Konten dari Pengguna

Eutrofikasi Mengancam Lingkungan dan Masyarakat Pesisir

S. Rosemery M
Penulis tertarik dengan isu lingkungan, konservasi, keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan sosial&budaya
30 November 2017 18:31 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari S. Rosemery M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Eutrofikasi Mengancam Lingkungan dan Masyarakat Pesisir
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kematian Ikan Massal (Sumber Dokumentasi: Sam Wouthuyzen-P2O-LIPI)
Bayangkan apa yang terjadi jika Bumi ini tidak memiliki laut di dalamnya? Seberapa penting laut bagi planet Bumi dan kehidupan umat manusia?
ADVERTISEMENT
Secara global, laut meliputi dua pertiga dari seluruh permukaan Bumi dan menyediakan sekitar 97% dari keseluruhan ruang kehidupan di Bumi. Menurut akademisi atau pakar kelautan dan sumber daya pesisir Institut Pertanian Bogor (IPB), Professor Rokhmin Dahuri menjelaskan bahwa, interaksi dinamis antara laut dan udara menentukan pola iklim dunia. Sistem pergerakan arus laut turut memelihara keseimbangan suhu Bumi, sehingga cocok untuk kehidupan makhluk hidup.
Lebih dari itu, perairan laut merupakan tempat untuk hidup bagi berjuta-juta makhluk hidup laut, mulai dari yang berukuran sangat kecil bahkan tidak dapat terlihat oleh mata (microscopic) seperti bakteri, sampai ke makhluk hidup terbesar di dunia. Dahuri juga berpendapat bahwa kolom air permukaan laut juga dipenuhi oleh fitoplankton (micro algae) dan berbagai flora lain, sehingga berfungsi menyediakan oksigen serta, pada saat yang sama, menyerap karbon dioksida (carbon sink) melalui proses fotosintesis yang dapat menghambat terjadinya pemanasan global (global warming).
ADVERTISEMENT
Seiring berkembangnya pembangunan, meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan manusia dari waktu ke waktu, maka menyebabkan berbagai masalah lingkungan, salah satunya adalah eutrofikasi. Eutrofikasi didefinisikan sebagai peningkatan unsur hara/nutrient (berupa fosfat, nitrat dan silikat) ke level yang sangat tinggi dan melampau batas yang dapat diterima oleh alam. Unsur hara yang tinggi tersebut merangsang meledaknya populasi (blooming) algae mikroskopik (fitoplankton) yang dikenal pula dengan fenomena pasang merah (Red Tide) baik populasi yang tidak beracun, maupun yang beracun (Harmful Blooming Algae/HAB).
Beberapa dekade belakangan ini, wilayah pesisir di seluruh dunia mengalami bencana dari meledaknya populasi mikro algae (fitoplankton). Kini, bencana atau kejadian marak alge, telah menjadi masalah lingkungan serius karena dampaknya yang negatif terhadap ekosistem perairan, industri perikanan dan kesehatan manusia, dimana dampak tersebut terasa pula di Teluk Jakarta, Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kerugian Akibat Ledakan Mikro Algae berdampak Secara Global
Kata marak alge yang diterjemahkan dari Harmful Alga Bloom (HAB) sekarang digunakan untuk menjelaskan pengrusakan yang disebabkan oleh mikro alge (fitoplankton/ diniflagelata) yang dapat membunuh ikan, membuat kerang-kerangan menjadi beracun, dan menyebabkan banyak masalah lain yang timbul di wilayah pesisir.
Wilayah pesisir adalah tempat terletaknya kota-kota terbesar di dunia. Namun pada saat bersamaan, wilayah pesisir merupakan daerah yang terdapat ekosistem yang sangat produktif sebagai daerah asuhan, khususnya bagi ikan, krustase, moluska bernilai ekonomis penting, disamping banyak lagi flora dan fauna lainnya. Meskipun demikian, bukti kuat menunjukkan bahwa proses eutrofikasi telah terjadi di wilayah pesisir di seluruh dunia akibat banyaknya aktifitas manusia yang meningkatkan kecepatan pelepasan unsur hara/nutrient (nitrogen dan fosfat) yang sangat tinggi ke dalam ekosistim perairan, sehingga alam tidak mampu lagi beradaptasi (Coelho et al., 2004).
ADVERTISEMENT
Marak algae terjadi di lebih banyak tempat di dunia, jumlah jenis (species) mikroalge yang terlibat dalam kejadian marak alge juga meningkat, lebih banyak toksin (racun) yang diketahui, lebih banyak sumberdaya perikanan yang kena imbasnya, serta dampak ekonomi dari kejadian marak alge juga meningkat dari sebelumnya.
