Konten dari Pengguna

Mengapa Sepakbola Asia Masih Sulit Bersaing di Piala Dunia?

Sasongko Dwi Saputro
Mahasiswa tingkat akhir Universitas Gadjah Mada, penggemar sepakbola, Barisan Sepertiga Malam buat nonton bola
15 Maret 2021 13:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sasongko Dwi Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sepinya Piala Asia jadi gambaran kecil jauhnya ketertinggalan sepakbola Asia dengan Eropa dan Amerika Latin
zoom-in-whitePerbesar
Sepinya Piala Asia jadi gambaran kecil jauhnya ketertinggalan sepakbola Asia dengan Eropa dan Amerika Latin
ADVERTISEMENT
China punya target 2050, Jepang punya Rencana 100 Tahun, sedangkan Korea Selatan masih konsisten mengirimkan pemain-pemain terbaiknya, semuanya demi merengkuh pencapaian tertinggi sepakbola dunia, menjadi juara piala dunia antar negara.
ADVERTISEMENT
Mimpi boleh saja bagi negara-negara seperti mereka, namun perjalanan untuk sampai ke sana butuh kerja lebih keras dari kompetitornya dari Eropa, bahkan Amerika Latin sekalipun. Ada beberapa alasan, mengapa negara-negara Asia masih kesulitan bersaing di ajang Piala Dunia
1. Mindset dan Mentalitas Manut ala Asia
Budaya membungkuk bangsa Jepang
Poin ini harusnya mendapat pembahasan yang sangat mendalam, bahkan bisa mencapai tiga hari tiga malam untuk menyelesaikannya. Mindset pemegang otoritas dan publik sepakbola di Asia masih mengutamakan hasil pertandingan secara instan daripada proses secara terstruktur dan berjenjang, seperti di Eropa. Lihat saja, bagaimana mayoritas publik di Asia, khususnya Asia Tenggara merespons hadirnya kejuaraan kelompok umur level benua begitu heboh, melebihi kejuaraan dunia.
Belum lagi, budaya feodal dan senioritas yang melekat dalam mentalitas benua Asia, juga menjangkiti dunia sepakbolanya. Budaya manut, nrimo, samurai, dan segala macam turunannya adalah penghalang utama menuju kesuksesan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Mengapa? Karena hal tersebut menghilangkan esensi pertandingan sepakbola sebagai olahraga yang menghormati kesetaraan dan takut untuk mengimprovisasi pertandingan yang bisa jadi pembeda di sebuah pertandingan penting.
Guus Hiddink waktu mengambil alih tim nasional Korea Selatan untuk kejuaraan Piala Dunia 2002 benar-benar fokus untuk menghilangkan jarak antara pemain senior dengan pemain baru seperti Park Ji-Sung, sehingga dapat melaju hingga ke babak semifinal untuk kali pertama.
Meski kesuksesan telah berhasil direngkuh, penulis masih menemukan bahwa Liga Jepang, Liga Korea, dan liga-liga lain di Asia, terkenal begitu kaku dengan permainan, jarang sekali improvisasi terjadi dalam satu pertandingan tertentu di liga.
Jalannya pertandingan murni diangkat oleh para pemain asing di dalamnya, yang kebanyakan datang dari negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur.
ADVERTISEMENT
2. Investasi : Kurang Sayang Negara Sendiri
Syech Mansour merupakan salah satu dari sekian banyak miliarder di Asia yang terkenal melalui investasinya di liga-liga top Eropa
Hanya sedikit dari negara-negara di Asia yang memperhatikan aspek investasi jangka panjang dalam konteks pengembangan sepakbolanya. Pembinaan kebanyakan hanya ditujukan untuk mencari hasil kemenangan, bukan pada proses pengembangan kematangan skill individu.
Memang hari ini, para pengusaha Asia membanjiri papan iklan klub-klub besar di liga-liga top atau menjadi pemilik klub itu sendiri, namun kekurangannya adalah investasi tersebut justru tidak terasa di negaranya sendiri, bahkan di China sendiri, liga mereka yang dikenal sebagai liga termewah di Asia, harus memikirkan ulang skema penggajian pemain-pemain mewah mereka akibat pandemi Covid-19, belum bisa memikirkan aspek-aspek lain seperti pembinaan dan pemasaran klub secara global.
Negara-negara Eropa dan Amerika Utara sudah melangkah jauh tentang investasi yang terstruktur untuk pengembangan sepakbola mereka dalam jangka panjang, sedangkan di Asia masih dalam kecepatan yang lambat dan belum terlihat secara signifikan.
ADVERTISEMENT
3. Kurangnya Kepemimpinan
Jesse Marchs, sang Julian Nagelsmann nya Amerika Serikat, sosok penting dibalik revolusi taktik di Amerika Serikat
Jika di Amerika Latin, kita menemukan sosok Marcelo Bielsa yang mendobrak tatanan taktik persepakbolaan dunia atau Rinus Michels yang menemukan taktik Total Football. Asia? Tidak ada sama sekali, selain merelakan dirinya untuk tertinggal jauh secara taktik dengan benua tetangganya, seperti Amerika Serikat yang kini memunculkan nama-nama pelatih jempolan seperti Pelegrino Matarazzo (VfB Stuttgart) dan Jesse Merch (RB Salzburg) yang mengedepankan skema high-pressing.
Tim-tim nasional di Asia secara realita masih tergantung dengan para pelatih asing, lihat saja nama-nama seperti Paulo Bento (Korea Selatan), Felix Sanches Bas (Qatar), Bert Van Marwijk (UEA), Dragan Skocic (Iran). Belum ada inovasi berarti di negara-negara Asia soal taktik dan gaya kepemimpinan dari para pelatih hasil didikan mereka.
ADVERTISEMENT
4. Kurangnya Kualitas Kompetisi
Suasana sepi Piala Asia 2019
Kompetisi sepakbola antar negara maupun antar klub di Asia masih kurang bersaing dibanding Liga Champions Eropa atau Copa Libertadores di Amerika Latin. Kompetisi AFC Champions League sejak 2008 masih didominasi tim dari zona timur, yaitu Jepang, China, dan Korea Selatan dan baru dua kali tim zona barat menguasai kompetisi antar klub tersebut, yaitu Al-Sadd dan Al-Hilal.
Di sisi lain, kompetisi antar negaranya yaitu AFC Asian Cup juga jarang sekali dihadiri penonton, sehingga atmosfer kompetisinya sangat kurang dibandingkan Copa America dan EURO Cup, memang faktor jarak bisa jadi salah satu penghambat, namun kurangnya penonton membuat kompetisi Piala Asia menjadi kompetisi kasta ketiga dibandingkan kompetisi antar negara yang lain.
Gelar juara Urawa Reds pada musim 2017 menegaskan dominasi tim-tim Asia Timur di kejuaraan AFC Champions League
Selain itu, tim-tim Asia terlihat tidak terlalu berani dalam mengembangkan pertandingan menjadi lebih menarik. Tim-tim timur tengah umumnya menyukai bola-bola udara atau situasi bola mati, sedangkan tim Asia Timur, sedikit lebih baik, namun tampil sangat kaku secara taktikal. Kemenangan tim-tim Asia lebih didorong oleh faktor mentalitas semata, alih-alih kualitas pemain dan kematangan taktikal di atas lapangan.
ADVERTISEMENT
**Sasongko Dwi Saputro, mahasiswa tingkat akhir di Universitas Gadjah Mada, penggemar Manchester United dan pengamat sepakbola Asia
Timnas Indonesia U-23 saat menghadapi Tira Persikabo dalam laga uji coba di Stadion Madya, Kompleks SUGBK, Jakarta, Jumat (5/3). Foto: Dok. PSSI