Kosmopolitanisme dan Gerakan Aktivisme Transnasional Mogok Sekolah Demi Iklim

Sarah Novianti
Mahasiswa Hubungan Internasional UGM
Konten dari Pengguna
11 Juli 2021 12:33 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Novianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana kelas kosong akibat aksi mogok sekolah sebagai protes terhadap perubahan iklim yang diinisiasi oleh Greta Thunberg. Foto: https://pixabay.com/photos/climate-strike-school-strike-school-4113372/
zoom-in-whitePerbesar
Suasana kelas kosong akibat aksi mogok sekolah sebagai protes terhadap perubahan iklim yang diinisiasi oleh Greta Thunberg. Foto: https://pixabay.com/photos/climate-strike-school-strike-school-4113372/
ADVERTISEMENT
Gerakan “Fridays for Future” yang diinisiasi oleh Greta Thunberg, seorang pelajar Swedia telah menghimpun kekuatan pelajar dunia dalam menyuarakan isu lingkungan hidup dan krisis iklim. Aksinya bermula pada Agustus 2018 dengan melakukan mogok sekolah dan protes di depan parlemen Swedia dengan membawa papan bertuliskan “mogok untuk iklim”, aksinya tersebut dilakukan setiap hari Jumat. Tuntutannya tersebut ditujukan kepada parlemen Swedia agar menurunkan emisi karbon sesuai dengan Perjanjian Paris 2015 mengingat gelombang panas dan kebakaran hutan di Swedia sudah mencapai yang terpanas dan terparah dalam kurun waktu 262 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Aksinya tersebut kemudian menarik perhatian serta menginspirasi jutaan pelajar di seluruh dunia untuk melakukan protes dengan mogok sekolah setiap hari Jumat. Mereka kemudian turun ke jalan dan melakukan aksi damai atau demonstrasi yang ditujukan pada para pemimpin politik di kota dan negaranya. Mengambil bagian dalam upaya untuk memperjuangkan keselamatan bumi demi masa depan generasi mendatang merupakan motivasi para pelajar tersebut.
Gerakan demonstrasi besar-besaran telah dilakukan pada Agustus 2019 lalu, anak muda di 139 negara turun ke jalan. Sekitar 5000 aksi demonstrasi dilakukan di hari itu dan yang terbesar terjadi di New York di mana 1 juta pelajar berdemonstrasi menuntut perubahan sikap para pemimpin negara untuk menanggulangi krisis iklim.
Ancaman-ancaman kemanusiaan seperti krisis iklim semakin besar dan meluas, sehingga menimbulkan kesadaran kosmopolitan di generasi muda untuk melakukan gerakan aktivisme transnasional. Greta Thunberg tidak sendiri, ia dan jutaan anak lainnya berjejaring dengan NGO serta INGO lain seperti Greepeace, berbicara mengenai nilai, etika, moral yang diusung oleh kosmopolitan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap lingkungan hidup bagi generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Millenial, Aktivisme, dan Kesadaran Moral Kosmopolitan
Greta Thunberg bersama para siswa tengah melakukan protes dengan membentangkan spanduk seruan untuk mogok sekolah agar pemimpin dunia menaruh perhatian, foto oleh Pascal Bernardon : https://unsplash.com/photos/Kti5EqAj30M
Gerakan transnasional yang dimotori oleh seorang anak perempuan berusia 18 tahun yang notabene masuk kategori generasi millenial merupakan gebrakan baru dan mematahkan anggapan bahwa generasi tersebut tidaklah peduli dengan politik atau cenderung apolitis.
Nyatanya millenial hidup di era kecanggihan teknologi dan informasi yang memungkinkan mereka dapat mengakses berita dan informasi dari berbagai belahan dunia. Oleh karenanya generasi millenial akan lebih terbuka dan cenderung kritis menanggapi isu dan permasalahan di sekitarnya termasuk isu krisis iklim yang semakin mengancam masa depan mereka sebagai generasi penerus.
Kesadaran akan bentuk ancaman krisis iklim dan melihat tidak adanya upaya serius yang dilakukan oleh para pemimpin dan korporat global mendorong mereka untuk melakukan gerakan aktivisme transnasional. Apa yang dilakukan Greta Thunberg dan anak muda lainnya adalah aksi nir-kekerasan, mereka hanya melakukan mogok, dan aksi tersebut mampu mengetuk hati dan nurani orang dewasa lain untuk ikut serta dalam aktivisme.
ADVERTISEMENT
Greta dan pelajar lainnya menuntut seluruh pemimpin negara-negara untuk segera mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim. Greta Thunberg menantang pemimpin-pemimpin dunia dalam KTT Iklim 2019 di New York dalam pidatonya dengan judul ‘How Dare You”, ia meluapkan rasa kecewa dan marahnya kepada para pemimpin politik dan bisnis yang gagal dalam menangani perubahan iklim dan keadan darurat.
Lemahnya tindakan pemerintah dunia dalam menyikapi krisis iklim tersebut telah mengancam keamanan manusia dan melanggar hak-hak generasi muda yang akan datang dengan mewariskan dunia yang telah rusak. Dengan tegas Greta menyerukan bahwa warga dunia harus memiliki urgensi untuk bertindak secepat mungkin untuk menyelamatkan masa depan bahkan jika harus dengan mengubah sistem itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh Greta Thunberg sebenarnya sejalan dengan konsep dan nilai-nilai kosmopolitanisme, ia menyadarkan kita bahwa setiap individu memiliki peran penting dalam berkontribusi yang relevan untuk masalah dunia. Basis moral kosmopolitanisme adalah public good atau kepentingan publik, di mana perlindungan lingkungan hidup untuk kelangsungan generasi mendatang menjadi konsen utama. Krisis iklim tidak bisa diselesaikan oleh satu atau dua orang saja, melainkan membutuhkan kerja global dan utamanya lembaga politik dan para pemimpin dunia yang bertanggung jawab kepada semua orang.
Basis Moral Aktivisme Greta Thunberg
Sejalan dengan konsep kosmopolitanisme yang mana basis moral menjadi penggerak utamanya, upaya Greta Thunberg untuk menyadarkan dunia akan krisis iklim yang tengah terjadi telah mendorong anak muda dunia untuk menuntut para pemimpin dan korporat global untuk bertanggung jawab atas krisis iklim. Hal ini menunjukkan bahwa basis moral perlindungan terhadap lingkungan hidup telah menggerakkan jutaan anak dan pelajar untuk turun ambil bagian dalam aktivisme penyelamatan bumi untuk generasi mereka dan yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Mereka menjadi penjaga etik dan moral bagi masyarakat lain untuk menyoroti masalah krisis iklim. Banyak yang kemudian menyadari bahwa krisis iklim memang nyata, hal itu ditunjukkan dengan gerakan demonstrasi krisis iklim dilakukan bukan oleh anak-anak saja namun juga orang dewasa, dilakukan serentak hampir di seluruh dunia termasuk di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kekuatan anak muda tidak bisa diremehkan, mereka adalah sumbu-sumbu yang siap dinyalakan dan akan mengobarkan semangat membara. Idealisme Greta telah menjadi power di era demokrasi yang kacau ini. Ide dan gagasan yang ditawarkan olehnya didukung oleh fakta sains yang tidak bisa terbantahkan membuat para oposisi utamanya yang menolak krisis iklim ketar-ketir. Greta mewakili generasi muda yang mengkhawatirkan masa depan mereka, bersama dengan aktivis muda lainnya ia mengajukan tuntutan resmi kepada pemimpin dunia untuk menepati janji terkait upaya pencegahan iklim.
ADVERTISEMENT
Etika dan moral mendorong anak-anak muda tersebut untuk bertindak secara transnasional. Keadilan global dapat dicapai tanpa kehilangan struktur demokrasi negara bangsa, suatu tipe ideal dari tatanan dunia kosmopolitan. Masalahnya bahwa sistem politik di dunia ini potensial mengalami fenomena one state power, Power memainkan peran penting dalam agenda setting, decision-making process, dan lainnya. Banyak sekali keputusan-keputusan PBB hanya dimaksudkan untuk mengukuhkan kepentingan-kepentingan negara-negara besar dan korporasi global.
Tuntutan Mengubah Sistem
Sistem ekonomi dan politik saat ini tidak cocok untuk dijalankan, karena telah merusak alam. Butuh suatu upaya sistematis untuk mengubah sistem itu sendiri. Saat ini kita menganggap bahwa upaya sadar lingkungan bisa dilakukan sebatas mengubah kebiasaan atau pola hidup seperti penggunaan plastik sekali pakai, atau beralih ke gaya hidup yang lebih ramah.
ADVERTISEMENT
Namun hal tersebut tidak serta merta bisa berdampak pada penanggulangan krisis iklim yang sudah kian mengkhawatirkan. Oleh karenanya Greta menawarkan perubahan sistem politik dan ekonomi yang ditentukan oleh para elite-elite global yang diuntungkan oleh sistem mapan sekarang. Transisi ke sistem yang lebih berpihak pada lingkungan harus dipaksakan oleh para elite politik walaupun hal ini akan menimbulkan kerugian ekonomis bagi mereka.