Eutrofikasi Mengancam Lingkungan dan Masyarakat Pesisir (1)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Alur dampak marak alge terhadap masyarakat akibat eutrofikasi (Sumber: Wouthuyzen, 2007)
Menurut ahli peneliti utama oceanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Professor Sam Wouthuyzen dalam laporan penelitian pada tahun 2007, di Perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya, menjelaskan bahwa terdapat 2 penyebab utama eutrofikasi yakni, meningkatnya jumlah penduduk yang sangat tinggi dari tahun ke tahun dan pembukaan lahan yang cepat, namun tidak tertata baik dan tidak ramah lingkungan untuk berbagai keperluan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Secara umum, dampak dari eutrofikasi adalah: 1) berkurangnya nilai-nilai keindahan tempat pariwisata di wilayah pesisir, karena menurunnya kecerahan perairan, meningkatnya produksi lendir, dan bau busuk akibat marak alge; 2) Berbahaya bagi kesehatan masyarakat, dan bahkan berakibat fatal (kematian) jika saat marak algae didominasi oleh jenis yang memiliki racun kuat (dinoflagelata), Paralytic Shellfish Poison (PSP), karena racun tersebut terakumulasi pada hewan laut, seperti kerang-kerangan, ikan, kepiting udang dan organisma lainnya yang kemudian dimakan manusia, mamalia laut, burung laut; 3) Kematian masal ikan, dan berkurangnya keaneka-ragaman biota dasar yang disebakan sangat rendahnya kadar oksigen (< 2ml/l) di dasar perairan (hypoxic) setelah kejadian marak algae; 4) Hilangnya mata pencaharaian masyarakat nelayan, baik nelayan tangkap maupun nelayan budidaya, karena pada saat marak alge masyarakat takut makan produk dari laut (seafood).
ADVERTISEMENT
Sam merangkum beberapa hasil penelitian terkait dampak yang ditimbulkan marak alge akibat eutrofikasi dimana terjadi di beberapa negara luar Indonesia, sebagai berikut:
Berdasarkan penelitian Kirpatrick (2004) menjelaskan kejadian marak alge telah diamati sejak tahun 1840 di Florida, Amerika. Kejadian ini berlangsung bahkan sebelum adanya peningkatan jumlah penduduk dan pembukaan lahan yang signifikan. Selama tahun 1844 hingga 1971, tercatat sebanyak 24 kali kejadian marak alge di pantai barat Florida sebelum adanya pengembangan pertanian dan industri di wilayah tersebut.
Dari banyak dampak yang ditimbulkan marak alge akibat eutrofikasi, kematian massal ikan merupakan dampak yang banyak dilaporkan dan sangat terasa secara ekonomi bagi sektor perikanan.
Dickman (2000), Hodgkiss et al. (2000) melaporkan kejadian marak alge terburuk selama bulan Maret-April 1998 terjadi di Hongkong yang menghancurkan 1500 ton stok ikan yang dibudidaya. Petani ikan menyatakan kerugian sebesar HK$ 250 juta (US$ 32 juta). Sekitar 1500 petani ikan Hong Kong dihancurkan oleh kejadian marak alge dari jenis Gymnodinium sp, Alexandrium spp, Ceratium furca, Prorocentrum spp, Scrippsiella trochoidea, Chaetoceros spp, pseudonitzschia sp, Skletonema costatum, and Thalassiosira spp.
ADVERTISEMENT
Lendir dari alge ini menutupi insang ikan sehingga menyebabkan kematian massal ikan. Hansen et al, (2000) melaporkan marak alge Jenis chattonela verruculosa di Laut Utara pada bulan April-May 1998 dengan densitas 3x106 sel/liter dan konsentrasi klorofil-a 5-7 µg/liter yang menyebabkan perubahan warna air laut menjadi kecoklatan. Ikan liar dan ikan keramba mati selama kejadian marak alge. Mekanisme kematian ikan belum dapat dimengerti secara jelas, tetapi kenyataan menujukkan bahwa produksi lendir dapat menghasilkan racun yang membunuh ikan.
Clement et al., (2000) melaporkan marak alge jenis Gymnodinium sp selama bulan Maret-April 1999 di perairan Chili selatan dengan densitas 4-8x106 cell/liter. Marak alge menyebabkan perubahan warna laut menjadi coklat dan menyebabkan kematian masal ikan salmon dan invertebrata (scallops, gurita, gastropoda, bulu babi). Lendir yang pekat dijumpai di sekitar insang ikan menyebabkan 500.000 ikan salmon (1,500 ton) mati.
ADVERTISEMENT
Kahru at al. (2004) melaporakan pemusnahan dari marak algae (dinoflagelata) di Paracas Bay, Peru pada bulan April 2004. Pejabat berwenang menutup pelabuhan dari tanggal 4-27, dimana selama 22 hari penutupan ini, penghasilan dari 220,000 ton ikan teri dan 50,000 tepung ikan senilai US$ 27.5 juta hilang, termasuk US$ 1 juta dari sektor budidaya. Kemudian penelitian Tang et al. (2006), memonitor 435 kejadian marak alge di perairan Laut Kuning Selatan dan Laut China Timur dari tahun 1933 hingga 2004. Kerugian yang disebabkan marak alge bervariasi, namun tahun 2000 merupakan puncak kerugian dengan nilai 150 juta RMB.
Peristiwa Kematian Massal Ikan di Teluk Jakarta
Sam berpendapat, tingginya jumlah penduduk serta tingkat pembukaan lahan untuk pembangunan yang sangat cepat, tidak tertata, tidak terencana dan tidak ramah lingkungan di kota Jakarta dan kota penyangganya (hinterland), seperti Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi), serta ada banyaknya sungai (13 sungai; tiga diantaranya cukup besar, yakni Sungai Cisadane, Ciliwung dan Citarum, serta 10 sungai-sungai kecil, seperti Sungai Kamal, Cengkareng Drain, Angke, Karang, Ancol, Sunter, Cakung, Blencong, Grogol dan Pasanggrahan), yang melalui wilayah pertanian, perindustrian, perkotaan merupakan ancaman serius baik bagi lingkungan darat, maupun lingkungan perairan seperti Teluk Jakarta. Material apa saja yang masuk ke sungai dan terus menuju ke laut, tidak dapat dihindari lagi akan berpotensi mengubah lingkungan.
ADVERTISEMENT
“Semakin jumlah penduduk tinggi dan pembukaan lahan secara tidak ramah lingkungan terjadi, maka eutrofikasi akan terus berlangsung dan intensitasnya semakin kuat”, tuturnya saat diwawancarai langsung oleh penulis. Bahan pencemar yang masuk terus-menerus masuk ke Teluk Jakarta dengan tingkat yang makin tinggi setiap tahunnya akan mengakibatkan kualitas perairan di teluk ini semakin menurun.
Kematian ikan massal di Teluk Jakarta pernah terjadi pada tahun 2004, 2005, 2007 dan 2015 berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir, khushnya bermata pencaharian sebagi nelayan. Pada kasus kematian massal ikan di Teluk jakarta tahun 2004 dan 2005, surat kabar Kompas (2004) dan Sinar Harapan (2004) melaporkan adanya dampak sosial dari kasus ini, dimana banyak nelayan kehilangan mata pencaharian yang disebabkan hasil tangkapan mereka tidak laku dijual, karena masyarakat takut memakan ikan dan produk laut lainnya yang berasal dari Teluk Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan penelitian Sam tahun 2007 terkait kejadian marak Alge di Teluk Jakarta, menjelaskan, sejauh ini tidak ada catatan penduduk di sekitar Jabodetabek yang sakit atau meninggal akibat memakan produk laut dari perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya yang diakibatkan racun kuat dari mikro alge, seperti racun PSP (Paralytic Shellfish Poisoning), NSP (Neuorotoxic Shellfish Poisoning), DSP (Diarrhetic Shellfish Poisoning) dan racun-racun lainnya.
Eutrofikasi Mengancam Lingkungan dan Masyarakat Pesisir (2)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar: Surat Kabar yang melaporkan Kematian Massal Ikan di Teluk Jakarta berimbas pada Nelayan (Sumber: Sam Wouthuyzen, 2007)
Kemudian, kejadian kematian ikan secara masif kembali muncul di Teluk Jakarta tepatnya di pantai Ancol pada tahun 2015 dan menggemparkan seluruh pihak dan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan oleh ulah manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan serta emisi nutrisi dari industri yang digadang-gadang sebagai penyebab utama eutrofikasi perairan di Pantai Ancol, seperti yang dilansir pada laman lipi.go.id. Limbah nutrisi sendiri bisa berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri, industri, detergen, pupuk pertanian, limbah manusia, dan peternakan.
ADVERTISEMENT
Disamping itu, kasus marak alge ternyata tidak hanya terjadi di Teluk Jakarta, beberapa laporan menyebutkan pernah terjadi kejadian serupa di berbagai daerah Indonesia, dengan kurun tahun yang berbeda-beda. Berdasarkan tulisan ilmiah, pakar kelautan dan akademisi Dr. Anugerah Nontji, menjelaskan bahwa kasus yang sebenarnya terjadi mungkin lebih banyak lagi tetapi luput dari perhatian dan tidak dilaporkan.
