Hilangnya Etika Lingkungan Berpengaruh Terhadap Kerugian Perubahan Iklim

S. Rosemery M
Penulis tertarik dengan isu lingkungan, konservasi, keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan sosial&budaya
Konten dari Pengguna
13 Desember 2017 21:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari S. Rosemery M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hilangnya Etika Lingkungan Berpengaruh Terhadap Kerugian Perubahan Iklim
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ilustrasi. Foto: deliciousliving.com
Sejatinya Bumi ini telah banyak menanggung beban yang diakibatkan oleh aktivitas destruktif manusia untuk bertahan hidup. Alih-alih mengatasnamakan kemajuan jaman, beberapa negara (terutama bagian dari negara maju) di dunia tak adanya hentinya menghasilkan emisi gas buang berupa karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2) dan klorofluorokarbon (CFC), yang terakumulasi membentuk selimut gas rumah kaca (GRK) di Atmosfer.
ADVERTISEMENT
Hasil kajian para ilmuwan yang tergabung dalam International Governmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa perubahan iklim yang sering terjadi dalam 150 tahun terakhir bukanlah suatu proses alamiah semata. Akan tetapi, terkait erat dengan intervensi manusia (anthropogenic intervention), terutama akitivitas produksi dan pemanfaatan energi dan bahan bakar fosil, serta akitifitas penebangan hutan dan alih guna lahan (land use change and forestry/LUFC).
Berbagai pertemuan berskala internasional maupun multinasional terhadap acamanan pemanasan global dan perubahan iklim telah banyak digelar hampir tiap tahun, dengan menghadirkan perwakilan negara, lembaga-lembaga non pemerintah dan sektor privat.
Beberapa momentum perubahan iklim seperti Conference of the Parties atau COP, menjadi bukti sejarah dimana negara-negara dunia berkumpul untuk mencari solusi terkait isu perubahan iklim, serta membuat kesepakatan dalam pengurangan emisi karbon di negaranya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Umumnya negara maju, seperti Cina dan Amerika Serikat, merupakan penyumbang emisi GRK terbesar di dunia. Tentu saja hal ini menjadi masalah yang sangatlah sensitif dimana dampak dari emisi yang mereka timbulkan, dapat merugikan bagi negara lain di sekitarnya, terutama imbasnya kepada negara berkembang, termasuk Indonesia salah satunya.
Hilangnya ‘Etika Lingkungan’?
Trend kenaikan temperatur atmosfer global sekarang sudah meningkat mencapai 1°C dari temperatur sebelum revolusi industri. Diperkirakan jika kenaikan temperatur ini terus berlanjut, maka pada akhir abad 21 kita akan menghadapi kenaikan temperatur diatas 3°C.
Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), negara maju, yang mewakili 20% dari populasi dunia, telah menghasilkan lebih dari 70% emisi historis (sejak revolusi industri). Jumlah ini jauh lebih banyak dari bagian adil mereka berdasarkan emisi per kapita yang seimbang. Contoh konkrit adalah negara Amerika Serikat dengan penduduk hampir 5% dari populasi dunia, telah menyumbang 25% dari total emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Perundingan Konferensi Perubahan Iklim ‘COP 15’ yang digelar oleh PBB di Copenhagen tahun 2009, menyatakan bahwa Amerika Serikat sebagai negara dengan emisi karbon terbesar di dunia belum menunjukkan komitmennya untuk mengurangi emisi mereka yang tinggi. Hal ini kemudian semakin diperkeruh dengan keputusan presiden Donal Trump.
Presiden Trump dalam pidatonya pernah menyebutkan bahwa perubahan iklim adalah “hoax” atau berita bohong. Dari pidatonya ia menyiratkan bahwa perubahan iklim bukanlah suatu masalah yang harus dikhawatirkan. Tentu saja pernyataan Trump sangat meremehkan dan bertentangan dengan kondisi yang sedang terjadi saat ini di dunia, dimana hampir di seluruh belahan negara telah mengalami bencana alam dan efek perubahan iklim.
Pada 1 Juni 2017, Donald Trump menyatakan Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian Paris 'paris agreement' (COP 21) untuk perubahan iklim yang disepakati pada 2015 era Presiden Barrack Obama. Trump menilai kesepakatan itu merugikan ekonomi dan kedaulatan Amerika Serikat. Berbagai kalangan menilai sikap AS adalah sebuah ancaman, karena negara Paman Sam itu merupakan negara pengemisi besar dunia (dikutip pada laman mongabay.co.id).
