Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Suara untuk Keadilan Iklim
23 November 2017 8:41 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari S. Rosemery M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seiring peradaban dunia berkembang, manusia kerap kali berambisi untuk membangun dan menciptakan sesuatu yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Belum lagi dengan persaingan antar negara yang saling menunjukkan identitasnya sebagai negara yang ‘terdepan’ di segala bidang. Manusia seakan rela untuk melakukan segala hal tanpa memikirkan dampak ekologis yang harus dihadapi kedepannya.
ADVERTISEMENT
Bumi, satu-satunya planet yang menjadi tempat tinggal dan sumber penghidupan manusia, lambat laun mulai terancam dan tereksploitasi. Ancaman yang telah datang secara nyata yaitu berasal dari perubahan iklim dan pemanasan global.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), melalui informasi resmi yang didapat oleh penulis, menyatakan bahwa laporan ilmiah pertama yang digabungkan secara kolaboratif oleh ilmuwan-ilmuwan global adalah mengenai isu pemanasan global (fenomena global warming) yang terjadi pada 1990. Rekomendasinya menyatakan bahwa akitvitas manusia menjadi penyebab perubahan iklim.
“Trend kenaikan temperatur atmosfer global sekarang sudah meningkat mencapai 1°C dari temperatur sebelum revolusi industri. Diperkirakan jika kenaikan temperatur ini terus berlanjut, maka pada akhir abad 21 kita akan menghadapi kenaikan temperatur diatas 3°C”, tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada 2015, atau yang dikenal ‘COP 21’, dibentuk untuk mengatasi perubahan iklim secara global. Tidak hanya disepakati oleh negara-negara maju saja, kesepakatan ini berlaku juga bagi negara-negara berkembang yang disinyalir emisinya lambat-laun mulai naik.
Menurut IESR, negara maju, yang mewakili 20% dari populasi dunia, telah menghasilkan lebih dari 70% emisi historis (sejak revolusi industri). Jumlah ini jauh lebih banyak dari bagian adil mereka berdasarkan emisi per kapita yang seimbang. Contoh konkrit adalah negara Amerika Serikat dengan penduduk hampir 5% dari populasi dunia, telah menyumbang 25% dari total emisi karbon.
Perundingan sebelumnya, yaitu Konferensi Perubahan Iklim ‘COP 15’ yang digelar oleh PBB di Copenhagen tahun 2009, menyatakan bahwa Amerika Serikat sebagai negara dengan eemisi karbon terbesar di dunia belum menunjukkan komitmennya untuk mengurangi emisi mereka yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Hal ini semakin diperkeruh lagi dengan dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada tahun 2015 untuk menarik keterlibatan Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris. Ia beralasan bahwa Kesepakatan Paris akan berdampak buruk bagi perekonomian negaranya. Tentu saja reaksi Trump ini menuai kecaman, terutama bagi negara-negara yang rentan akibat perubahan iklim salah satu di antaranya adalah Indonesia.
Menurut Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan Energi Friends of the Earth International, yang dikutip dalam laman greeners.co, negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa, mestinya membagi tanggung jawab yang adil untuk menurunkan emisi, serta memberikan pendanaan dan dukungan alih teknologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kampanye IESR terhadap perubahan iklim menjelaskan sebuah catatan emisi yang telah dikeluarkan oleh negara-negara maju/negara industri amatlah tinggi. Negara tersebut telah melemahkan kemampuan bumi untuk menyerap gas-gas emisi dan menyebabkan krisis iklim global. Jika dianalogikan secara sederhana maka dibutuhkan lebih kurang 9 planet yang setara dengan bumi untuk menampung emisi yang dihasilkan oleh Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Tanpa disadari bahwa emisi yang dihasilkan oleh negara maju atau atau biasa dikenal Annex 1, dapat membunuh Bumi secara perlahan-lahan. Ketidakadilan mereka terhadap Bumi mengakibatkan banyak negara belahan dunia lain terutama negara berkembang, seperti Indonesia terkena akan dampaknya.
Pemasalahan yang telah terjadi di Indonesia akibat ketidakadilan tersebut antara adalah krisis pangan, sosial, ekonomi, serta kesehatan. Ditambah lagi, dari dampak tersebut, yang paling rentan terkena imbasnya adalah masyarakat dari kalangan ekonomi ke bawah seperti petani dan nelayan.
