan dalam penerapan PPh PMSE nantinya. Selain itu, partisipasi aktif dalam forum global seperti OECD dan G20 juga memberikan peluang bagi Indonesia untuk mempromosikan kepentingan negara-negara berkembang dalam isu perpajakan digital. Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional, tetapi juga memastikan kontribusi perusahaan multinasional terhadap pembangunan nasional dan menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan strategis dalam implementasi konsensus pajak global, pemutakhiran definisi kehadiran ekonomi signifikan, peningkatan infrastruktur data pajak, dan kolaborasi regional serta internasional merupakan langkah penting untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak dari PMSE di Indonesia. Dengan penerapan kebijakan yang tepat, pemerintah dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan ekonomi digital.
Dengan terus berkembangnya ekonomi digital, penting bagi pemerintah untuk terus memperbarui aturan pajak agar dapat mengejar potensi pendapatan yang hilang. Pengenaan PPN pada PMSE telah menunjukkan hasil yang positif dalam meningkatkan penerimaan pajak pusat. Namun, untuk PPh, diperlukan upaya lebih lanjut, termasuk kerja sama internasional untuk menutup celah hukum yang ada. Pajak pada ekonomi digital adalah topik yang kompleks, tetapi dengan pendekatan yang tepat, pemerintah dapat memastikan bahwa sektor ini berkontribusi secara adil pada pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis