Konten dari Pengguna

Naturalisasi dan Pergeseran Memori Kolektif Bangsa

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
16 September 2024 18:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Naturalisasi dan Pergeseran Memori Kolektif Bangsa
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah hangat selama beberapa saat, perdebatan mengenai kewarganegaraan pemain naturalisasi mulai mereda. Itu terjadi seiring dengan meredanya euforia masyarakat kemenangan timnas Indonesia atas dua negara raksasa sepak bola Asia, Arab Saudi dan Australia. Publik mulai lebih objektif dalam melihat persoalan sepak bola dan kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Dukungan publik terhadap naturalisasi pemain sepak bola pasca pertandingan bola tersebut menunjukan nasionalisme mereka yang menggebu. Mereka sangat cinta terhadap Indonesia. Mereka melihat naturalisasi pemain bola telah berhasil mengangkat martabat dan harga diri kita sebagai bangsa, di tengah kekalahan kita dalam banyak hal.
Perilaku masyarakat tersebut dapat dipahami apabila kita melihat kebangsaan dan kewarganegaraan tidak hanya dari sisi-sisi objektifnya, melainkan juga mempertimbangkan dimensi subjektif mereka. Aspek afektif, kognitif dan juga konatif dari tindakan berbangsa dan bernegara.
Kebangsaan dan kewarganegaraan subjektif tersebut berkaitan dengan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan yang dilakukan oleh warga bangsa baik secara individual maupun kolektif. Dan salah satu yang penting dari aspek psikososial kebangsaan itu adalah memori kolektif. Memori kolektif merujuk pada berbagai ingatan yang dibagikan dan dimiliki secara bersama-sama oleh sekelompok masyarakat.
ADVERTISEMENT
Memori kolektif menyangkut berbagai sisi psikis yang timbul dari berbagai peristiwa di masa lalu, dan ia diperpanjang hingga sekarang. Ia diwariskan dari generasi ke generasi. Namun demikian, karena sifatnya yang dinamis, generasi yang tumbuh di era berbeda juga mengembangkan cenderung memori kolektif berbeda.
Sebagai sebuah ingatan, memori kolektif memiliki sifat tidak stabil, melainkan dinamis. Ia rapuh dan berubah secara fluktuatif. Orang mengaktivasi memori kolektif berbeda pada konteks dan situasi berbeda. Dan bahkan orang dapat menghadirkan ingatan yang berbeda untuk hal yang sama pada kesempatan berbeda.
Dan sebagai sesama warga bangsa, kita tidak sungguh-sungguh memiliki atau mengingat hal yang sama terkait dengan berbagai peristiwa kebangsaan. Diskusi hangat tentang kewarganegaraan pemain naturalisasi merepresentasikan adanya tumbukan memori kolektif tersebut. Ia menjadi medan kontestasi antara kelompok-kelompok yang memiliki ingatan dan gagasan tentang bangsa atau nasionalisme yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan itu, kita melihat kecenderungan sikap publik yang berbeda terhadap pemain naturalisasi beberapa tahun dengan tahun sekarang. Lebih dari satu dekade lalu, dukungan terhadap anti pemain naturalisasi tidak sekuat sekarang. Bahkan, publik cenderung masih tidak mendukung pamain naturalisasi.
Pergeseran sikap tersebut terjadi diantaranya dipengaruhi oleh memori kolektif masyarakat, khususnya ingatan kolektif dalam kaitannya tentang bangsa asing, dan lebih khusus lagi ingatan tentang bangsa Belanda.
Ingatan khusus demikian timbul terkait sejarah bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda dalam rentang waktu yang panjang. Penjajahan itu telah menumbuhkan pandangan juga ingatan khusus pada bangsa Indonesia mengenai bangsa asing, khususnya bangsa Belanda. Ketika masyarakat Indonesia mengingat bangsa Asing, maka salah satu yang mereka ingat adalah penjajahan.
ADVERTISEMENT
Memori demikian mengakar kuat dalam memori kolektif masyarakat Indonesia dan terus direproduksi di berbagai seting, terutama di ruang-ruang kelas di sekolah. Bagi kita yang menempuh sekolah pada masa-masa Orde Baru, kita mendapatkan banyak materi tentang sejarah penjajahan bangsa asing. Narasi nasionalisme yang dikuatkan pada waktu itu adalah nasionalisme yang anti terhadap kolonialisme, dimana penjajah itu kerap diasosiasikan secara kuat dengan bangsa Barat, khususnya Belanda, selain bangsa Jepang.
Apalagi, pada tahun 1980an hingga 1990an, masih banyak tokoh masyarakat yang hidup dan memiliki pengalaman terlibat langsung dalam berbagai peristiwa pada masa-masa perjuangan kemerdekaan. Oleh karenanya, sentimen dan suasana perjuangan melawan bangsa asing tersebut terasa masih lekat dan mendominasi pada waktu itu.
Memori kolektif masyarakat waktu itu masih melihat bangsa Belanda sebagai bangsa kolonial dan sebagai musuh. Ketika membayangkan bangsa asing, khususnya bangsa Belanda dan Jepang, kita masih merasakan trauma atas tindakan eksploitasi bangsa Indoensia. Kita gambarkan mereka sebagai bangsa yang kejam dan tidak manusiawi, yang merampas hak-hak rakyat Indonesia selama berabad-abad.
ADVERTISEMENT
Dengan basis memori kolektif demikian, wajar bila kemudian orang menolak naturalisai pemain bola, terutama jika naturalisasi tersebut melibatkan pemain dari negara yang pernah menjajah Indonesia, seperti Belanda. Publik akan menganggap bahwa naturalisasi pemain asing tersebut, sebagai bentuk "penyerahan" atau kompromi terhadap bangsa yang dulu menindas.
Namun, perkembangan teknologi dalam dua dekade terakhir telah membuka pintu bagi masyarakat untuk terhubung secara luas dengan bangsa-bangsa lain, melalui internet dan media sosial. Hal demikian memungkinkan masyarakat untuk bertemu, berinteraksi, dan terpapar oleh orang-orang asing dari berbagai negara.
Interaksi dengan bangsa asing tersebut kemudian menggeser pandangan dan memori kolektif masyarakat, khususnya pandangan atau ingatan mengenai orang asing. Bila sebelumnya kita melihat bangsa asing sebagai pihak yang mengancam atau menjajah, kini kita melihat mereka lebih positif. Mereka tidak lagi kita lihat bangsa asing sebagai musuh, namun sudah serupa dengan saudara lainnya.
ADVERTISEMENT
Pergeseran memori kolektif mengenai bangsa asing tersebut mungkin yang menjadikan saat ini kita inklusif dan terbuka terhadap pemain naturalisasi. Kita tidak lagi melihat kehadiran pemain naturalisasi sebagai representasi penjajah yang kejam dan mangancam.
Bahkan kita menganggap para pemain naturalisasi tersebut sebagai simbol kebanggaan nasional, karena mereka dapat mengangkat martabat dan harga diri bangsa. Lewat kemenangan timnas sepakbola Indonesia, masyarakat dapat menunjukan ke dunia luar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang unggul. Keadaan yang sudah lama dirindukan oleh masyarakat. Namun, ketika timnas suatu hari nanti kalah, memori kolektif yang lain bisa jadi yang akan mengemuka dalam ruang kesadaran masyarakat.
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi FK Universitas Andalas
ADVERTISEMENT