Konten dari Pengguna

Tiktok, Aktivisme Digital, dan Tren Mencari Keadilan dalam Kasus Bima dan Husein

Maulida
Alumni Kajian Budaya dan Media UGM. Penulis dan peneliti, tinggal di Rote Ndao, NTT.
7 Juni 2023 14:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi TikTok. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi TikTok. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu terakhir, media banyak memberitakan kisah Bima, seorang mahasiswa asal Lampung yang tinggal di Australia, yang mengkritik rusaknya infrastruktur tempat asalnya. Bima mengunggah kritikannya dalam bentuk presentasi yang ia jelaskan melalui Tiktok. Video tersebut lalu viral dan ditonton sampai 27 juta kali di Tiktok.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, dampak dari viralnya video tersebut membuat banyak pengguna Tiktok lainnya silih berganti mengunggah kritik dan cerita mereka seputar Lampung melalui kanal Tiktok mereka masing-masing. Buntut dari viralnya video tersebut bahkan membuat pemerintah Lampung sedikit gerah sehingga perlu mendatangi orang tua Bima di Lampung dengan tujuan mengklarifikasi perbuatan anaknya.
Puncak dari kritikan Bima atau warganet menyebutnya sebagai “Bima Effect” tersebut, membuat Presiden turun tangan dan turut mengambil alih perbaikan jalan-jalan Lampung yang rusak dan banyak dipertontonkan di Tiktok tersebut.
Lain Bima, lain pula Husein. Husein Ali Rafsanjani adalah seorang guru muda di Pangandaran, Jawa Barat. Video Tiktoknya menjadi viral setelah ia menceritakan kejanggalan yang dialaminya saat menjalani masa sebagai CPNS atau Calon Pegawai Negeri Sipil.
ADVERTISEMENT
Dugaan adanya pungutan liar terjadi saat ia akan menjalani latsar (Latihan dasar) CPNS. Atas kasus tersebut, ia lalu mempertanyakan hal tersebut dan mengunggah keluhannya pada website lapor.go.id.
Buntut dari laporannya tersebut membuat Husein dipanggil pihak BKSDM (Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Pangandaran, untuk dimintai keterangan perihal laporannya tersebut.
Tidak berhenti sampai disana, menurut pengakuan Husein, pihak BKSDM juga meminta dirinya menurunkan laporan yang telah dibuat Guru Seni dan Budaya tersebut pada website lapor.go.id.
Pihak BKSDM sampai mendatangi sekolah tempat Husein mengajar. Oleh karena takut menyinggung dan membuat tidak nyaman warga sekolah lainnya, Husein lalu memutuskan mengundurkan diri dari ASN Pangandaran.
Keluh kesah Husein tersebut diunggahnya melalui Tiktok dan telah diputar sebanyak 2 juta kali.
ADVERTISEMENT
Gayung bersambut, keluhan dalam video Husein lalu banyak direspon publik sampai para petinggi di Jawa Barat mulai dari Bupati Pangandaran sampai Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Para petinggi tersebut mengundang Husein untuk membicarakan permasalahan yang dialaminya. Tak hanya itu, Ridwan Kamil bahkan sampai menawarkan Husein untuk tetap menjadi Guru ASN, namun berpindah pada jenjang SMA di Bandung.
Dari fenomena viralnya video Bima dan Husein dapat dilihat bagaimana Tiktok menjadi salah satu media yang efektif dalam melakukan aktivisme digital. Tidak hanya itu, Tiktok bahkan menjadi tren para warganet untuk mencari keadilan.
Lalu bagaimana TikTok menjadi media aktivisme digital yang mampu menggiring perubahan?

