Representasi dan Konstruksi Gender dalam series 'Gadis Kretek'

Sania Maulidayanti
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional, Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
5 April 2024 11:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sania Maulidayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Series Netflix 'Gadis Kretek' (Source: Netflix)
zoom-in-whitePerbesar
Series Netflix 'Gadis Kretek' (Source: Netflix)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
'Gadis Kretek' menjadi series yang cukup banyak diperbincangkan di berbagai platform sosial media ketika kemunculannya pertama kali di Netflix.
ADVERTISEMENT
Series Gadis Kretek diangkat dari novel karangan Ratih Kumala yang diterbitkan tahun 2012 dengan judul yang sama. Berlatar belakang masyarakat Jawa di tahun 60an di sebuah kota M dengan pemeran utama bernama Dasiyah atau Jeng Yah.
Jeng Yah memiliki mimpi besar untuk bisa menjadi peracik saus kretek terbaik di kotanya. Tetapi, pada masa itu pergerakan Jeng Yah terbatas karena adanya ketimpangan gender. Perempuan dalam masyarakat adat Jawa dituntut harus bisa memasak, merawat anak, melayani suami dan beberes rumah.
Pak Dibjo menentang Jeng Yah meracik saus kretek (source: Netflix)
Dalam scene diatas, Jeng Yah dilarang menjadi peracik saus kretek karena menurut kepercayaan pak Dibjo adanya keterlibatan perempuan dalam proses tersebut akan menghasilkan saus kretek yang asam.
Seno Aji memastikan Jeng Yah tidak akan bekerja lagi setelah menikah (Source: Netflix)
Kemudian scene diatas menyiratkan bahwa sebagai perempuan yang bekerja memiliki stigma negatif, seharusnya perempuan cukup berada di rumah.
Jeng Yah setelah membatalkan pertunangannya dengan Seno Aji (Source: Netflix)
Scene selanjutnya ketika Jeng Yah menolak perjodohan dari orang tuanya dengan Seno Aji, ibu Jeng Yah mengatakan apa yang dilakukan Jeng Yah telah mempermalukan keluarga. Dalam hal ini artinya Jeng Yah tidak diberi kebebasan untuk memilih pasangannya sendiri dan hidupnya diatur penuh oleh keluarganya.
ADVERTISEMENT
Beberapa scene diatas cukup untuk menggambarkan adanya bias gender pada masa itu, dimana perempuan dianggap tidak kompeten dalam bidang tertentu tanpa alasan yang jelas, tidak boleh bekerja, hanya boleh dirumah mengurus anak, melayani suami, memasak dan beberes. Lalu tidak memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pasangan hidup dan ketika menolak perjodohan dianggap sebagai perempuan yang tidak terhomat dan mempermalukan keluarga. Kemudian juga terdapat representasi maskulinitas pada laki-laki yang dianggap sebagai pemimpin dan penjaga kehormatan.
Konstruksi gender yang terjadi dalam series ini merupakan hasil dari bentukan lingkungan masyarakat berdasar pada apa yang dianggap sebagai "maskulinitas" dan "feminitas". Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural atau tidak ditentukan oleh Tuhan. Perbedaan gender ini dibentuk, dipengaruhi, diperkuat dan dikonstruksikan secara sosial atau kultural yang pada akhirnya dianggap sebagai suatu ketetapan.
ADVERTISEMENT
Konstruksi gender akan berbeda dari waktu ke waktu, berbeda sesuai tempat, kebiasaan dan adat-istiadat tergantung kepercayaan masyarakatnya. Sehingga hal ini akan terus mengalami perubahan tergantung ide dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat sekitar.
"Kenapa orang selalu mengasumsikan perempuan kodratnya masak? Kodrat perempuan itu hanya 3, Mens, Hamil dan Menyusui, selebihnya itu bukan kodrat dan bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan" - Najwa Shihab