Konten dari Pengguna

Menyongsong Tahun Baru 2018, Agenda Perubahan Iklim Diharapkan Tidak Sekedar Wacana

S. Rosemery M
Penulis tertarik dengan isu lingkungan, konservasi, keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan sosial&budaya
1 Desember 2017 22:55 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari S. Rosemery M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyongsong Tahun Baru 2018, Agenda Perubahan Iklim Diharapkan Tidak Sekedar Wacana
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ilustrasi. Foto: Pixabay
Detik-detik pergantian tahun semakin dekat, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Lingkungan hidup merupakan sebuah kehidupan yang terdiri dari kehidupan masa lampau, kehidupan masa kini dan kehidupan masa yang akan datang. Masalah lingkungan hidup masih menjadi dilema, terutama ancaman pemanasan global dan perubahan iklim. Agenda besar Internasional rutin tiap tahun dilancarkan untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut, namun hingga kini masih belum mendapatkan titik terang.
ADVERTISEMENT
Hasil kajian para ilmuwan yang tergabung dalam International Governmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa perubahan iklim yang sering terjadi dalam 150 tahun terakhir bukanlah suatu proses alamiah semata. Akan tetapi, terkait erat dengan intervensi manusia (anthropogenic intervention), terutama akitivitas produksi dan pemanfaatan energi dan bahan bakar fosil, serta akitifitas penebangan hutan dan alih guna lahan (land use change and forestry/LUFC) (dikutip dalam buku “Ekofemisnisme III, Tambang, Perubahan Iklim & Memoir Rahim”).
Kegiatan industri dan transportasi modern yang dimulai sejak lahir abad ke 18 telah menimbulkan emisi gas buang, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2) dan klorofluorokarbon (CFC), yang terakumulasi membentuk selimut gas rumah kaca (GRK) di Atmosfer (IPCC, 2013).
ADVERTISEMENT
Seperti yang dilansir pada laman greeners.co, jika manusia membakar semua bahan bakar fosil, yang mungkin akan terjadi dua abad mendatang, para peneliti memprediksi bahwa atmosfer di planet akan bisa menyamai situasi yang terjadi pada periode Jurasic atau masa dinosaurus, sekitar 200 juta tahun yang lalu. Pada abad ke-23, suhu planet akan sama tingginya dengan periode terakhir Silurian, 420 juta tahun yang lalu. Dengan cuaca yang panas, tanaman belum bisa menguasai tanah dan hampir semua kehidupan berkonsentrasi di lautan.
Masih dalam sumber laman yang sama, prediksi cuaca semakin panas ini tidak hanya berdasarkan kepada satu penelitian semata melainkan berasal analisa yang dilakukan terhadap 1.200 perkiraan atmosfer yang diambil dari tanaman dan kerang yang sudah memfosil selama 500 juta tahun. Konsekuensnya, apabila manusia menguras sumber daya energi, seperti batubara, minyak bumi dan gas bumi, kondisi pada 420 juta silam akan terulang kembali.
ADVERTISEMENT
Menjelang berakhirnya 2017, menurut Global Carbon Report, jumlah emisi gas karbondioksida global sudah menyentuh angka 37 miliar ton, seperti yang dilansir pada laman tirto.id. Bahan bakar fosil menjadi problem dunia karena emisi yang dihasilkan mencemari udara di bumi dan memicu pemanasan global. Para ilmuwan dari 57 institusi akademik yang terlibat dalam penelitian tersebut memproyeksikan pertumbuhan emisi tahun 2017 sebesar dua persen dari data tahun 2016 dan diperkirakan terus meningkat pada 2018 nanti.
Berdasarkan berita yang beredar di beberapa media baik nasional maupun internasional, bahwa tahun 2017 ditetapkan menjadi satu dari tiga tahun dengan suhu terpanas. Selain itu, rekor cuaca ekstrim paling tinggi juga terjadi di tahun ini. Beragam bencana alam seperti badai, banjir bandang, gelombang panas, dan kekeringan terjadi di tahun ini. Selain itu, kenaikan permukaan air laut juga terus berlanjut. Ditambah lagi pertumbuhan emisi global di tahun 2017 terjadi disinyalir akibat pertumbuhan emisi di Cina dan negara berkembang lainnya.
ADVERTISEMENT
Komitmen Meninggalkan Energi Batubara: Perlu Perhatian Serius
Kebanyakan pemerintah negara berkembang telah berjanji untuk melakukan mitigasi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah ditentukan di negara masing-masing.
Momentum Conference of the Parties atau COP23, yang telah diselenggarakan di Bonn, Jerman November lalu, menjadi ajang bersejarah terutama bagi negara yang paling rentan dengan dampak perubahan iklim, khususnya bagi negara-negara berkembang.
Lewat momentum COP23, diharapkan gerakan masyarakat sipil di negara-negara berkembang, dapat menekan pemerintah negara masing-masing untuk memenuhi janji mereka terhadap keadilan iklim, bukan sekedar sebagai negara yang ‘mengamini’ solusi palsu perubahan iklim yang ditawarkan.
Momentum COP23 harus dapat menunjukkan komitmennya dalam penurunan emisi dan menuntut negara-negara lain menghentikan investasi di sektor batubara, khususnya di Indonesia, seperti apa yang disampaikan oleh Jaringan Advokasi Tambang/Mining Advocay Network (JATAM) dalam siaran persnya (9/11).
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang ke 89 meratifikasi Perjanjian Paris, bahkan telah diundang-undangkan melalui UU No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim). Selain itu, pada COP22 lalu di Maroko, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang telah menyerahkan NDC kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Menyongsong Tahun Baru 2018, Agenda Perubahan Iklim Diharapkan Tidak Sekedar Wacana (1)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang. Foto: KOMPAS/ALIF ICHWAN
Berdasarkan portal siaran pers JATAM menjelaskan bahwa, komitmen Indonesia dalam NDC seharusnya bisa menjadi dasar yang cukup kuat bagi Pemerintah Indonesia untuk melakukan revisi atas proyek elektrifikasi 35.000 MW. Batubara hingga saat ini masih mendominasi sumber pemenuhan listrik Indonesia. Hingga 2016 lalu kapasitas pembangkit listrik dari PLTU Batubara sebesar 21,1 GW dari total 52 GW.
ADVERTISEMENT
Menurut JATAM, mustahil untuk melakukan penurunan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 jika konsumsi batubara dalam negeri terus ditingkatkan. Alhasil Indonesia tidak hanya semakin memproduksi emisi karbon dari pembakaran batubara, namun juga dari pembongkaran hutan dan lahan akibat aktifitas penambangan batubara, yang pada ujungnya mengancam kesejahteraan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar tambang atau PLTU tersebut. Padahal laju deforestasi Indonesia sudah sangat parah, dengan tingkat deforestasi 2,5 juta hektar pertahun.
Disisi lain, berdasarkan penyampaian yang disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam pertemuannya bersama para pemerhati lingkungan dan jurnalis (Jumat, 24/11), bahwa dalam aksi mitigasi, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK pada tahun 2030 sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan sampai 41 persen bila dengan dukungan internasional, dibandingkan dengan aksi mitigasi atau business as usual.
ADVERTISEMENT
Sebagai informasi, lima kategori sektor dan proporsi kontribusi Indonesia dalam usaha penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 29 persen, yakni: sektor kehutanan (17,2 persen), energi (11 persen), pertanian (0,32 persen), industri (0,10 persen) dan limbah (0,38 persen).
Berdasarkan IESR, Indonesia telah menetapkan target energy mix di tahun 2025, dan 2050 di mana energi bersih akan didorong pemakaiannya jauh lebih besar dari energi fosil yang mengacu pada PP No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, antara lain: 1) energi baru dan terbarukan paling sedikit 23 persen di 2025 dan di 2050 menjadi paling sedikit 31 persen; 2) minyak bumi kurang dari 25 persen di 2050 dan di 2050 menjadi kurang dari 20 persen; 3) batubara minimal 30 persen di 2025 dan di 2050 menjadi minimal 25 persen; 4) gas minimal 22 persen di 2050 dan di 2050 menjadi minimal 24 persen.
ADVERTISEMENT
Adapun komitmen adaptasi Indonesia berdasarkan Strategi Implementasi NDC seperti yang dijelaskan oleh IESR meliputi: peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, ketahanan ekosisitem dan lansekap, dan pengkondisian untuk ketahanan iklim.
Menurut Fabby, “butuh kesabaran ekstra dan sosialisasi bagi Indonesia untuk dapat mengejar keberhasilan negara lain yang telah perlahan beralih ke energi terbarukan”. Menurutnya target di setiap negara berbeda-beda, ada yang mencapai target ambisius ada yang kurang ambisius.
Padahal dengan mengacu dari potensi sumber daya yang tersedia di Indonesia, maka sebenarnya Indonesia mampu melakukan transisi energi sesuai targetnya. International Renewable Energy Agency awal tahun ini membuat sebuah pemodelan berdasarkan data-data yang di dapat dari pemerintah, dan kesimpulan dari pemodelan tersebut ialah Indonesia dapat mencapai target 31% yang dicanangkan 2050 itu bisa dua dekade lebih cepat di tahun 2030, potensi total renewable setara dengan 7 Gigawatt/tahun.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, komitmen dan ambisius yang tertuang di dalam NDC Indonesia harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Pemerintah juga harus sabar dan konsisten jika ingin mencapai goal tersebut. Jangan sampai kita terkendala hanya karena permasalahan birokrasi, dimana setiap ganti menteri maka ganti pula kebijakan atau regulasinya. Jika hal ini terus terjadi maka harapan untuk mempercepat target energi terbarukan di Indonesia, hanya akan sekedar wacana belaka.
*Sarah R M W. Penulis adalah pengamat isu lingkungan. Artikel ini merupakan opini penulis, ditunjang dengan narasumber dan referensi terkait.
Referensi:
http://www.greeners.co/berita/15-000-ilmuwan-beri-peringatan-mengenai-bencana-mengancam-bumi/
http://www.greeners.co/berita/tahun-2017-ditetapkan-menjadi-satu-tiga-tahun-terpanas/
http://www.greeners.co/berita/kadar-co2-kembali-masa-dinosaurus/
http://www.greeners.co/berita/emisi-karbon-meningkat-tahun-2017/
https://www.jatam.org/2017/11/09/stop-investasi-batubara-dan-kebohongan-clean-coal-technology/
https://tirto.id/emisi-bahan-bakar-fosil-dorong-bumi-ke-jurang-kiamat-cz8d
Buku: Ekofemisnisme III, Tambang, Perubahan Iklim & Memoir Rahim. 2015. Jalasutra. Yogyakarta.
Report: Equity and The Ambition Ratchet Towards a Meaningful 2018 Facilitative Dialogue. November (2017).
ADVERTISEMENT