Konten dari Pengguna

Siswa Tunanetra Membangun Bisnis Keripik di SKHIT Yarfin

Satriyo Budi Utomo
Saat ini bekerja di Sekolah Khusus Islam Terpadu Yarvin sebagai guru matematika dan musik Kuliah di universitas Pamulang Tangerang Selatan jurusan pendidikan ekonomi.
13 Februari 2025 11:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satriyo Budi Utomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siswa siswi tunanetra membuat kripik. Sumber: Foto Satriyo
zoom-in-whitePerbesar
Siswa siswi tunanetra membuat kripik. Sumber: Foto Satriyo
ADVERTISEMENT
Sabtu pagi di halaman Sekolah Khusus Islam Terpadu (SKHIT) Yarfin terasa berbeda. Sekelompok siswa dan guru sibuk mengolah pisang menjadi kripik. Yang menarik, semua kegiatan ini dilakukan oleh siswa tunanetra. Tanpa penglihatan, mereka mengupas, memotong, menggoreng, dan mengemas kripik dengan penuh semangat. Ini adalah bagian dari proyek P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), yang bertujuan melatih kemandirian dan keterampilan bisnis siswa.
ADVERTISEMENT
Sekolah Khusus Islam Terpadu Yarfin atau disingkat SKHIT Yarfin yang telah berdiri sejak 2018, adalah sebuah Lembaga Pendidikan dibawah naungan Yayasan Raudatul Makfufin. Berlokasi di Jl. Masjid Al Latif, RT 04 RW 02, Kademangan, Kec. Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten. Lembaga yang memfokuskan diri untuk Pendidikan para penyandang disabilitas netra itu selalu berupaya untuk melakukan inovasi demi mengembangkan kreativitas peserta didiknya. Dan untuk tahun ini, proyek yang dipilih untuk program P5 adalah membuat aneka kripik.
Menurut Agus Sulaiman, salah seorang guru penanggungjawab P5 mengungkapkan bahwa tujuan pemilihan pembuatan aneka kripik adalah selain menambah wawasan, juga mengenalkan peserta didik dengan dunia bisnis. “Awalnya mereka diajarkan teori berbagai resep aneka kripik. Setelah tahu teorinya, mereka lalu dibimbing untuk praktek langsung. Mulai dari persiapan, pengolahan, sampai pengemasan.”
ADVERTISEMENT
Setiap kelompok melakukan tugasnya dengan sistematis. Mulai dari tim A yang bertugas mengupas, memotong, dan memarut. Setiap anggota telah mengetahui tugasnya masing-masing. Peralatan yang digunakan tak beda dengan peralatan pada umumnya. Mulai dari baskom, pisau, hingga parutan. Semuanya tanpa modifikasi. Begitu juga dengan teknik pengerjaannya.
Setelah pisang diparut hingga bentuk dan ketebalannya cukup, hasil parutan diserahkan ke tim B yang bertugas menggorengnya. Tak ada teknik khusus untuk melakukan tugas tersebut. Pisang dimasukkan ke dalam minyak panas, digoreng beberapa menit. Masukan bumbu, lalu digoreng lagi hingga benar-benar matang dan garing. Setelah selesai, hasil gorengan tersebut diangkat, ditiriskan, dan dimasukan ke wadah yang langsung dikirim ke tim C. Tim C yang bertugas mengemas, tidak langsung memasukan kripik ke dalam plastik kemasan yang telah disediakan. Mereka menunggu hingga suhu kripik mendingin dan minyak benar-benar luntur. Tujuannya agar kripik tidak melempem dan basah. Setelah dirasa benar-benar kering, barulah kripik dimasukan ke plastik dengan ukuran yang telah ditentukan. Begitulah hingga produk siap dipasarkan.
ADVERTISEMENT
Berbicara produk, mereka melabeli hasil produksinya itu dengan nama Krip-In. Nama tersebut banyak mengandung arti. Bisa diasosiasikan dengan dengan “Kripik Yarfin”, “kripik Indonesia”, atau “kripik yang sedang In. Kuantitas produk yang dihasilkan memang belum bisa dibilang banyak. Hal ini karena fokus utamanya adalah belajar. Bukan untuk mengejar profit atau keuntungan. Tapi jangan salah, bukan berarti kualitas tidak dijaga. Hal ini bisa dibuktikan dari komentar para pembeli yang sudah merasakannya.
“Rasanya enak, tapi coba bikin kripik yang rasanya lebih bervariasi lagi.”
“kalau bisa buat juga kripik yang lain. Seperti tempe, sinkong, atau kentang.”
Hasil dari penjualan akan Kembali diputar untuk modal pada produksi berikutnya. Harga jual akan ditentukan dengan memperhitungkan biaya produksi. dari sanalah para peserta didik belajar bagaimana caranya berbisnis, mengelola keuangan, hingga pemasaran.
ADVERTISEMENT
Para peserta didik di SKHIT Yarfin memang diajarkan sedemikian rupa untuk mandiri. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan mereka di masyarakat. Berkiprah dan berkarya sesuai dengan bakat dan minatnya. Seperti yang diungkapkan ketua Yayasan Raudatul Makfufin, Bapak Ade Ismail S.Pd.
“Meskipun kami tunanetra, bukan berarti kami tidak bisa apa-apa. Keterbatasan bukan penghalang untuk meraih prestasi gemilang. Jika cahaya tak dapat dilihat, bukan berarti cahaya itu tidak ada. Dari filosofi itulah moto kami berasal. Tiada mata, tak hilang cahaya.”