Nontji menyebutkan di dalam tulisannya salah satu jenis marak alge berbahaya yang sempat menyerang beberapa tempat di Indonesia adalah jenis Pyrodinium bahamense var. compressum. Jenis ini bahkan sempat menimbulkan kematian manusia seperti pernah terjadi di Lewotobi (Nusa Tenggara Timur) tahun 1983. Kemudian serangan lagi terjadi di Teluk Ambon, marak alge jenis Gymnodinium bahamense pada tahun 1994 yang telah menyebabkan lebih dari 30 orang mengalami keracunan dan 4 di antaranya meninggal dunia setelah memakan kerang yang terkontaminasi algae beracun tersebut.
ADVERTISEMENT
Di Teluk Kao, Pulau Halmahera, masyarakat tidak berani memakan hasil laut jika ada perubahan warna laut menjadi merah. Berdasarkan pengalaman mereka, masyarakat sadar benar bahwa marak alge/HAB dapat mendatangkan penyakit dan bahkan kematian (Wiadnyana, et al., 1999). Menurut Kirkpatrick (2004), laporan tentang penyakit yang disebabkan oleh racun dari micro alge sangat kecil dari kejadian yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya kesalahan konsepsi dari masyarakat dan dinas kesehatan bahwa kejadian keracunan makanan dari laut disebakan oleh kontaminasi bakteri.
Di negara maju, pusat pelayanan kesehatan di tempat kejadian marak alge bahkan tidak menyadari bahwa penyakit yang disebabkan oleh racun dari mikroalge harus dilaporkan ke pejabat kesehatan masyarakat yang berwenang. Hingga sekarang ini hanya sedikit anggota masyarakat yang sadar akan ancaman bahaya ledakan populasi mikroalga ini.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Kaitannya dengan Perubahan Iklim?
Penelitian terkait korelasi antara pemanasan global dengan eutrofikasi di Indonesia belum dikaji secara mendalam. Umumnya fenomena coral bleaching (pemutihan terumbu karang) ataupun ocean acidification (asidifikasi laut/pengasaman laut), merupakan penelitian yang paling banyak dihubungkan dengan masalah perubahan iklim atau pemanasan global di Indonesia.
Menurut Karl Havens, Professor dari University of Florida, dalam kajiannya yang dikutip dalam edis.ifas.ufl.edu, dapat diindikasikan bahwa eutrofikasi akan semakin buruk jika gejala perubahan iklim menyebabkan suhu/temperatur air di wilayah danau atau estuari semakin tinggi, seperti yang diprediksikan terjadi di banyak wilayah di dunia.
Menurut laman lipi.go.id, timbulnya blooming algae merugikan kehidupan organisme yang ada di perairan. Penumpukan bahan nutrisi menjadi ancaman kehidupan ikan di perairan pada saat musim pancaroba.
ADVERTISEMENT
Disisi lain, adanya peningkatan suhu udara, pemanasan sinar matahari, dan tiupan angin kencang akan menyebabkan terjadinya gotakan air di perairan. Hal itu menyebabkan arus naik dari dasar perairan yang mengangkat massa air yang mengendap. Massa air yang membawa senyawa beracun dari dasar danau atau laut mengakibatkan kandungan oksigen di badan air berkurang. Rendahnya oksigen di air itulah yang menyebabkan kematian ikan secara mendadak.
Bagaikan ‘bom waktu’, masalah ini dapat terjadi kapan saja. Nontji menyayangkan minimnya peneliti-peneliti dibidangnya yang serius dan bersifat kontinu untuk menangani masalah eutrofikasi di perairan Indonesia. Ia juga menyarankan, perlu perhatian lebih mengenai masalah ini dan kebijakan yang komprehensif dalam penanganannya. Apalagi hal ini berkaitan langsung dengan aspek ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kesungguhan untuk melakukan upaya monitoring jangka panjang kualitas perairan Indonesia sudah tidak dapat dihindari lagi dan harus dilakukan dari sekarang. Mengingat kembali betapa pentingnya kondisi perairan di seluruh Indonesia, dan dalam pembahasan ini terutama bagi kondisi perairan Teluk Jakarta.
Penulis: Sarah R M W
Referensi terkait:
http://edis.ifas.ufl.edu/sg127
http://lipi.go.id/lipimedia/penyebab-ikan-di-pantai-ancol-mati-massal-lipi-ada-jawabannya-/12262
Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Nontji, Anugerah. 2017. Bila Populasi Mikroalga Tumbuh Meledak Menimbulkan Petaka. Kajian Ilmiah. Tidak dipublikasikan.
Wouthuyzen, Sam. 2007. Laporan Akhir “Pendeteksian Dini Kejadian Marak Alge (Harmful Alga Blooms/HAB) Perairan Teluk Jakarta dan Sekitarnya”. Program Kompetitif-LIPI. Tidak dipublikasikan. 85 Hal.