Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Diplomat Diajari oleh Siswa SMP Atambua
22 Agustus 2018 0:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Saud Ringo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sewaktu mendengar bahwa para peserta diklat Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) angkatan Ke-61, Kementerian Luar Negeri RI akan ditugaskan ke Belu, NTT, penulis mensyukuri hal ini.
ADVERTISEMENT
Pengalaman penulis yang pernah 13 tahun tinggal di ‘pinggiran’ Indonesia di Kendari, Sulawesi Tenggara, memberikan antusiasme tersendiri menyongsong tibanya hari kunjungan ke wilayah tersebut. Bagi orang yang pernah tinggal jauh dari pusat pembangunan di Pulau Jawa tentu akan sangat memahami bagaimana ketimpangan pembangunan terjadi di masa Orde Baru.
(Foto: Lapangan upacara SMPN 1 Atambua - Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Dalam kunjungan ke Belu, sekolah yang akan kami tuju adalah SMPN 1 Atambua, sebuah sekolah yang cukup sederhana namun tergolong baik jika dibandingkan dengan kualitas sekolah negeri lainnya yang kurang beruntung di NTT.
Antusiasme yang Menular
Sejak kami memasuki kelas 9B di SMPN 1 Atambua, kami disambut dengan antusiasme dan semangat belajar dari para siswa. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya bagaimana pengalaman kami hidup di luar negeri dan apa saja tugas yang kami lakukan. Ini kami tuturkan satu persatu.
ADVERTISEMENT
Tugas diplomat setidaknya ada lima, menurut Vienna Convention 1961 yaitu representing (mewakili), protecting (melindungi), negotiating (bernegosiasi), reporting (melaporkan) dan promoting friendly relations (mempromosikan hubungan baik). Ini sebenarnya ada dalam laku keseharian para siswa SMP, demikian kami sampaikan.
(Foto: Peserta Sesdilu 61 yang mengajar di SMPN 1 Atambua - Sumber: UPT Sesdilu)
Kami ilustrasikan tugas mewakili tercermin dalam keikutsertaan siswa dalam lomba antarkelas, sedangkan fungsi reporting kami gambarkan sebagai upaya menceritakan suatu kejadian kepada teman. Fungsi negosiasi pengejawantahannya adalah jual-beli di pasar di mana terjadi tarik-ulur, tawar menawar. Untuk dua fungsi lainnya kami gambarkan sebagai upaya menjalin persahabatan, dan upaya melindungi sahabat jika ada hal tidak baik terjadi.
Satu hal yang cukup membuat kami terkejut adalah kecepatan mereka memahami berbagai hal yang kami sampaikan serta level pemahaman anak-anak terhadap berbagai isu yang terjadi di sekitar mereka. Salah satu siswa menanyakan mendetail mengenai fungsi perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) utamanya yang mendapat perlakuan tidak baik di luar negeri.
(Foto: Penulis pada saat mengajar di SMP Atambua - Sumber: Dokumentasi Nefertiti)
ADVERTISEMENT
Dari diskusi, kami ketahui bahwa cukup banyak anggota kelas yang memiliki keluarga dekat maupun jauh yang menjadi PMI. Isu ini menjadi isu masyarakat.
Sebagai informasi, NTT adalah salah satu wilayah penyumbang PMI meskipun jumlahnya tidak sebanyak wilayah lain di Jawa Barat atau Jawa Timur. Saat ini terdapat sekitar 4.000 PMI asal NTT tercatat bekerja di luar negeri oleh Dinas Ketenagakerjaan Pemprov NTT.
Selain itu, ketika kami tanyakan, hampir semua siswa bersemangat mengaku ingin pergi ke luar negeri. Tidak sedikit yang menyebutkan ingin ke Seoul, Korea Selatan karena tertarik dengan K-Pop. Kami sampaikan kepada mereka bahwa derasnya laju K-Pop tidak terlepas dari peran diplomasi. Ini terkait dengan promosi gencar yang dilakukan pemerintah Korsel hingga menimbulkan gelombang Korea (Hallyu).
