Konten dari Pengguna

Perilaku Agresif Netizen pada Bangsa Lain di Media Sosial

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
5 November 2024 12:33 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perang psikologis antar dua kelompok suporter sepakbola ketika tim nasional dua negara bertanding. Sumber : Gambar dibuat penulis dengan aplikasi Microsoft Designer.
zoom-in-whitePerbesar
Perang psikologis antar dua kelompok suporter sepakbola ketika tim nasional dua negara bertanding. Sumber : Gambar dibuat penulis dengan aplikasi Microsoft Designer.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang akan datang, timnas sepak bola Indonesia akan menjalani dua laga pertandingan kualifikasi piala dunia. Di laga pertama, Indonesia akan melawan Jepang. Sementara di laga kedua, Indonesia akan melawan Arab Saudi. Kedua laga tersebut akan berlangsung pada tanggal 15 dan 19 November 2024, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Setiap kali timnas bermain dengan timnas negara lain, saya selalu merasa was-was dan khawatir. Perasaan khawatir itu tidak semata dipicu oleh bayangan Indonesia akan kalah dalam pertandingan itu, melainkan juga karena saya bayangan saya tentang reaksi netizen pasca pertandingan tersebut.
Yang saya amati, selepas pertandingan dengan timnas Indonesia dengan negara lain, kerap terjadi “perang” terbuka antara netizen Idonesia dengan netizen yang timnasnya menjadi melawan timnas kita. Perang itu khususnya terjadi ketika timnas kita bertanding dengan beberapa negara jiran, misalnya Malaysia dan Vietnam. Bahkan, beberapa waktu lalu netizen Indonesia juga sempat menyerang netizen Thailand.
Dan dalam beberapa waktu terakhir, ketika timnas Indonesia berkesempatan untuk menjalani berbagai pertandingan di level Asia dan internasional, perang netizen Indonesia dengan netizen atau entitas lain yang mewakili negara tertentu, jangkauannya juga semakin meluas.
ADVERTISEMENT
Pihak terakhir yang menjadi korban serangan netizen Indonesia adalah wasit yang memimpin pertandingan antara Indonesia dan Bahrain, Ahmed Al-Kaf, yang keputusannya dalam laga tersebut dianggap menguntungkan Bahrain. Bahkan, serangan itu netizen Indonesia itu tidak hanya dialamatkan ke sang wasit, melainkan juga sampai menyasar Federasi Sepak Bola Bahrain. Tim akun media sosial mereka mengaku mendapatkan berbagai ancaman dari netizen Indonesia.
Fenomena demikian menyisakan sebuah pertanyaan, mengapa netizen Indonesia kerap menyerang netizen bangsa lain ketika mereka anggap didzalimi atau dicurangi dalam pertandingan bola itu?Barangkali, ada beberapa negara dengan netizen yang karakternya serupa dengan netizen Indonesia. Mereka marah ketika harga diri bangsanya disinggung atau direndahkan.
Saya berpendapat, kemarahan netizen tersebut terjadi dipengaruhi oleh dua sebab. Sebab yang pertama adalah sebab yang umum, yaitu karakter media sosial. Kemudian, sebab yang kedua adalah karakter nasionalisme masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Media sosial, disamping berbagai kelebihannya, ia juga memfasilitas orang untuk berperilaku agresif. Ketika di media sosial seseorang dapat lebih agresif karena di sana seseorang dapat menyembunyikan identitasnya, sehingga mereka merasa tidak takut dengan resiko dari tindakan yang dilakukan. Dengan kata lain, mereka dapat lari dari tanggung jawab atas tindakannya.
Selain itu, orang juga lebih mungkin melakukan perilaku agresif di media sosial karena hilangnya atribut isyarat sosial dalam interaksi yang berlangsung. Dalam interaksi di media sosial, orang tidak mengandalkan bahasa tubuh, intonasi suara, pandangan mata dan sebagainya, sehingga mereka cenderung menempatkan orang lain tak lebih dari sekedar benda-benda, bukan manusia.
Media sosial yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal juga menjadi pemicu orang bertindak agresif. Orang menganggap orang-orang yang mereka temui di media sosial adalah orang asing, yang tidak berkaitan dengan dirinya, sehingga mereka merasa tidak memiliki keterikatan afektif maupun moral dengan orang-orang tersebut. Karenanya, mereka menjadi lebih cenderung bersikap sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Namun, di luar karakter media sosial tersebut, karakter nasionalisme sebuah bangsa juga turut menentukan yang memfasilitasi perilaku agresif orang-orang di media sosial. Karakter nasionalisme yang diyakini sebagian orang dapat mendukungnya untuk berperilaku agresif pada warga bangsa lain.
Secara umum, nasionalisme sebenarnya memiliki banyak wajah. Sebagian narasi nasionalisme bersifat baik. Nasionalisme jenis tertentu dapat menjadikan warga yang berbeda-beda latar belakang dapat bersatu, merasa senasib sepenanggungan, dekat satu sama lain, dan juga lebih inklusif terhadap orang lain.
Namun, di sisi lain, ada juga nasionalisme yang memiliki sifat atau wajah sebaliknya. Nasionalisme yang cenderung menempatkan bangsanya, bahkan kadang kelompoknya, merasa lebih unggul, lebih baik atau lebih benar dari kelompok atau bangsa lainnya. Di sisi lain, orang yang menganut nasionalisme berbeda atau kelompok di luar bangsanya, lemah, inferior atau salah; sehingga mereka merasa berhak atau merasa benar untuk berperilaku agresif terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
Keyakinan demikian membimbing mereka mendiskriminasi, membully, atau menyerang pihak lain atas nama nasionalisme. Yang menjadi sasaran mereka tidak hanya warga bangsa lain, kadanga juga sesama warga bangsa, yang mereka anggap tidak sejalan dengan visi nasionalis bangsa bersangkutan.
Dan dalam beberapa tahun terakhir, gerakan yang didasari oleh jenis nasionalisme yang ekstrem dan agresif tersebut menguat di beberapa negara. Beberapa peneliti menyebut nasionalisme yang agresif tersebut sebagai nasionalisme sayap kanan atau nasionalisme baru.
Dengan mempertimbangkan kerangka pikir demikian, dari perspektif psikologi kebangsaan, kita dapat memahami mengapa netizen Indonesia yang berperilaku agresif terhadap bangsa lain pada waktu timnas Indonesia bertanding dengan timnas negara lain.
Netizen cenderung berperilaku agresif terhadap bangsa lain karena interaksi tersebut berlansung di media sosial. Media sosial menyebabkan mereka memahami warga bangsa lain sebagai entitas impersonal, bukan manusia. Pada saat yang sama, mereka juga merasa dirinya tidak dikenali, juga tidak harus bertanggung jawab terhadap perilakunya. Ditambah lagi, mereka dapat secara mudah atau tanpa perlu biaya dan usaha untuk melampiaskan perasaan marahnya pada warga bangsa lain tersebut.
ADVERTISEMENT
Bahwa lokus atau media tempat interaksi ini sangat berpengaruh para perilaku agresif warga negara Indonesia dapat kita lihat dengan membandingkan perilaku mereka saat di dunia nyata dan di ruang online. Saat di dunia nyata, bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, baik dan sebagainya. Namun, ketika di media sosial, bangsa Indonesia di kenal sebagai bangsa yang bar-bar. Perbedaan perilaku ini menegaskan bahwa tempat terjadinya perilaku, khususnya media sosial, memfasilitasi perilaku agresif netizen Indonesia tersebut.
Namun, di luar faktor media sosial, narasi nasionalisme yang diyakini oleh masyarakat Indonesia juga mendasari perilaku agresif tersebut. Narasi formal dan yang dominan yang berlaku di Indonesia sebenarnya adalah narasi nasionalisme yang inklusif. Itu tercermin dari semboyan bangsa Indonesia "bhineka tunggal Ika" atau sila kedua pancasila yang berorientasi pada nilai kemanusiaan universal.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, berbagai doktrin tentang nasionalisme sehari-hari kadang mengusung gagasan atau nilai-nilai nasionalisme yang agresif. Dan hal demikian kadang sulit untuk dihindari, mengingat sejarah terbentuknya nasionalisme Indonesia. Sebagai bangsa yang lahir dari perjuangan melawan penjajah, sejarah di Indonesia penuh berisi dengan narasi tentang penjajahan, perlawanan Indonesia terhadap bangsa asing, termasuk peperangan yang berdarah-darah.
Saat mempelajari materi ini, secara tidak sadar kita sebagai bangsa belajar semangat anti asing, Karenanya, kita menjadi cenderung lebih permisif terhadap berbagai perilaku atau sikap anti asing. Selain itu, kita juga banyak belajar bahwa perilaku kekerasan atas nama nasionalisme adalah perilaku yang sah. Gagasan ini kadang beroperasi secara tidak kita sadari saat merespon berbagai hal yang berkaitan dengan bangsa asing.
ADVERTISEMENT
Apalagi, kelompok asing tersebut adalah kelompok yang “meremehkan” harga diri Indonesia. Kita cenderung menganggap sikap atau perilaku serangan yang kita lakukan terhadap entitas asing yang menyinggung harga diri bangsa Indonesia itu sebagai bentuk “perjuangan” atau “perlawanan", bukan tindakan agresif untuk menyakiti. Sementara dari pengamatan objektif, perilaku tersebut merupakan perilaku agresif.
Kemudian, bias cara pandang yang timbul dari konsep nasionalisme yang kita yakini tersebut bertemu dengan media sosial yang dapat mendukung orang berperilaku agresif, ditambah rasa frustasi atau marah karena peristiwa di lapangan sepak bola, maka sempurnalah faktor yang mendukung netizen untuk berperilaku agresif di media sosial.
Dalam situasi kecewa, marah atau frustrasi terhadap apa yang terjadi di lapangan, seseorang yang berada di media sosial akan merasa dirinya terikat dengan Indonesia, sebagai kelompok nasionalnya. Mereka kehilangan identitas personal atau individualnya, dan meleburkan diri dalam identitas kolektif, Mreka tidak lagi berpikir tentang dirinya, namun membayangkan dirinya sebagai bagian dari sebuah kelompok massa yang besar, yaitu bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat mengalami deindividuasi itu, mereka akan bersikap dan berperilaku akan mengikuti nilai-nilai dan norma yang sedang meruap dalam kelompok. Bila kelompok meruapkan nilai-nilai baik, maka orang juga berperilaku baik secara bersama-sama.
Sebaliknya, ketika atmosfer yang berkembang dalam kelompok adalah atmosfer kemarahan, amarah kita juga akan mudah tersulut, dan yang kemudian berkembang adalah kemarahaan kolektif. Sebagai kelompok massa yang anonim dan impersonal, termasuk merasa superior, saat itu orang tidak merasa takut dengan apapun atau siapapun.
Perasaan berani berlebihan, keyakinan bahwa dia tidak harus bertanggung jawab, juga perasaan superior tersebut kemudian orang menjadi lebih mudah tersulut untuk mekakukan tindakan atau perilaku agresif. Perilaku agresif itu diwujudkan alam tindakan lisan, berupa komentar, ujaran kebencian, hinaan, meme, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Menyimak paparan itu, mungkin kita dapat berkaca untuk melihat diri kita sebagai bangsa. Memiliki nasionalisme adalah hal yang baik, pun demikian dengan membela harga diri bangsa. Namun, pembelaan bangsa dengan cara-cara agresif di media sosial juga justru dapat merugikan kita semua.
Perilaku demikian tidak saja dapat merusak citra bangsa di antara bangsa-bangsa yang lain, namun juga dapat menghambat atau menghilangkan banyak peluang hidup yang lebih baik bangsa Indonesia di masa sekarang maupun masa depan. Itu terjadi misalnya, karena bangsa lain tahu periaku “bar-bar” netizen di media sosial, mereka mungkin akan enggan untuk bekerjasama atau memberikan tawaran-tawaran pekerjaan kepada warga negara Indonesia.
Belum lagi ketika kita memikirkan adanya warga negara Indonesia yang bekerja di luar negari hari ini. Perilaku marah dan bar-bar di media sosial mungkin tidak berdampak pada kita yang ada di Indonesia, namun dampaknya bisa dialami atau diterima oleh para TKI yang bekerja di negara-negara asing. Bisa jadi, karena perilaku kita di internet, mereka rentan untuk mendapakan persekusi atau diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sangat penting kiranya bagi kita untuk bersikap santun dan ramah ketika berinteraksi dengan bangsa lain di media sosial, sebagaimana yang kita tunjukan ketika kita berinteraksi dengan bangsa lain di dunia nyata. Baik bila kemarahan dan kekecewaan kita kepada pihak-pihak lain tersebut diekspresikan dengkan cara-cara yang lebih kreatif, kritis, dan tetap berada pada koridor-koridor nilai serta norma sosial kemanusiaan universal. Demi kita semua, bangsa Indonesia.
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas