Konten dari Pengguna

Generasi Muda yang Kian Menunda Pernikahan

Sarah Ranita
Pegawai Negeri Sipil
15 November 2024 23:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Ranita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pernikahan (foto oleh Jeremy Wong, sumber: pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pernikahan (foto oleh Jeremy Wong, sumber: pexels.com)
ADVERTISEMENT
Menunda pernikahan mulai menjadi suatu fenomena di Indonesia. Jika sepuluh tahun lalu menikah di usia dua puluhan adalah hal yang lazim, kini menunda ke pelaminan hingga usia tiga puluhan menjadi kelaziman yang baru.
ADVERTISEMENT
Menikah di usia berapapun sebetulnya pilihan setiap orang. Namun bagi sebagian orang, menunda pernikahan menjadi tak terelakkan ketika terganjal kondisi finansial. Ketimpangan ekonomi yang ditandai dengan meroketnya biaya hidup tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan yang signifikan. Bagi perempuan, alasannya bahkan lebih kompleks: budaya patriarki.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan adanya penurunan angka pernikahan selama tahun 2021-2023. Terdapat 1,72 juta pernikahan pada 2021. Angka tersebut menurun pada 2022 menjadi 1,7 juta, kemudian menurun kembali pada 2023 menjadi 1,57 juta pernikahan.
Data BPS lainnya menunjukkan adanya tren penurunan persentase pemuda yang berstatus belum kawin. Pada 2014, persentase pemuda belum kawin yakni sebesar 54,11%. Angka ini mengalami peningkatan tiap tahunnya, kecuali pada 2018 yang sempat mengalami penurunan secara tidak signifikan, kemudian meningkat kembali hingga menyentuh angka 68,29% pada 2023. Jika dibedah berdasarkan kelompok umur, sebanyak 81,93% pemuda usia 19-24 tahun dan 38,05% pemuda usia 25-30 tahun berstatus belum menikah.
ADVERTISEMENT
Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan mengapa generasi muda menunda pernikahan. Adanya gap yang lebar antara penghasilan dengan biaya hidup yang semakin tinggi menciptakan kondisi finansial yang tidak ideal.
Berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilaksanakan oleh BPS pada 2022, kota yang memiliki biaya hidup tertinggi di Indonesia adalah Jakarta, yakni Rp14,88 juta per bulan. Biaya hidup tersebut merupakan rata-rata konsumsi oleh satu rumah tangga dalam sebulan. Sementara itu, BPS melaporkan bahwa rata-rata upah buruh dan karyawan di DKI Jakarta pada 2023 hanya sebesar Rp5,53 juta per bulan.
Hal serupa juga terjadi di Cilacap yang memiliki biaya hidup terendah se-Indonesia, yakni Rp5,37 juta per bulan. Laporan BPS menunjukkan rata-rata upah buruh di Jawa Tengah hanya sebesar Rp2,32 juta per bulan.
ADVERTISEMENT
Jika data biaya hidup disandingkan dengan data rata-rata penghasilan, akan terlihat bahwa kondisi finansial untuk membangun kehidupan rumah tangga yang ideal pun tidak dapat terwujud meskipun kedua pihak sama-sama bekerja. Ketimpangan yang tinggi ini akan semakin menyulitkan jika anak muda yang bersangkutan merupakan generasi sandwich.
Mirip dengan isian sandwich yang dihimpit roti, generasi sandwich juga dihimpit oleh kondisi dimana mereka harus menanggung kebutuhan hidup generasi di atasnya (orang tua, mertua) dan generasi di bawahnya (saudara, anak). Bahkan beberapa ada yang turut menanggung anggota keluarga di luar keluarga inti atau extended family.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020 yang dirilis BPS, sebanyak 71 juta penduduk Indonesia atau hampir 27% merupakan generasi sandwich dan 8,4 juta di antaranya turut menanggung extended family. Sementara itu, hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 2022 menunjukkan 67% responden yang mengaku sebagai generasi sandwich. Proporsi terbesar diperoleh generasi Y atau individu berusia 24-39 tahun, yakni sebanyak 43,6%.
ADVERTISEMENT
Menjadi generasi sandwich dengan penghasilan yang tidak ideal merupakan kombinasi mematikan bagi muda-mudi yang mendambakan kehidupan berumah tangga. Keinginan untuk menikah terpaksa menjadi prioritas kesekian setelah kebutuhan diri sendiri dan keluarga.
Polemik soal menunda pernikahan ini bisa menjadi lebih kompleks ketika dialami perempuan. Langgengnya budaya patriarki ibarat bonus mimpi buruk bagi perempuan. Kondisi ini dapat muncul akibat pengalaman tumbuh di dalam rumah yang dipenuhi kekerasan ataupun hasil pengamatan dari lingkungan sekitar.
Komnas Perempuan mencatatkan adanya hampir 460 ribu pengaduan kasus kekerasan pada 2023 dan 74% di antaranya merupakan kekerasan berbasis gender. Hampir 337 ribu di antara kasus KBG tersebut didominasi oleh kekerasan dalam ranah personal.
Masih permisifnya masyarakat atas kekerasan yang dialami perempuan, kecenderungan menyalahkan korban kekerasan, serta belum adanya penegakan hukum yang adil menciptakan gambaran buruk tentang pernikahan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pernikahan turut menciptakan ekspektasi akan adanya peran gender. Masyarakat, terutama yang masih konservatif, memandang perempuan sebagai pihak yang bertugas mengurusi anak dan pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki berperan sebagai pencari nafkah. Pembagian peran gender yang kaku ini membuat perempuan merasa dibatasi potensinya. Tak jarang perempuan harus mengorbankan keinginan untuk mengejar karir atau pendidikan.
Pada akhirnya, baik bagi laki-laki maupun perempuan, fenomena menunda pernikahan sebetulnya merupakan cermin kegelisahan kaum muda saat ini.
Kesenjangan antara upah dan biaya hidup, ditambah dengan himpitan yang dirasakan generasi sandwich, membuat generasi muda pesimistis akan terwujudnya kehidupan rumah tangga yang ideal. Dan bagi perempuan, ide soal pernikahan membuat mereka bertanya-tanya apakah pernikahan dapat membuat mereka merasa aman dan berdaya.
ADVERTISEMENT