Tiktok sebagai Alat Penggerak dan Pencari Keadilan

Ilustrasi TikTok. Foto: Shutterstock
Tiktok, sebuah platform berbagi video yang berasal dari Tiongkok, telah menjadi pusat viralnya segala sesuatu.
ADVERTISEMENT
Platform media sosial yang diluncurkan oleh perusahaan ByteDance ini setidaknya telah diunduh dan digunakan sebanyak 109,9 juta pengguna berusia 18 tahun ke atas di Indonesia pada awal tahun 2023.
Angka tersebut menduduki peringkat lebih tinggi dari jumlah pengguna media sosial lainnya seperti Instagram yang menunjukkan jumlah sebesar 89,15 juta pengguna di Indonesia pada awal tahun 2023.
Tiktok sebagai alat aktivisme bukanlah hal yang baru. Sejumlah peristiwa seperti Pandemi Covid-19 sampai Gerakan Black Lives Matter di Amerika, menjadi saksi bagaimana Tiktok memperlihatkan keefektifannya sebagai “alat penggerak kesadaran”.
TikTok menjadi media di mana seseorang dengan dukungan teknologi yang relatif rendah dapat membuat atau memproduksi film 60 detik dengan kuat tanpa perantara (Haslem, 2022).
ADVERTISEMENT
Pada konteks kematian George Floyd misalnya, yakni seorang warga negara Amerika turunan Afrika yang meninggal setelah lehernya diinjak oknum polisi setempat. Sejak beredarnya video diskriminasi kepada Floyd di dunia maya, setidaknya ada jutaan tayangan video Tiktok yang mendukung aksi protes terhadap insiden tersebut dengan menaikkan tagar #protestforgeorgefloyd maupun #blacklivesmatter.
Video-video dalam kanal tagar tersebut memperlihatkan bagaimana para warganet menyuarakan keberpihakannya kepada korban rasisme, tidak hanya pada konteks kematian George Floyd, namun juga pada kasus rasisme lainnya.
Di beberapa video tersebut juga tampak memperlihatkan aktivitas demonstrasi yang berlangsung di Amerika, melawan pihak polisi sebagai aktor yang mendiskriminasi Floyd kala itu. Para demonstran menunjukkan aksinya, menyanyikan yel-yel, membakar ban sampai melakukan selebrasi tarian anti kebencian ras tertentu.
ADVERTISEMENT
Haslem (2022), seorang pengamat aktivisme digital pada platform Tiktok, mengungkap bahwa contoh video Tiktok dalam konteks gerakan protes diskriminasi terhadap George Floyd memperlihatkan kuatnya sudut pandang orang pertama; respons emosional penonton serta dipandu terutama oleh pencipta video tersebut.
Pada beberapa video demonstrasi kematian George Floyd, pengguna menggunakan sudut pandang orang pertama yang merekam dirinya di tengah kerusuhan. Tidak hanya itu, ia juga turut menunjukkan ketidakseimbangan kekuatan antara masyarakat sipil dan polisi yang bersenjata sehingga mengundang emosi dan empati para penonton atau pengguna Tiktok lainnya untuk turut serta menjadi demonstran dan bergabung dalam Gerakan tersebut.
Hal ini yang kemudian juga menjadi sama dalam konteks “Speak Up” nya Bima juga Husein. Kuatnya pesan dan cerita yang disampaikan sudut pandang Bima dan Husein, berikut penurunan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, membuat netizen atau warganet menyukai, berkomentar, mengutip (stitch) dan membagikan video mereka pada platform yang sama.
ADVERTISEMENT
Inilah yang kemudian membuat algoritma Tiktok bekerja. Pengguna Tiktok mengkomunikasikan tingkat ketertarikan akan sesuatu terhadap algoritma Tiktok dengan melihat bagaimana mereka menyukai video tertentu, berkomentar sampai menonton sebuah video hingga selesai.
Ketika algoritma melakukan tugasnya dengan benar, maka “For You Page” (FYP) terasa seperti representasi dari pengguna.
Melihat antusias warganet pada kolom-kolom komentar video Bima dan Husein, tampak bahwa video kedua pemuda tersebut menjadi bagian dari mereka atau representasi warganet itu sendiri.
Video Tiktok, dengan durasi yang tidak begitu panjang, diimbuhi fitur musik, fitur filter yang membuat seseorang tak lagi memerlukan perangkat editing lainnya, mendorong atau membangkitkan ekspresi individu dengan berpartisipasi secara kolektif dengan cara yang mudah.

Tiktok dan Tantangan Misinformasi

Meski terjadi perdebatan di antara pakar media, apakah aktivisme digital ini menjadi jalan efektif melakukan perubahan atau tidak, namun pada kasus Bima dan Husein, aktivisme digital TikTok tersebut membawa harapan kepada perubahan maupun pelayanan pemerintah yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, terbuka kemungkinan pula nantinya Tiktok dapat menjadi media sosial yang mendorong demokrasi di masa depan. Meskipun begitu, di era derasnya arus informasi seperti saat ini, warganet masih dihadapkan dengan tantangan derasnya informasi yang tidak valid atau hoax.
NewsGuard, sebuah media pemeriksa fakta berasal dari Amerika, mengungkap bahwa Tiktok masih menjadi sarang misinformasi.
Pada kasus Perang Rusia-Ukrania misalnya, studi yang digagas NewsGuard menemukan bahwa pengguna baru yang mencari informasi tentang konflik tersebut, "menyebabkan TikTok menyarankan beberapa video yang berisi disinformasi dalam 20 hasil teratasnya".
Eksperimen ini dilakukan oleh enam analis NewsGuard di Swiss, Jerman, Italia, Inggris, dan AS, yang menelusuri halaman “For You Page (FYP)” pada Tiktok dan menonton video terkait Rusia-Ukraina secara lengkap.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pada pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu, terdapat kesimpangsiuran informasi yang menjelaskan mengenai obat COVID-19 tanpa resep dokter pada sejumlah video yang diunggah di Tiktok.
Atas video-video pengobatan COVID-19 yang tak berdasar tersebut, TikTok mengaku telah menghapus 27 ribu konten terkait disinformasi COVID-19 pada April-Juni 2021.
Hal ini yang kemudian menjadi sisi lain perhatian kita sebagai pengguna internet aktif. Meluasnya penggunaan Tiktok berdampak pula pada penyebaran informasi yang tidak valid bahkan menjerumuskan pada hal yang merugikan.
Oleh karena itu, meskipun Tiktok membawa harapan baru pada iklim demokrasi di masa depan, namun kemampuan berpikir dan beropini dengan bijak serta berdasar sangat dibutuhkan agar tidak terjadi misinformasi yang menyesatkan.