Sistem kapitalisme yang dianut oleh politik ekonomi global telah kehilangan legitimasinya. Sistem ini gagal dalam merespons perubahan iklim bahkan memperburuk krisis tersebut. Sistem kapitalisme ditopang oleh pola produksi dan konsumsi yang sangat tidak ramah lingkungan telah menimbulkan kerusakan di darat, laut, dan udara. Mengancam tidak hanya kelangsungan hidup manusia namun juga makhluk hidup lainnya termasuk hewan dan tumbuhan.
ADVERTISEMENT
Greta dan aktivis lingkungan lainnya diharapkan dapat terus menumbuhkan aktivisme transnasional. Jika suatu saat mendapatkan momen yang pas, maka bukan tidak mungkin transisi dan perubahan ke sistem yang baru akan tercapai, yakni sistem yang lebih pro lingkungan.
Penentangan dari kaum konservatif
Donald Trump banyak ditentang oleh pelajar karena kebijakannya yang tidak ramah lingkungan dan keputusannya untuk keluar dari Perjanjian Paris. Foto oleh Markus Spiske : https://unsplash.com/photos/pKx_zEJSIr0
Gerakan aktivisme transnasional Greta Thunberg ternyata tidak serta merta menyadarkan para pembuat kebijakan global untuk segera mengambil tindakan nyata menyelamatkan bumi karena besarnya pengaruh politik dan ekonomi dunia. Kritikan, sentimen dan olok-olok dari beberapa pemimpin dunia terhadapnya tidak menghentingkan langkah kritisnya. Pidatonya yang berapi-api dan menuding bahwa para pemimpin politik dan bisnis telah gagal menangani krisis iklim direspons beragam.
Beberapa dari kalangan konsrevatif yang merasa tersindir kemudian melontarkan kritik dan olok-olok. Donald Trump mengejek dan meremehkannya di twitter. Tentu respons Trump tersebut setelah Greta menuding AS tidak serius mengurangi emisi karbonnya dan hanya peduli pada peningkatan ekonomi AS dengan keluar dari Perjanjian Iklim Paris. Kemudian olok-olokan dan sentimen terhadap Greta juga datang dari Presiden Brasil Jair Bolsonaro, dan anak tertua Trump yakni Donald, Jr yakni anak tertua Donald Trump dan beberapa politikus lainnya yang tidak senang dengan aktivisme Greta.
ADVERTISEMENT
Respons para konservatif dan mereka yang menolak aktivisme Greta sebenarnya sangatlah berlebihan dan suatu hal yang bodoh. Seorang gadis muda dengan kegigihannya memperjuangkan nilai-nilai lingkungan dan kemanusiaan tidaklah pantas mendapat cemoohan dan hinaan. Hal ini membuktikan bahwa krisis iklim belum dipandang sebagai ancaman bagi keamanan manusia.
Bahkan dari kalangan bisnis, aktivisme yang menuntut penurunan emisi karbon akan mengancam industrialisasi yang selama ini menguntungkan mereka. Selain itu perubahan gaya hidup ke arah yang lebih ramah lingkungan seperti mengurangi perjalanan dengan pesawat, pola makan vegan, serta greeneconomy yang dituntut oleh Greta telah menyentil harga diri para kaum jetset yang notabene memiliki gaya hidup yang tidak ramah lingkungan.
Komitmen Global dan Aktivisme di Masa Pandemi
ADVERTISEMENT
Masalah lingkungan hidup seperti krisis iklim membutuhkan usaha-usaha transnasional dan komitmen para pemangku kekuasaan. Kesadaran anak muda yang digawangi oleh Greta Thunberg ini menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti dalam kaitannya dengan mendukung ide kosmpolitanisme yang muncul dari kalangan pelajar dunia. Di masa pandemi Covid-19 aktivisme memang menghadapi tantangan, protes mogok sekolah untuk iklim tidak lagi bisa dilakukan secara langsung dan masif.
Namun pandemi nyatanya tidak menghentikan aktivisme Greta dan kawan-kawan, mereka tetap melakukannya dengan protokol kesehatan, serta tetap melakukan lobi-lobi terhadap mereka yang berkepentingan dan berkeuntungan atas eksploitasi alam. Krisis iklim adalah ancaman nyata, namun hanya dirasakan oleh masyarakat saja, para elite global dan korporasi rupanya hanya tutup mata, pura-pura tidak melihat bencana di depan mata.
ADVERTISEMENT