Konten dari Pengguna

Pandemi Semakin Menunjukkan Potret Kesenjangan Pendidikan Indonesia

Sarah Novianti
Mahasiswa Hubungan Internasional UGM
11 Juli 2021 5:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sarah Novianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Beberapa anak sedang memerhatikan penjelasan guru. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa anak sedang memerhatikan penjelasan guru. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 telah membawa perubahan besar pada sektor pendidikan di Indonesia. Sejak Maret 2020 ketika kasus COVID-19 pertama muncul di Indonesia, presiden Joko Widodo pun telah mengambil langkah untuk menghentikan proses pembelajaran tatap muka dan membuat kebijakan pembelajaran jarak jauh guna menekan penyebaran virus. Dalam proses pembelajaran jarak jauh tersebut kegiatan belajar mengajar menggunakan perangkat elektronik seperti hp, laptop dan komputer melalui jaringan internet atau daring.
ADVERTISEMENT
Akibat kebijakan belajar dari rumah tersebut telah membuat lebih dari 60 juta siswa Indonesia dirumahkan karena tidak dapat belajar di sekolah. Selain itu digitalisasi pendidikan juga telah menuntut sivitas akademik termasuk guru dan siswa untuk menguasai perangkat teknologi digital, yang pada akhirnya akan semakin membuka tabir dunia pendidikan Indonesia yang kelam. Pandemi semakin memperlihatkan kesenjangan pendidikan di Indonesia semakin lebar, ketimpangan penguasaan teknologi, tidak meratanya infrastruktur dan akses pendidikan antara pelajar dari kalangan ‘kaya’ dan ‘miskin’ makin terlihat jelas.
Kesenjangan pendidikan akan menjadi tantangan terbesar bagi masa depan pendidikan Indonesia. Sebagai generasi muda yang harus mendapatkan hak pendidikan yang layak, ternyata tidak semua siswa Indonesia memiliki akses terhadap pendidikan yang baik di masa pandemi ini. Setelah 1 tahun lebih belajar di rumah, siswa-siswa Indonesia menghadapi hambatan dan kesulitan. Mereka juga merasakan bahwa pandemi telah membuat beban di pundak mereka semakin berat saja akibat dituntut untuk memahami pelajaran sekolah melalui media digital daring.
ADVERTISEMENT
Banyaknya fenomena siswa di pelosok daerah yang harus berjalan berkilo meter jauhnya demi mendapat sinyal internet agar dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki gawai dan komputer harus meminjam gawai tetangga atau pergi ke sekolah seminggu sekali untuk mengambil dan menyerahkan tugas sekolah, banyak pula yang terseok-seok hanya demi membeli kuota internet, kualitas guru di pelosok pun masih sangat rendah. Alhasil menimbulkan masalah-masalah baru seperti kekerasan pada anak di rumah, putus sekolah, bahkan meningkatnya anak menikah di usia dini.
Umumnya yang mengalami hambatan besar adalah siswa dari masyarakat kelas menengah ke bawah dan daerah 3T (Terdepan, terpencil, tertinggal), yang notabene tidak memiliki fasilitas belajar seperti gawai (handphone), laptop atau komputer. Minimnya kemampuan membeli kuota internet, sulitnya akses terhadap sinyal dan kondisi rumah tangga dan lingkungan yang kurang mendukung juga menyulitkan mereka untuk mengikuti proses belajar, sehingga ketinggalan materi sangat jauh.
ADVERTISEMENT
Siswa dari kalangan menengah ke atas atau elite barangkali tidak akan menemui kendala berarti dalam proses pembelajaran jarak jauh karena ketersediaan fasilitas, penguasaan teknologi, pendidik yang berkualitas, dan lingkungan yang mendukung. Mereka dengan mudah mengikuti setiap pembelajaran dan akan berjalan melesat jauh melampaui siswa dari kalangan miskin. Kegiatan pembelajaran jarak jauh seperti ini hanya membuat gap atau jurang pendidikan ‘si kaya’ dan ‘si miskin’ semakin lebar saja.
Waktu satu tahun lebih ketertinggalan siswa‘miskin’ dan siswa daerah adalah masalah besar yang akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Kondisi "learning learning" akibat ketidakmampuan mengakses pembelajaran online akan berdampak pada stagnansi bahkan turunnya kemampuan siswa. Pada gilirannya mengakibatkan ketimpangan pendidikan yang akan berpengaruh pula pada masa depan Indonesia yang digadang-gadang akan merayakan 100 tahun (Golden age) kemerdekaannya pada tahun 2045.
ADVERTISEMENT
Jika kondisi ini jika dibiarkan dan pemerintah tidak mengambil kebijakan yang strategis, maka bukan tidak mungkin pada akhirnya hanya siswa dari kalangan ‘kaya’ dan elite saja yang nantinya akan memiliki keahlian, daya saing, serta kesiapan menghadapi persaingan global. Sedangkan siswa yang mengalami ketertinggalan akibat pandemi tidak akan mampu untuk bersaing di dunia kerja dalam persaingan global.
Naiknya jumlah penduduk miskin, angka putus sekolah, pengangguran, pernikahan anak selama pandemi juga akan memperberat beban Indonesia. Sementara Indonesia akan mendapatkan bonus demografi di mana usia produktif akan mencapai 70% antara tahun 2030-2040. Sehingga ditakutkan hanya sebagian kecil generasi muda Indonesia dari kalangan kaya dan memiliki hak istimewa (Privilege) yang akan memiliki daya saing dan meraih kesuksesan di masa depan. Sedangkan generasi dari kalangan miskin hanya akan menjadi ‘penonton’ di rumah sendiri, dan bahkan menjadi beban negara karena kurangnya daya saing mereka.
ADVERTISEMENT
Tahun 2045 merupakan momen bersejarah bagi Indonesia, pada tahun tersebutlah Indonesia diharapkan memiliki generasi emas yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju. Akankah impian besar Indonesia untuk menjadi bangsa yang berdaya saing tinggi, sejahtera dan maju pada 2045 terwujud? Jawabannya tergantung dari komitmen pemerintah menyediakan akses dan infrastruktur pendidikan yang adil dan merata.
Peran sektor swasta, akademisi, masyarakat dan media juga sangat diperlukan dalam berkolaborasi dengan pemerintah untuk menciptakan pendidikan yang inklusif dan berkualitas guna membentuk generasi emas yang memiliki daya saing tinggi di era persaingan global. Sehingga cita-cita untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 pada akhirnya akan terwujud.