COP 23: Solusi terkait Energi Terbarukan dan Pendanaan Perubahan Iklim

S. Rosemery M
Penulis tertarik dengan isu lingkungan, konservasi, keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan sosial&budaya
Konten dari Pengguna
28 November 2017 19:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari S. Rosemery M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
COP 23: Solusi terkait Energi Terbarukan dan Pendanaan Perubahan Iklim
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(Deskripsi foto: Setya Widya Yudha, sebagai Wakil ketua komisi VII DPR (paling kiri), Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) (tengah) dan Rahmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden RI untuk Pengendalian Perubahan Iklim (paling kanan). Foto diambil saat panel diskusi antara media dan pemerhati lingkungan, Jakarta, Jumat (24/11). Foto: Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Konfrensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP) 23 di Bonn Jerman awal November membahas keseimbangan dan komitmen yang baru melalui implementasi dari Kesepakatan Paris tahun 2015 lalu. Konsistensi Indonesia sebagai salah satu negara yang mendukung kebijakan Paris (Paris Agreement) perlu didukung oleh seluruh pihak.
Keikutsertaan Indonesia dalam COP 23 adalah bisa menimba pengalaman negara-negara lain yang sudah mengimplementasikan konsep penurunan emisi karbon. Setya Widya Yudha, sebagai Wakil ketua komisi VII DPR mengapresiasi peran Indonesia dalam COP 23. Apresiasi ini ia tuangkan pada saat melakukan diskusi terbuka bersama para media dan pemerhati lingkungan (Jumat, 24/11).
Apresiasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai mitra Komisi VII DPR RI yang melibatkan para stakeholders dalam acara forum diskusi dalam Pavillion Indonesia. Setya menghimbau agar pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis dalam mensukseskan kebijakan-kebijakan terkait upaya penyelamatan bumi dari perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Adapun 6 Poin Pernyataan Menteri KLHK di COP 23 yang disampaikan oleh Setya dalam presentasinya Jumat lalu, antara lain: 1) Mentapkan Kerangka Transparansi Nasional sesuai dengan Perjanjian Paris; 2) Pengakuan negara untuk hutan adat; 3) Memulihkan 680.000 hektar lahan gambut dari target 2 juta hektar pada tahun 2020; 4) Mengesahkan Konvesi Minamata; 5) Berkomitmen untuk mengurangi 70% puing plastik pada tahun 2025 dari tingkat 2017; 6) Bantuan lanjutan untuk upaya negara-negara berkembang lainnya dalam tindakan iklim melalui South-South and Triangular Cooperation di bidang pengelolaan petanian, kehutanan dan kawasan pesisir.
National Determined Contribution (NDC) disusun untuk meningkatkan aksi dan kondisi yang mendukung pencapaian tujuan yang lebih ambisius setelah tahun 2020, terkait kontribusi untuk mencegah kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat celcius. NDC adalah aksi yang harus dilakukan secara multisektoral. "Kita harus mengesampingkan ego sektoral. Tidak bisa masalah ini kita tumpukan kepada satu atau dua kementerian", tuturnya.
ADVERTISEMENT
Negosiasi pada COP 23 adalah mencari sebuah titik temu dan salah satu panel pada negosiasi COP 23 yaitu membahas tentang bagaimana cara mengetahui tiap negara dapat mengurasi emisi karbon sesuai target yang ditentukan, menimba dari pengalaman negara lain yang sudah mengimplementasikan konsep penurunan emisi karbon dengan baik.
Pada pertemuan COP 23 di Bonn, terbentuk sebuah aliansi yang beranggotakan lebih dari 20 negara yang dinamakan "Powering Past Coal Alliance", dimotoroi oleh Inggris dan Kanada. Negara yang tergabung dalam aliansi ini antara lain Fiji, Finlandia, Denmark, Belanda, Italy, Austria, Portugal, Mexico, Costa Rica, Selandia Baru, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Anggota aliansi tersebut ingin menyepakati adanya transisi energi yang signifikan dengan mulai mengurangi penggunaan energi batubara di negaranya hingga 2030 mendatang.
ADVERTISEMENT
Mencari Solusi Terkait Pendanaan Perubahan Iklim
Beberapa poin dan catatan khusus dari perundingan ini salah satunya adalah terkait pendanaan. Menurut Setya, rata-rata pendanaan perubahan iklim belum dibantu oleh APBN yang ada dan hal ini pun sama dirasakan oleh negara lainnya. "Negara selain Indonesia yang saya temui juga tidak dibantu oleh APBN negaranya. Mereka masih bergantung dengan donor dan sistem partisipasi internasional", jelas Setya.
Pendapat Setya ini juga dibenarkan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Rahmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden RI untuk Pengendalian Perubahan Iklim, saat ditemui di kesempatan yang sama. Menurut Fabby, dengan membuat murah harga energi terbarukan (renewable energy) yang selama ini terbilang mahal, dapat menjadi solusi yang ditawarkan untuk Indonesia. "Kecenderungan mahalnya harga energi terbarukan membuat masyarakat masih betah menggunakan energi fosil di kehidupan sehari-hari", ungkap Fabby.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Setya dan Fabby, Rahmat berpendapat tantangan yang masih harus dihadapi adalah menyangkut pendanaan bagi negara berkembang. Tantangan ini tidak hanya terjadi di negeri sendiri, negara lain juga memiliki keterbatasan yang sama perihal pendanaan. Tentu bagi Indonesia sendiri masalah pendanaan akan menghambat skenario dalam mencapai NDC.
Rahmat juga mengemukakan bahwa dirinya akan menghadiri pertemuan ‘One Planet Summit’ pada tanggal 12 Desember 2017 di Paris, Perancis, yang akan membahas perihal pendanaan bagi negara berkembang yang terkena dampak dari perubahan iklim. Ia pun menghimbau agar Presiden Joko Widodo dapat menghadiri pertemuan ini.
Dua tahun setelah Perjanjian Bersejarah Paris (COP 21) berakhir, One Planet Summit akan mempertemukan pemimpin lokal, regional dan nasional, serta mereka yang bekerja di keuangan publik dan swasta untuk mendiskusikan bagaimana mereka dapat mendukung dan mempercepat upaya global untuk memerangi perubahan iklim (dikutip dalam, unenvironment.org).
ADVERTISEMENT
Penulis: Sarah R M W