Dengan semangat keadilan iklim, maka negara-negara yang bertanggung jawab terhadap emisi gas rumah kaca juga harus bertanggung jawab untuk mengatasi kebutuhan adaptasi korban perubahan iklim.
Langkah Indonesia Menyuarakan Keadilan Iklim
Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) 2017, atau yang dikenal dengan ‘COP 23’, diselenggarakan pada tanggal 6-17 November 2017 di Bonn, Jerman. Konferensi ini beranggotakan 197 negara yang berkomitmen untuk mengurangi peningkatan suhu global sebanyak 2 derajat Celcius yang tertuang dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada penyelenggaraan ‘COP 21’ di Paris, Prancis.
ADVERTISEMENT
Secercah harapan mulai terlihat saat negara rawan konflik seperti Suriah mengumumkan bahwa mereka akan menandatangani perjanjian iklim Paris, dan meninggalkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara yang tidak menandatangani kesepakatan Paris (Paris Agreement).
Dalam perundingan iklim tersebut, pada Selasa, 7 November 2017, pemerintah Suriah akhirnya mengumumkan bahwa mereka akan menandatangani perjanjian iklim Paris, berdasakan berita resmi yang didapat penulis melalui organisasi Climate Tracker.
Amerika Serikat adalah negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan penghasil gas rumah kaca terbesar kedua setelah China, dan mereka sekarang terisolasi di panggung dunia sebagai satu-satunya negara di dunia yang tidak berkomitmen untuk mengambil tindakan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk memerangi perubahan iklim dan pemanasan global. Pemerintah Indonesia menyuarakan agar para pelaku usaha kehutanan yang ada di Indonesia turut memberikan dukungannya untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, seperti tertuang dalam dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (Nationally Determined Contributions/NDC) dalam Kesepakatan Paris.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dilansir pada laman greeners.co, peran pelaku usaha sangat penting sama pentingnya dengan peran pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat adat. Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) bisa berkontribusi melalui kegiatan pengelolaan hutan produksi lestari sebagai bisnis utamanya, dengan cara mengimplementasikan kegiatan REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan).
Pemerintah Indonesia juga berupaya di sektor kelautan, lewat penyerapan karbon atau pengelolaan karbon biru (blue carbon). Karbon biru merupakan upaya untuk mengurangi emisi karbondioksida di Bumi dengan cara menjaga keberadaan hutan bakau, padang lamun, rumput laut, dan ekosistem pesisir. Vegetasi pesisir diyakini dapat menyimpan karbon 100 kali lebih banyak dan lebih permanen dibandingkan dengan hutan di daratan.
ADVERTISEMENT
Peluang bagi Indonesia untuk lebih ambisius menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari target lima sektor yang telah ada seperti sektor kehutanan (17,2 persen), energi (11 persen), pertanian (0,32 persen), industri (0,10 persen) dan limbah (0,38 persen), diasumsikan akan lebih cepat tercapai.
Keadilan iklim tidak hanya menunggu kepekaan dari negara lain. Indonesia, sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, harus langsung melawan pemanasan global. Hal ini diharapkan mampu menyelamatkan ekosistem alam dan penduduk Indonesia dari datangnya perubahan iklim. Sebagai informasi, selain menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri (unconditional), Indonesia juga akan menurunkan emisi gas rumah kaca sampai dengan 41 persen dengan dukungan internasional (conditional) pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT
Untuk itu perlunya kesadaran dan peran serta seluruh aspek, golongan, masyarakat dan tak lepas juga peran generasi muda untuk mengetahui dampak/efek perubahan iklim. Sikap acuh terhadap perubahan iklim bukan lagi menjadi pilihan untuk menyuarakan keadilan iklim. Warga Negara Indonesia berhak memperoleh lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945, sehingga perwujudan keadilan iklim pun dapat dirasakan bersama-sama dan terus berkelanjutan.
Penulis: Sarah R M W
Referensi terkait:
http://www.greeners.co/berita/blue-carbon-berpotensi-mempercepat-target-penurunan-emisi/
http://www.greeners.co/berita/unfccc-2017-ajak-dunia-wujudkan-ambisi-penurunan-suhu-global/
http://www.greeners.co/berita/pemerintah-mulai-merinci-implementasi-ndc-indonesia/
http://www.greeners.co/aksi/iccfe-2017-dorong-kesadaran-generasi-muda-terhadap-perubahan-iklim/
http://iesr.or.id/