ADVERTISEMENT
Menjadi diplomat juga berarti memiliki peluang melakukan hal serupa terkait budaya kita, ini yang kami tekankan. Tenun NTT dan ragam produk budaya lainnya memiliki potensi besar di dunia. Ini masih terus kita genjot promosinya.
Di akhir kelas kami bertanya, siapa di antara siswa yang ingin jadi diplomat. Hampir seluruh siswa mengangkat tangannya.
Pelajaran yang Dipetik
Pengalaman mengajar anak-anak di Belu memberikan inspirasi secara pribadi bagi penulis.
Penulis seakan mendapat tamparan karena sering kali take for granted semua fasilitas dan kemewahan yang dinikmati sebagai penduduk wilayah Jakarta, provinsi paling maju di Indonesia. Ini pun masih banyak mengeluh, sangat kontras dengan adik-adik di Belu. Mereka tetap bersemangat meskipun di tengah keterbatasan yang ada.
(Foto: Penulis bersama siswa kelas 9B, SMPN 1 Atambua - Sumber: Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Pelajaran lainnya adalah bahwa mimpi adalah awal mula dari perubahan. Bagian terbaik dari ini adalah mimpi itu gratis dan ia akan membuka kotak imajinasi yang akan membawa kita ke mana saja.
Teringat akan kisah Ellon Musk yang selepas menjual PayPall berangan-angan mewujudkan mimpi masa kecilnya terkait penjelajahan ruang angkasa. Ini Ia wujudkan dengan membangun SpaceX dari dasar yang saat ini dikenal sebagai salah satu pabrikan pesawat ruang angkasa yang terdepan dalam teknologi. Mimpi ini menghantarkan Ellon Musk kecil dari sebuah kota di Afrika Selatan menjadi salah satu pemikir dan tokoh terkemuka di bidang teknologi dan industri dunia.
ADVERTISEMENT
Kadang kita menjalankan segala sesuatunya hanya berdasarkan rutinitas semata, kita lupa bermimpi, kita lupa mimpi kita. Sering kali arah tujuan terkaburkan oleh kepadatan kegiatan sehari-hari. Jiwa kita kosong, seakan menjadi robot yang diperintah atas sistem dan repetitif.
Ini hanya segelintir saja pengalaman kami di NTT, di luar ini kami melihat bagaimana masyarakat kota Atambua, Belu, merupakan masyarakat yang tangguh. Tuhan karuniakan kepada mereka alam yang tandus dan sulit, namun mereka tidak menyerah.
Dalam perjalanan kami temui banyak penduduk yang terus berupaya memaksimalkan bercocok tanam dan berusaha lainnya terlepas dari situasi kekeringan yang cukup mengkhawatirkan. Meskipun daerah ini terlihat tandus, namun orang-orang yang kami temui di Belu ini sangat murah senyum dan ramah.
ADVERTISEMENT
Dari kesemuanya ini kami semakin yakin bahwa bukan kami yang menginspirasi anak-anak dan masyarakat Belu, tetapi kami, peserta Sesdilu yang terinspirasi oleh mereka. Kami terdorong untuk menjadi diplomat yang lebih baik lagi, utamanya dalam mengawal kepentingan nasional demi kebaikan masyarakat.
(Foto: Penulis wefie bersama para murid kelas 9B, SMP Atambua - Sumber: Dokumentasi Nefertiti)
Tidak lupa kami catat dalam hati untuk mencari berbagai peluang yang bisa didapatkan di ranah internasional guna turut menolong pengembangan wilayah NTT dan juga berbagai wilayah perbatasan RI lainnya agar anak-anak di sana dapat memiliki hidup yang lebih baik.
Memang benar adanya, pelajaran hidup itu bisa datang dari mana saja, termasuk dari kawasan perbatasan Indonesia dengan Timor Leste di Belu. Untuk itu kami sungguh berterima kasih.
ADVERTISEMENT