Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Post Truth (adalah) Kacamata Kuda di Era Digital
7 Juli 2019 0:02 WIB
Diperbarui 8 Desember 2019 17:08 WIB
Tulisan dari Satto Raji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya sudah sering mendengar istilah post truth, namun baru bisa mencermati maknanyaledih dalam saat hadir di acara Pelatihan literasi Informasi Bagi Generasi Milenial, DITJEN BIMAS Islam Kementerian Agama.
ADVERTISEMENT
Dan saya pun jadi mempunyai opini bahwa post truth merupakan bentuk baru dari kacamata kuda. Yaitu seseorang yang hanya melihat kesatu sudut pandang saja, padahal di sekelilingnya ada fakta-fakta yang lebih valid.
Post Truth secara sederhana adalah, sebuah kebenaran yang di dasari oleh perasaan pribadi, kebenaran yang hadir karena opini publik yang dibentuk. Bukan kebenaran yang berdasarkan fakta-fakta obyektif.
Kalau kita perhatikan dan sebentar saja melihat ke sosial media kita masing-masing, maka tidak butuh waktu lama untuk menemukan banyak gejala Post Truth.
Kebenaran di era post truth lebih mudah di “makan” oleh warganet kalau kontennya berbentuk negatif dan menyerang salah satu pihak.
Walau pun beberapa waktu kemudian pihak yang diserang sudah memberikan konfirmasi dengan data-data obyektif, hal ini tidak akan merubah pandangan para warganet yang sudah “termakan” kebenaran era post truth.
ADVERTISEMENT
Celakanya, pihak yang dirugikan bisa kena kesiapa saja, tidak hanya pihak terkait yang sengaja diserang oleh orang lain, tapi pihak yang tidak bersinggungan langsung pun bisa terkena dampak negatifnya.
Contoh kasus nyata era post truth yang merugikan pihak yang tidak bersinggungan langsung dengan sebuah kasus, salah satunya mengenai terjemahan surat Al-Maidah.
Di Pelatihan literasi Informasi Bagi Generasi Milenial, hadir seorang perwakilan dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. Sebuah Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Kurang lebih beliau bercerita, saat pilkada DKI, ada terjemahan surat Al-Maidah yang dihubung-hubungkan karena tafsirannya kata Awliya yang (seakan-akan) mendukung salah satu calon.
ADVERTISEMENT
Informasi ini terus di “goreng” seakan-akan adalah upaya untuk membela satu calon. Sehingga banyak masyarakat yang percaya dan dampaknya adalah, banyak penerbit Al-Quran merugi karena harus menarik peredaran Al-quran tersebut.
Tidak terhitung jumlah kerugian dari para penerbit bahkan ada yang sampai harus gulung tikar.
Faktanya adalah, tafsiran Al-Quran yang dipermasalahkan sudah ada sejak tahun 2002, arti sudah ada 15 tahun yang lalu, tapi isu ini diangkat pada tahun 2017 untuk meresahkan masyarakat.
Kata Awliya di tafsiran 2002, memang mempunyai beberapa makna tergantung konteksnya. Bisa ditafsirkan, sebagai pemimpin, teman setia, pelindung bahkan bisa diartikan sebagai teman-teman.
Walau Kementerian Agama sudah mengklarifikasi, masih saja ada yang menyebar informasi sesat dengan menyebutnya Al-Quran palsu.
ADVERTISEMENT
Kekurangan kita memang mudah melihat teks tanpa melihat konteksnya.
Di acara pelatihan itupun ada diskusi menarik mengenai berita hoax itu berita bohong atau berita yang salah?
Opini saya adalah, berita salah belum tentu berita bohong (hoaks) Tapi kalau berita bohong sudah pasti itu hoaks dan salah.
Kondisi yang memprihatinkan saat ini adalah berita salah yang sudah diklarifikasi pihak terkait, lalu dibesar-besarkan sehingga merisaukan.
Timbulah hoaks, dan hoaks yang disampaikan ribuan kali maka berpotensi dianggap menjadi kebenaran oleh sebagian pihak yang tingkat literasinya rendah.
Jadi saya makin yakin kalau berita hoax adalah berita bohong bukan berita salah.
Lalu bagaimana kita mengecek sebuah informasi yang baru kita dapat? Apa yang harus kita lakukan? Mungkin 5 hal ini bisa menjadi panduan, agar kita tidak ikut menyebarkan hoaks.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Yesss cukup sampai dikita saja, tidak usah dishare dengan dalil pura-pura nanya, apakah informasi ini bener atau tidak. Pura-pura lugu, ujung-ujungnya ikutan menyebarkan hoaks.
Pelatihan literasi informasi bagi generasi milenial milenial selain di hadiri (tak terduga) oleh Menteri Agama Bpk. Lukman Hakim Saifuddin, juga di hadiri oleh para staf ahli Menag, direktur bimas Islam bpk. Muhammadiyah Amin, perwakilan Dewan Pers, Cyber Crime Polri dan staf ahli Kementerian Agama prof Oman Fathurahman.
Sesi terakhir yang diisi oleh prof Oman Fathurahman seorang guru besar Filologi di UIN Syarif Hidayatullah, membuat mata saya berbinar-binar. Karena beliau berbicara mengenai naskah tua atau manuskrip yang ada di Indonesia dan bagaimana kita menggali sebuah informasi yang valid.
ADVERTISEMENT
Saya sempat bertanya ke pada Kang Oman (beliau suka dipanggil seperti ini), sejauh mana kita harus memverifikasi sebuah informasi? Di jawab oleh kang Oman dengan analogi sederhana mengenai busur dan anak panah
Saat kita memanah dan menarik tali busurnya tidak terlalu kuat sampai kebelakang lalu kita lepaskan, apa yang terjadi dengan anak panah yang terlepas dari busurnya?
Pertama anak panah tidak menancap kuat disasaran, atau bahkan anak panah tersebut tidak sampai ke sasaran.
Tapi apa yang terjadi pada anak panah, kalau kita menarik busurnya semaksimal mungkin sampai jauh kebelakang dan baru kita lepaskan? Maka anak panah itu akan melesat cukup jauh dan akan menancap kuat di sasaran, yang bahkan saat dicabutpun akan sangat sulit.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, sebuah informasi dangkal yang kita sebarkan akan mudah sekali dipatahkan oleh orang lain. Tapi kalau kita melakukan riset, verifikasi data yang dalam, sampai sedalam-dalamnya, maka informasi tersebut akan susah dipatahkan dan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas.