Konten dari Pengguna

Cita-cita Anak dan Swasembada Pangan

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
4 November 2024 8:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak Indonesia bercita-cita menjadi petani. Sumber : Gambar dibuat penulis dengan aplikasi Microsoft designer.
zoom-in-whitePerbesar
Anak Indonesia bercita-cita menjadi petani. Sumber : Gambar dibuat penulis dengan aplikasi Microsoft designer.
ADVERTISEMENT
Ketika anak-anak ditanya cita-citanya, jawaban mereka beragam. Ada sebagian yang ingin jadi dokter atau guru. Ada juga yang ingin menjadi astronaut, pilot, polisi atau tentara. Sebagian yang lain ingin menjadi musisi, aktor, atau chef. Bila kita tanya anak-anak hari ini, mungkin mereka akan menjawab ingin menjadi content creator, youtuber, vlogger, selebgram, atau pengusaha.
ADVERTISEMENT
Bila kita cermati, di Indonesia, sebagai negara yang mengaku dirinya sebagai negara agraris, dan pemerintahnya selalu memiliki visi untuk berswasembada pangan, jarang sekali ada anak-anak Indonesia yang bercita-cita petani. Bahkan seorang anak petani pun, mereka sangat jarang bercita-cita memiliki profesi seperti orang tuanya.
Cita-cita anak-anak tersebut merepresentasikan tentang apa yang mereka bayangkan mengenai profesi ideal tertentu saat ini, dan keinginan mereka “untuk menjadi” seseorang dengan profesi ideal yang mereka bayangkan hari ini tersebut.
Perhatian kita kerapkali lebih fokus pada apa yang dicita-citakan seseorang, dan cenderung mengabaikan tema tentang mengapa orang tidak mencita-citakan profesi tertentu. Misalnya, dalam konteks yang saya sebutkan sebelumnya, jarang ada anak-anak, termasuk remaja atau anak muda, yang bercita-cita ingin menjadi petani atau peternak, termasuk untuk menjadi nelayan atau pedagang.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, menurut saya, orang tidak mencita-citakan profesi tertentu karena mereka tidak memiliki bayangan yang ideal mengenai profesi tersebut, baik di hari ini maupun di masa depan. Profesi yang tidak dicita-citakan itu meruapkan bayangan yang kusam tentang dirinya. Secara psikis, profesi itu tidak memberi kenyamanan hidup; secara ekonomi tidak menjamin kesejahteraan; atau secara sosial tidak memungkinkan mereka menjadi orang yang dihormati dan dihargai oleh lingkungan sekitarnya.
Misalnya, mengapa anak-anak tidak bercita-cita untuk menjadi petani atau peternak? Karena mereka membayangkan profesi petani adalah profesi yang tidak menjanjikan masa depan. Profesi yang tidak akan mengangkat harkat dan martabat hidup mereka. Profesi yang tidak menjamin hidup mereka nyaman dan sejahtera, juga tidak menaikkan gengsi sosial mereka. Karenanya, ia merupakan profesi yang harus dihindari dalam daftar cita-cita mereka.
ADVERTISEMENT
Imajinasi tentang nasib petani yang kusam tersebut tentu tidak tumbuh dari ruang kosong, melainkan mereka petik dari pengamatan terhadap lingkungan fisik, sosial dan budaya di sekitarnya. Dengan kata lain, ada basis material yang mendasari pembangunan imajinasi tentang profesi tersebut.
Ketika mereka mendapatkan pertanyaan tentang cita-cita, mereka tidak menemukan pengalaman atau ingatan tentang petani yang disorot di panggung media karena kesuksesannya. Mereka juga tidak menemukan narasi mengenai petani sukses yang beredar di ruang publik, yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk membangun alasan untuk memilih profesi itu.
Itu artinya, untuk menggeser dan mengarahkan cita-cita anak-anak tersebut agar menjadi petani, harus ada banyak role model petani yang sukses. Bahwa orang-orang di sekitar mereka yang berprofesi sebagai petani hidupnya sejahtera, dan secara sosial juga berada pada kasta yang tinggi serta dihormati. Kemudian, anak-anak itu mengetahui cara untuk meniti jalan agar mereka dapat sukses seperti para petani tersebut.
ADVERTISEMENT
Asumsi demikian memiliki arti penting bagi program swasembada pangan yang menjadi target pemerintahan baru hari ini. Bahwa untuk mencapai swasembada pangan, pemerintah semestinya tidak hanya fokus pada hal-hal yang teknis, atau yang kasat mata semata, melainkan juga harus mengintervensi kondisi psikososial masyarakat. Masyarakat secara rohani juga harus diarahkan, mungkin juga dikerahkan, untuk mendukung program swasembada pangan tersebut.
Salah satu caranya adalah dengan mengarahkan cita-cita dominan anak muda pada berbagai profesi yang akan mendukung kerja-kerja untuk swasembada pangan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengarahkan agar anak-anak muda menjadikan cita-cita menjadi petani atau peternak sebagai cita-cita utama hidup mereka.
Untuk mewujudkan cita-cita swasembada pangan, salah satu parameter sederhana yang dapat kita jadikan patokan bahwa kita sedang mengarah ke sana adalah dengan mengamati cita-cita umum anak-anak atau remaja di Indonesia. Ketika anak-anak Indonesia bercita-cita menggeluti profesi yang berkaitan dengan pengembangan atau produksi pangan, misalnya ingin menjadi petani, peternak, nelayan, peneliti makanan, ahli gizi, pengusaha pangan, dan sebagainya, berarti di masa depan kita akan berkelimpahan sumber daya manusia di bidang pangan.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, pergeseran cita-cita demikian mestinya tidak dilakukan dengan indoktrinasi atau sekadar menciptakan wacana, melainkan dengan mengubah kondisi objektif yang mengitari anak-anak muda. Untuk itu menciptakan kondisi objektif tersebut, yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan membuat berbagai kebijakan yang pro terhadap kesejahteraan petani, sehingga petani sejahtera dan orang mengidamkan hidup seperti mereka.
Dan presiden kita, Prabowo Subianto, mestinya dapat melakukan kerja-kerja demikian, karena sebelumnya dia pernah menjadi ketua Himpunan kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dia hanya perlu membangkitkan cita-cita lama saat dia mengemban ketua HKTI tersebut, yaitu memajukan petani dan menyejahterakan masyarakat Indonesia.