ADVERTISEMENT
Sesuai kesepakatan Paris, negara-negara maju berjanji untuk mobilisasi pendanaan iklim hingga mencapai $ 100 milyar pada 2020-2025. Sebelumnya, di era pemerintahan Barack Obama, aliran pendanaan iklim (climate finance) dari AS sebesar $ 2.6 milyar per tahun, dengan total 2010 – 2015 sebesar $15,57 milyar. Sebagai contoh, pada 2015, lebih dari 86 persen pendanaan iklim diberikan melalui kerjasama bilateral dan sekitar 16 persen atau senilai $ 422 juta disalurkan melalui lembaga multilateral seperti Global Environmental Fund (GEF) dan Climate Investment Fund (CIF) dan Montreal Protocol Multilateral Fund. Lebih dari 60 persen pendanaan iklim disalurkan dalam bentuk kredit investasi melalui lembaga pendanaan milik pemerintah AS, OPIC dan Exim Bank. Sampai dengan tahun 2016, Amerika Serikat sudah mengucurkan dana sebesar $ 1 miliar. (Sumber: iesr.or.id).
ADVERTISEMENT
Seperti yang disampaikan oleh IESR, Trump telah merencanakan untuk menghentikan dukungan pendanaan dari AS kepada United Nation Forum for Climate Change (UNFCCC) dan inisiatif perubahan iklim lainnya dimulai pada tahun anggaran 2018. Tanpa kontribusi AS, mobilisasi pendanaan iklim akan menghadapi tantangan yang cukup serius. Trump menghilangkan kontribusi AS untuk agenda perubahan iklim global dengan total $2 miliar. Absennya AS dalam momentum perundingan perubahan iklim dapat mengganggu arus pendanaan iklim yang dimaksudkan untuk mendukung proyek-proyek adaptasi dan mitigasi di negara-negara berkembang.
Dalam kasus ini, etika lingkungan sangat diperlukan dalam menekan pemanasan global. Bercermin dari sikap dan tindakan presiden Trump menanggapi perubahan iklim, maka ia tidak memiliki ‘etika lingkungan’. Orang yang tidak memiliki etika lingkungan akan sewenang-wenang dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Hilangnya etika lingkungan juga dapat didedikasikan kepada oknum-oknum yang sering mengeksploitasi lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berlebihan, seperti aktifitas pembabatan hutan secara liar tanpa mengindahkan sempadan sungai, kawasan lindung/konservasi; penambangan secara illegal; dan pembangunan sepihak yang dimana merampas hak masyarakat miskin.
Menurut Stephen M. Gardiner, professor dibidang filosofi, Universitas Washington, menyatakan, tantangan perubahan iklim adalah berasal dari etika, dan etika termasuk dari bagian pertimbangan keadilan, hak, kesejahteraan, kebajikan, legitimasi politik, komunitas dan hubungan manusia terhadap alam.
“Kami tidak ‘memecahkan’ masalah iklim jika kita menimbulkan malapetaka pada generasi mendatang, atau memfasilitasi genosida melawan negara-negara miskin, atau mempercepat laju kepunahan massal secara cepat”, tutur Stephen, seperti yang dilansir pada laman washingtonpost.com.
ADVERTISEMENT
Indonesia Waspada Kerugian dan Kerusakan Akibat Perubahan Iklim
Selain emisi GRK yang ditimbulkan oleh negara-negara maju yang berimbas kepada negara-negara berkembang (khususnya Indonesia), kita pun harus ikut berkaca bahwa fenomena iklim global yang terjadi di Indonesia juga disebabkan oleh oknum-oknum kepentingan yang tidak bertanggung jawab, dimana mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa melihat daya dukung lingkungan dan keberadaan sumber daya alam yang tersisa di Indonesia.
Sebuah buku yang berisi kumpulan jurnal ilmiah yang berjudul “Ekofeminisme III: Tambang, Perubahan Iklim & Memoir Rahim”, dalam bukunya menjelaskan bahwa, wacana perubahan iklim telah merambat ke permasalahan ekonomi dunia. Permasalahan ekonomi semakin menguat berdasarkan kehadiran laporan Sir Nicholas Herbert Stern yang berjudul “The Economist of Climate Change: The Stern Review” pada tahun 2007.
ADVERTISEMENT
Laporan Stern memperkirakan bahwa dalam situasi business as usual, dimana negara maju tidak menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan negara yang terkena dampak terkena tidak melakukan upaya adaptasi, maka kerugian akibat perubahan iklim akan mencapai 14% Produk Domestik Bruto (PDB) global pada pertengahan abad ke-21. Produk Domestik Bruto pada dasarnya digunakan untuk mengukur besar ekonomi atau kemakmuran suatu negara. PDB juga merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) menyatakan pada tahun 2100, kerugian PDB diperkirakan akan mencapai 2.5 persen, yaitu empat kali kerugian PDB rata-rata global akibat perubahan iklim. Apabila peluang terjadinya bencana turut diperhitungkan, kerugian dapat mencapai 7 persen PDB. Biaya ini dirasakan sangat besar oleh sebuah negara yang baru saja lepas dari krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an.
