Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melindungi Penyintas Anti-Korupsi!
21 Januari 2022 14:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Satria Unggul Wicaksana Prakasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena pelaporan Gibran dan Kaesang ke KPK-RI terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terhadap relasi bisnis yang diduga terlibat dalam kegiatan pembakaran hutan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pelaporan yang dilakukan oleh Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Laporannya telah disampaikan pada Unit Pengaduan Masyarakat di KPK (Kumparan, 2022 ).
Pada keterangannya, Ubedillah telah menemukan relasi antara perusahaan PT.BMH yang dimiliki grup bisnis PT. SM yang terjerat kasus kebakaran hutan namun tidak jelas penannganannya.
Selain itu, perusahaan pembakar hutan tersebut mengucurkan investasi pada perusahaan yang dimiliki Kaesang dan Gibran. Sehingga, terjadi benturan kepentingan pada bisnis yang dilakukan dua anak presiden tersebut.
Buntut dari pelaporan tersebut, Ubedillah mendapatkan ancaman dan intimidasi, Ubedillah Badrun, pada sisi positif memberikan pesan bahwa praktik persamaan dihadapan hukum harus dijalankan.
Pada sisi yang lain, banyak yang menyayangkan pelaporan tersebut, bahkan dengan upaya serangan balik, mulai dari doxing hingga pelaporan pidana. Pelaporan dilakukan oleh Relawan Jokowi Mania (Jokoman), pada Polda Metro Jaya, Jumat (Kumparan, 2022 ).
ADVERTISEMENT
Melalui dasar Pasal 317 KUHP tentang fitnah/pencemaran nama baik, alasan pelaporan tersebut, bahwa seorang ASN seperti Ubedillah Badrun dianggap hanya buat gaduh ngara dan melakukan pembunuhan karakter.
Dianggap belum memiliki alat bukti dan alasan yang luas. Selain pelaporan pada Polda Metro Jaya, rencananya Ubedillah juga akan dilaporkan pada Komisi ASN (KASN) atas pelanggaran etik yang dilakukan
Peristiwa yang dialami oleh Dosen yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana korupsi dan berujung penuntutan hukum bukan pertama kalinya terjadi.
Beberapa kali dosen seperti, Prof.Bambang Hero, Basuki Wasis, Saiful Mahdi, dan berbagai dosen penyintas anti-korupsi, dilaporkan oleh orang tidak bertanggung jawab.
Bahkan acapkali mendapat serangan, ancaman, dan bahkan proses pendisiplinan yang semua jelas memberikan tekanan dan represif pada akademis penyintas korupsi.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, perlu diketahui, perihal tanggung jawab moral akademisi anti-korupsi, perlindungan hukumnya, serta upayanya dalam mewujudkan proses kenegaraan yang bebas dari KKN.
Tren Serangan dan Ancaman
KPK dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi tentu tidak akan lepas dan berkolaborasi dengan akademisi. Berbagai kajian strategis KPK terhadap isu-isu tertentu, butuh hasil riset dari akademisi anti-korupsi, semisal pada kasus korupsi SDA maupun korupsi Karhutla .
Pada 2016, setelah mendorong berbagai macam pusat-kajian anti-korupsi berdiri di seluruh Indonesia diadakan ACS ke-2 dan ACS-3 pada 2018 di Universitas Hasanudin, Makassar, ACS 4 tahun 2020 di Universitas Andalas, Padang (ACCH KPK-RI, 2020 ).
Rumusan pengembangan kerja pemberantasan korupsi selain berbasis kampus, dewasa ini juga lebih meluas berbasis masyarakat sipil. Bagi Johann Graf Labsdorff (2017: 27-28), akademisi anti-korupsi merupakan pejuang terhadap nilai integritas, memperkuat kontrol dalam berbagai macam sektor rawan praktik korupsi.
ADVERTISEMENT
Maka, perlu didorong upaya perlindungan secara menyeluruh terhadap kebebasan akademik yang dilakukan oleh akademisi anti-korupsi.
Perkuat kapasaitas melalui riset yang telah dibuat akademisi anti-korupsi, karena hal tersebut merupakan kontrol untuk menanggulangi praktik tindak pidana korupsi.
Perlindungan Akademisi Anti-Korupsi
Ruang masyarakat sipil anti-korupsi sebagai garda terdepan dalam agenda pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, hal tersebut telah dituangkan dalam Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Termasuk, bagi masyarakat anti-korupsi dalam sektor SDA mendapatkan privilege & immunities yang dijamin dalam undang-undang, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup menyatakan
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
ADVERTISEMENT
Apalagi, mekanisme pelaporan KPK WhistleBlower’s System (KWS), yang memberikan akses secara daring bagi masyarakat sipil untuk melaporkan praktik koruptif disekitarnya serta bersifat anonim.
Hal ini menjamin hadirnya keamanan dan kerahasiaan data masyarakat sipil. Namun, tidak menutup kemungkinan diketahuinya identitas pelapor karena jaringan preman dan mafia yang terorganisir dan mampu digerakkan koruptor beserta kroninya.
Potens represif dengan mudahnya masyarakat sipil yang menjadi saksi dan/atau memiliki fakta-fakta hukum untuk mengungkap berbagai macam modus operandi koruptif yang dilakukan oleh pejabat publik, pengusaha, maupun aparat penegak hukum
Tentu, dalam kondisi ini posisi penyintas anti-korupsi seperti Ubedillah Badrun amatlah rentan. Padahal partisipasi mereka, baik langsung maupun tidak langsung dengan serangkaian kerja pemberdayaan.
Partisipasi masyarakat sipil, dan mengawal berbagai macam praktik tindakan koruptif yang dilakukan baik pejabat publik maupun pengusaha, mengawal jalannya kebijakan dengan nilai anti-korupsi.
ADVERTISEMENT
Sehingga peran penyintas anti-korupsi sangat berpengaruh dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi serta mengawal jalannya pembangunan dengan transparan dan akuntabel (Serena Verdeniccil & Dan Hough, 2015: 20-21).
Terakhir, penyintas anti-korupsi seperti Ubedillah Badrun merupakan orang-orang luar biasa yang meletakkan kepentingan keselamatan dan keamanan pribadi untuk mengawal pengungkapan kasus korupsi yang terjadi dan menghentikan berbagai praktik impunitas yang terjadi.
Hal tersebut perlu disambut baik, untuk melindungi dan menjamin keamanan dari serangan baik fisik, psikis, bahkan teror melalui gugatan hukum dan kriminalisir.
Karena terjadi kekosongan hukum atas perlindungan penyintas anti-korupsi. Perundang-undangan serta badan yang ada kurang maksimal dalam perlindungan bagi penyintas anti-korupsi.
Sehingga, tidak lagi upaya kriminalisasi bagi penyintas anti-korupsi seperti Ubedillah Badrun, dan mereka dapat berdiri didepan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia
ADVERTISEMENT