Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Perubahan Iklim: Adilkah bagi Masyarakat Pesisir?
21 November 2017 12:28 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari S. Rosemery M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) 2017 yang telah diadakan pada tanggal 6-17 November 2017, COP 23 di Bonn, Jerman, bertujuan untuk mengajak negara-negara di dunia untuk bersama-sama mewujudkan ambisi dalam upaya memerangi pemanasan global dan mewujudkan dunia yang lebih aman dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Konferensi ini diadakan tepat dua tahun setelah Kesepakatan Paris (Paris Agreement) ‘COP 21’. Selain berambisi untuk memerangi pemanasan global, konferensi ini juga akan mendorong dan mengajak banyak negara serta masyarakat dunia untuk terus mendukung Agenda Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030.
Bagi Indonesia, wilayah pesisir dan laut telah lama memegang peranan penting dalam sejarah Nusantara, baik dalam hubungan antar wilayah nasional maupun internasional, serta menjadi kawasan politik, ekonomi dan keamanan. Sayangnya, bangsa ini telah lama memunggungi laut, akibatnya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menjadi negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim.
Diprediksikan setiap wilayah Indonesia akan mengalami perubahan iklim, kenaikan temperatur dan intensitas curah hujan. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) saat memberikan materi perubahan iklim pada kegiatan Jurnalis Perubahan Iklim-Climate Tracker September lalu (30/9), ia menjelaskan bahwa “trend kenaikan temperatur atmosfer global sekarang sudah meningkat mencapai 1°C dari temperatur sebelum revolusi industri. Diperkirakan jika kenaikan temperatur ini terus berlanjut, maka pada akhir abad 21 kita akan menghadapi kenaikan temperatur diatas 3°C”.
ADVERTISEMENT
Pada COP 21 dibentuk untuk mengatasi perubahan iklim secara global, tidak hanya disepakati oleh negara-negara maju saja sebagai penghasil emisi tertinggi, namun kesepakatan ini berlaku juga bagi negara-negara berkembang yang disinyalir emisinya lambat-laun mulai naik.
Menurut Fabby, dari kesepakatan Paris ini terdapat banyak poin penting yang harus disepakati, salah satunya adalah pembatasan temperatur global. Menjaga agar kenaikannya tidak lebih dari dua derajat, dan berusaha keras agar sampai di satu setengah derajat. Tujuan dari target tersebut ialah untuk menghindari fenomena-fenomena alam yang berubah sewaktu-waktu. Seperti kenaikan temperatur diatas batas yang ditentukan mengakibatkan sistem/siklus yang kacau bagi makhluk hidup (hewan, tumbuhan dll).
“Kalau muka air laut itu naik, maka produksi plankton akan berkurang. Dan jika produksi plankton berkurang, maka akan berdampak pada ikan yang berkurang. Kemudian daya dukung yang di laut, misalnya terumbu karang. Terumbu karang adalah tempat untuk ikan berkembang biak, dan fenomena kenaikan ini mengakibatkan coral menjadi memutih (bleaching). Lalu ada lagi tingkat keasaman. Selama ini salah satu sumber penyerap karbon yang alami itu adalah laut. Bayangkan saja jika laut itu tingkat keasamannya tinggi, dia tidak akan bisa lagi menyerap karbon dan semua karbon akan ke atmosfer, yang membuat accelerated global warming”, pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Pendapat serupa dilontarkan oleh Prof. Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc, ahli peneliti utama dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat diwawancara oleh penulis (Selasa, 15/11). Beliau merupakan peneliti oceanografi ahli di bidang penginderaan jauh, Sam menjelaskan bahwa fenomena pemutihan terumbu karang (coral bleaching) secara global telah terjadi empat kali yaitu 1982/1983, 1997/1998, 2010 dan 2015/2016. Kenaikan suhu diatas 1 derajat telah menyebabkan kejadian pemutihan karang. Pada tahun 1983, fenomena ini telah merusak 95% terumbu karang di Galapagos. Kemudian di tahun 1997, telah merusak 16% karang dunia. Di tahun 2010, telah terjadi mild bleaching atau pemutihan karang yang tidak begitu kuat tetapi telah menyebabkan kejadian pemutihan karang secara global. Tahun 2015/2016 tercatat sebagai tahun pemutihan terumbu karang yang terparah dari kejadian terumbu karang sebelumnya, yang telah merusakkan terumbu karang di Great Barrier Reef.
ADVERTISEMENT
“Prinsipnya kita harus mengetahui terlebih dahulu, suhu laut jangka panjang, minimal 7 tahun. Dari situ mulai dihitung nilai suhu rata-rata bulanan yang tertinggi (maximum monthly mean/MMM). Untuk perairan Indonesia dari 8°LU-12°LS, 91°-142°BT, hasil perhitungan suhu jangka panjang yang diukur oleh satelit Aqua MODIS dari tahun 2002-2017 diperoleh nilai MMM sama dengan 29,1°C. Nilai tersebut merupakan suhu normal dimana koral dapat beradaptasi dengan baik. Diatas suhu tersebut, koral mulai mengalamai stress. Stress dihitung dari selisih antara suhu pada saat kejadian El Nino dikurangi suhu MMM yang disebut sebagai juga titik panas atau Hot Spot (HS)”, tuturnya.
Perhitungannya, jika HS lebih kecil dari 0, maka koral tidak mengalami stress terhadap suhu laut (kondisi aman). Jika HS antara 0-1°C, maka tingkat stress koral terhadap suhu laut rendah (kondisi waspada). Jika HS lebih besar dari 1°C, maka tingkat stress koral terhadap suhu laut terakumulasi (kondisi bahaya).
ADVERTISEMENT
Apabila HS lebih besar dari 1°C dan mendiami suatu perairan berkisar antara 4-8 minggu maka koral berada dalam kondisi stress kuat, yang menyebabkan terjadi bleaching secara partial (sebagian-sebagian). Kemudian apabila HS lebih lama dari 8 minggu, maka karang mengalami stress sangat berat yang menyebabkan kematian massal koral.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka kejadian coral bleaching tahun 2010 dan 2016 terjadi selama 4 bulan (Maret-Juni). Kekuatan coral bleaching lebih kuat di tahun 2016. Kejadian Coral bleaching di Indonesia terjadi sedikitnya di 15 provinsi (1. Sabang, Aceh; 2. Sibolga, Sumatera Utara; 3. Mentawai&Pulau Pagai, Sumatera Barat; 4. Kepulauan Karimun Jawa, Jawa Tengah; 5. Situbondo&Malang Selatan, Jawa Timur; 6. Pamuteran, Badung, Nusa Dua, Sanur&Pulau Menjangan, Bali; 7. Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air, Sekotong&Lombok Barat, NTB; 8. Tabulolong, Kupang, Solor&Lembata,NTT; 9. Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan; 10. Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara; 11. Ambon, Maluku; 12. Bintan & Natuna, Kepulauan Riau; 13. Derawan & Maratua, Kalimantan Timur; 14. Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, Gorontolo dan Sulawesi Utara; 15. Raja Ampat & Misol, Papua Barat). Data dan informasi tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti peneliti, pemerhati terumbu karang, NGO/LSM, Dive Center dan akademisi.
ADVERTISEMENT
Sam juga berpendapat bahwa kecenderungan kejadian coral bleaching periodenya semakin lama semakin pendek. “Misalnya saja kejadian bleaching tahun 1983 ke 1997/1998 memakan waktu 14-15 tahun, dari 1997 ke 2010 memakan waktu 12-13 tahun, dan dari 2010 ke 2016 memakan waktu hanya 6 tahun. Sifat dari koral adalah mampu memulihkan dirinya (reseliensi), namun adanya kecenderungan coral bleaching semakin pendek, maka koral yang belum sempat memulihkan dirinya sudah terpapar lagi. Diasumsikan jika terumbu karang mati maka keanekaragaman biota yang ada di ekosistem terumbu akan berkurang”, tutupnya.
Dampak Perubahan Iklim Bagi Masyarakat Pesisir dan Nelayan
Efek perubahan iklim ini tentunya akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung dan berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir atau yang hidup dengan memanfaatkan laut sebagai sumber penghidupan (nelayan).
ADVERTISEMENT
Misalnya penelitian Perdana dan Susilowati dalam Diponegoro Journal of Economics (2015), mengidentifikasi bahwa perubahan iklim berdampak kepada pencapaian tujuan pembangunan pada sektor perikanan, contohnya di kota Semarang, Jawa Tengah. Kota Semarang mempunyai masalah yang spesifik sebagai daerah pesisir.
Dampak dari perubahan iklim yang sangat dirasakan oleh masyarakat pesisir Kota Semarang yaitu 1) genangan air pasang (Rob) yang mengganggu aktivitas industri, infrastruktur, pemukiman, dan perikanan; 2) dampak perubahan iklim terhadap perikanan dan mata pencaharian nelayan yaitu terdapat penurunan produktivitas perikanan di pantai utara Jawa Tengah.
Adanya perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan seperti curah hujan, gelombang tinggi, yang disertai angin kencang membuat nelayan semakin jarang melaut ataupun jika melaut akan mendapatkan hasil tangkapan yang minim.
ADVERTISEMENT
Para nelayan di Kota Semarang pada umumnya adalah nelayan skala kecil yang masih tradisional dan menangkap ikan di wilayah pesisir pantai. Perubahan iklim telah menyebabkan kehidupan pesisir, yang terdiri dari nelayan, petambak ikan, dan pekerja lainnya telah menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan menjadi tidak stabil secara ekonomi. Sumber daya perikanan berubah drastis/bersifat elastis tetapi nelayan masih bersifat tradisional, hal ini yang membuat nelayan mengalami “puso” atau tidak mendapatkan tangkapan karena perubahan iklim (dikutip dalam penelitian Perdana dan Susilowati, 2015).
Berdasarkan penelitian Perdana dan Susilowati, menjelaskan nelayan menganggap bahwa perubahan cuaca akhir-akhir ini adalah bencana bagi mereka semua para nelayan. Bisa dikatakan bencana karena menurut mereka perubahan cuaca yang saat ini terjadi menyebabkan hasil tangkapan mereka semakin sulit didapat dan akibatnya pendapatan mereka menurun. Kalaupun bisa mendapat hasil yang banyak, cuaca sering tidak menentu dilaut dan itu membutuhkan usaha keras karena daerah tangkapan jadi tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Badai tropis terutama di wilayah selatan Jawa atau barat daya Sumatera yaitu berupa angin kencang, hujan lebat disertai gelombag tinggi mengakibatkan kapal-kapal nelayan tidak dapat melaut. Biasanya kondisi cuaca ekstrim muncul di awal bulan Januari sampai Februari. Gelombang setinggi diatas 2 meter dianggap ekstrim, biasanya kapal-kapal nelayan sudah tidak bisa melaut dengan baik dan akibatnya penghasilan nelayan berkurang (Perdana dan Susilowati, 2015).
Variasi iklim dan perubahan tampaknya mempengaruhi produktivitas perikanan, secara umum pemanasan global dapat menyebabkan penurunan produksi ikan di Indonesia. Kondisi tersebut tentunya tidak adil bagi masyarakat pesisir atau nelayan yang berada dalam garis kemiskinan dimana tumpuan kehidupannya mengandalkan sektor perikanan dan ekosistem pesisir. Tanpa ekosistem pesisir, masyarakat pesisir akan mengalami kesulitan ekonomi yang sangat serius.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu menjadi sebuah permasalahan yang harus segera dicari solusinya oleh pemerintah bekerjasama dengan Lembaga/NGO juga institusi pendidikan terkait. Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam memerangi fenomena perubahan iklim yaitu melalui inisiatif Blue Carbon yang disampaikan dalam presentasi COP 23 di Bonn, Jerman, Rabu, 8 November 2017 (dikutip pada laman indonesiaunfccc.com). Blue carbon adalah upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida sehingga bisa memitigasi pemanasan global dan perubahan iklim dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut dan ekosistem pesisir.
Dengan menambahkan sektor kelautan untuk penyerapan karbon, tentu target penurunan emisi Indonesia bisa lebih ambisius di 2030. Seperti yang di lansir greeners.co pemanfaatan ekosistem pesisir untuk karbon biru masih memerlukan pengelolaan ekosistem pesisir yang berkelanjutan dan koordinasi antar kementerian serta pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi yang konstruktif untuk bersama-sama menyusun Roadmap Blue Carbon Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis: Sarah R M W
Sumber terkait:
http://indonesiaunfccc.com/blue-carbon-initiative-indonesia-blue-growth-for-sustainable-coastal-livelihood/
http://www.greeners.co/berita/blue-carbon-berpotensi-mempercepat-target-penurunan-emisi/
https://www.researchgate.net/publication/292527161_IMPACT_OF_CLIMATE_CHANGE_ON_FISHERMEN_DAMPAK_PERUBAHAN_IKLIM_TERHADAP_NELAYAN_TANGKAP