ADVERTISEMENT
David Raitzer yang merupakan ekonom Bank Pembangunan Asia, menyatakan bahwa yang paling terdampak dari masalah perubahan iklim dan pemanasan global adalah orang-orang yang hidupnya bergantung pada alam, seperti petani atau nelayan.
David juga mengungkapkan bukan berarti orang-orang yang bekerja di kota tidak berdampak. “Misalnya, jika Anda menghabiskan lebih banyak biaya untuk ‘mendinginkan’ industri, artinya industri akan kurang kompetitif. Infrastruktur perkotaan pun juga akan terdampak akibat iklim yang tidak menentu, lebih banyak hujan, sehingga lebih banyak banjir. Selain itu, adanya masalah ketersediaan air bersih akibat musim kering berkepanjangan, juga masalah kualitas udara yang diperburuk musim kering dan kebakaran lahan gambut,” ungkap David, seperti yang dilansir pada laman BBC Indonesia.
Menurut Laporan Analisis Lingkungan Indonesia ‘Country Environmental Analysis’ (CEA), perubahan iklim utamanya akan berdampak pada masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan mereka yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dan perikanan yang peka iklim. Hal ini berarti, 65 persen masyarakat Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir akan terpengaruh, baik yang berada di kota pesisir yang padat penduduk, maupun masyarakat desa nelayan. Hal ini juga berarti, masyarakat pedesaan yang memilki penghidupan dari aktivitas yang berhubungan dengan pertanian, perikanan dan hutan, akan sangat terpukul. Sayangnya, masyarakat ini umumnya adalah masyarakat termiskin di Indonesia, yang memiliki sumber daya terbatas dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Melihat dari fenomena bencana alam pada tahun 2017 yang baru-baru ini melanda Indonesia, seperti cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan longsor di Jawa, dan erupsi gunung berapi di Sumatera dan Bali, mengakibatkan masyarakat lokal setempat harus kehilangan keluarga, rumah tempat tinggal dan mata pencahariaannya. Belum lagi kerusakan infrastrukur yang terjadi setelah bencana tersebut, dimana berdampak pada ketidaknyamanan masyarakat dalam menggunakan fasilitas-fasiltas umum (publik), seperti terputusnya akses jalan yang menghubungkan satu daerah ke daerah lain, serta rusaknya bangunan sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintah daerah. Diperparah lagi dengan krisis pangan dan wabah penyakit yang sewaktu-waktu datang mengancam kesehatan manusia. Hal ini akan menambah deretan kerugian yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Oleh karena itu, untuk melindungi masyarakat termiskin dan mencegah biaya ekonomi yang dapat mengurangi keberhasilan pembangunan, Pemerintah sebaiknya segera memulai pelaksanaan tindakan adaptasi atas perubahan iklim. Keadilan iklim tidak hanya menunggu kepekaan dari negara lain. Indonesia, sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, harus langsung melawan pemanasan global. Hal ini diharapkan mampu menyelamatkan ekosistem alam dan penduduk Indonesia dari datangnya perubahan iklim. Sebagai informasi bahwa, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri (unconditional) dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan internasional (conditional) pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT
Penulis: Sarah R. Megumi
Diolah dari berbagai sumber:
http://iesr.or.id/2017/06/implikasi-keluarnya-amerika-serikat-dari-paris-agreement-terhadap-agenda-perubahan-iklim-global-bagian-2/
http://www.mongabay.co.id/2017/06/04/kala-donald-trump-tarik-mundur-amerika-serikat-dari-perjanjian-perubahan-iklim/
http://time.com/5058736/climate-change-macron-trump-paris-conference/
https://www.washingtonpost.com/news/in-theory/wp/2016/01/09/why-climate-change-is-an-ethical-problem/?utm_term=.9100f8ec9def
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/10/161011_majalah_lingkungan_laporan_adb
http://eprints.unsri.ac.id/197/2/PENTINGNYA%2520ETIKA%2520LINGKUNGAN.pdf
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/06/12/inilah-10-negara-penyumbang-co2-terbesar-2016
The World Bank-Laporan Analisis Lingkungan Indonesia 'Country Environmental Analysis' (CEA), "Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim".