Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Ziarah Kubur dan Akulturasi Kebudayaan
3 Mei 2023 17:44 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rofiq Mahfudz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa komunitas umat Islam di Jawa atau di sebagian kawasan Indonesia tentu tidak asing dengan tradisi ziarah kubur. Ziarah kubur lumrah dilakukan pada hari-hari tertentu yang diyakini mempunyai makna tersendiri bagi umat Islam seperti pada hari Jumat.
ADVERTISEMENT
Sebab Jumat bagi umat Islam dikenal sebagai hari yang istimewa untuk berziarah. Hari Jumat disebut juga sebagai sayyidul-ayyam, hari yang paling baik. Untuk itulah beberapa ritual keagamaan biasa dilakukan pada hari Jumat sebagaimana ziarah kubur.
Menjelang bulan Ramadhan maupun Syawal, ziarah kubur dilakukan secara massal oleh umat Islam di berbagai tempat di Indonesia terutama Jawa. Para peziarah akan mendatangi makam orang tua dan sanak saudara dengan tujuan membersihkan makam, selain yang terutama tentu saja mendoakan.
Apabila tradisi mudik lebaran bertujuan untuk bersua dengan sanak saudara yang masih hidup, maka ziarah kubur merupakan sarana untuk berbakti dengan cara mendoakan orang tua atau sanak saudara yang pergi mendahului kita. Tradisi ziarah kubur menjelang bulan Ramadhan atau Syawal ini di berbagai tempat dikenal juga dengan istilah nyekar.
ADVERTISEMENT
Ziarah kubur tidak selalu bertujuan mendatangi makam orang tua maupun sanak saudara, makam sesepuh, guru agama dan kiai juga menjadi tujuan. Di pondok-pondok pesantren salaf yang memiliki kompleks pemakaman khusus bagi keluarga ndalem, pada pertengahan Ramadhan biasanya diadakan haul masyayikh. Para santri atau alumni yang tersebar di berbagai tempat akan berbondong-bondong menghadirinya sebagai bentuk rasa mahabbah dan takzim kepada guru.
Tradisi ziarah kubur yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan atau Syawal seolah mengingatkan kepada kita semua bahwa meski sedang menapaki hari kemenangan, kita tetap mesti menyisakan ruang untuk mengingat saudara kita yang paling dekat, yaitu kematian—di samping mendoakan orang tua dan saudara yang pergi mendahului kita.
Sebuah maqolah mengatakan:
كفى بالموت واعظا
ADVERTISEMENT
Artinya: ”Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat”.
Ziarah Kubur dalam Lintasan Sejarah
Sebelum Islam turun di jazirah Arab, tradisi ziarah kubur sudah menjadi budaya di sana. Tapi praktik ziarah kubur sebelum Islam datang sangat berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Kuburan pada masa pra-Islam dijadikan sesembahan layaknya berhala.
Tidak mengherankan ketika awal mula Islam datang Nabi sempat melarang ziarah kubur karena ditakutkan umat Islam yang belum teguh tauhidnya terseret kepada kesyirikan. Ini merupakan bentuk kehati-hatian Nabi Saw. dalam menjaga keimanan umat Islam.
Umat Islam pada masa awal mula kedatangan Islam memang masih sangat lekat dengan kebudayaan jahiliyah dengan berbagai tradisinya seperti menyembah berhala dan pengagungan terhadap nenek moyang. Tradisi ziarah kubur pra-Islam identik dengan adanya permohonan kepada arwah orang yang meninggal bahkan sampai menyembah arwah para leluhur. Masyarakat jahiliyah menganggap berhala dan arwah leluhur memiliki kendali atas kehidupan mereka dan juga dapat mewujudkan apa yang mereka inginkan. Ini telah menjadi tradisi yang mengakar kuat di masyarakat jahiliyah.
ADVERTISEMENT
Kedatangan Nabi Muhammad SAW memberikan intrepretasi dan revisi terhadap berbagai tradisi pada masa jahiliyah pra-Islam agar sesuai dengan tatanan baru atau syariah Islam. Dalam sebuah hadis diterangkan bahwa ziarah kubur memang sempat dilarang sebelum diperbolehkan kembali oleh Nabi.
عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فقد أذن محمد في زيارة قبر أمه، فزوروها فإنها تذ كر الآ خرة رواهالترمذي
Hadis ini sekaligus me-nasakh (menghapus) larangan ziarah kubur. Rasul bahkan menyarankannya karena ziarah kubur dapat menjadikan seseorang ingat terhadap akhirat. Status ziarah kubur berubah dari haram menjadi sunnah. Diperbolehkannya ziarah kubur oleh Nabi ini didasarkan pada keyakinan bahwa umat Islam tidak akan lagi meminta kepada ruh jenazah yang sudah dikubur sebagaimana sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ziarah Kubur dan Akulturasi Kebudayaan
Di Indonesia sendiri tradisi ziarah kubur sebenarnya sudah dikenal bahkan sebelum Islam datang ke wilayah Nusantara. Bentuknya dengan memberikan sesajen ke laut, di pohon-pohon besar atau di makam-makam keramat. Konon, dikatakan bahwa tradisi ziarah kubur ini lahir dari akulturasi budaya Islam-Jawa-Hindu.
Orang Jawa mempercayai bahwa roh itu abadi dan akan selalu pulang menemui keluarga pada setiap bulan ‘Ruwah’ (dalam kalender Islam disebut Sya’ban). Akar kata Ruwah sendiri berasal dari kata ‘Arwah’ yang merupakan bentuk jamak (plural) dari ‘Ruh’ yang berarti roh. Untuk itulah dalam kepercayaan ini bulan Ruwah merupakan momentum pertemuan penghuni dua dunia, antara dunianya orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal.
ADVERTISEMENT
Sementara Hindu memiliki cara yang khas untuk menyapa roh nenek moyang dengan beragam sesaji, salah satunya adalah dengan bunga (Jawa: sekar). Akar kata nyekar sebagaimana kita kenal sekarang sebagai tradisi menziarahi makam menjelang bulan Ramadhan atau Syawal, sejatinya berasal dari kata sekar dari tradisi Hindu ini.
Para wali yang kemudian datang ke Jawa, mempunyai supervisi sebagaimana Nabi Muhammad SAW dengan mengganti berbagai tradisi yang tidak sejalan dengan tuntutan Islam menjadi lebih Islami. Sesajen yang semula dipersembahkan kepada kuburan diganti oleh para wali yang berdakwah dengan makanan-makanan yang dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan rizki duniawi.
Selain itu, hal mendasar yang diubah dari tradisi Jawa pra-Islam ketika Islam datang adalah pada tataran niat dan tujuan dari ziarah. Tradisi ziarah yang dibawa dan diajarkan oleh Islam yang notabene datang dari luar hampir tidak banyak mengubah tradisi ziarah masyarakat Jawa sebelumnya. Apabila semula ziarah bertujuan untuk meminta sesuatu kepada para arwah yang dipercaya mempunyai keramat, maka ketika Islam datang diubah untuk mengingat mati, akhirat dan mendoakan arwah leluhur yang telah mendahului kita.
ADVERTISEMENT
Laku ziarah kubur untuk mendoakan orang yang telah meninggal juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw., hal ini beliau lakukan setelah malaikat Jibril menemui Nabi dan berkata:
إنّ ربّك يأ مرك أن تأتي أهل البقيع فتستغفرلهم
Agama Islam kita tahu merupakan agama yang dapat melakukan interaksi dengan kebudayaan dan tradisi-tradisi setempat yang sebelumnya sudah ada. Perpaduan ini dapat disebut juga dengan sinkretisme. Perpaduan satu budaya dengan budaya yang lain dan melahirkan budaya baru yang dianut bersama-sama atau sinkretisme ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Sinkretisme bahkan sampai saat ini masih teurs hidup di masyarakat muslim Indonesia. Di Indonesia, salah satu ritual atau tradisi yang dianggap sebagai bagian dari hasil sinkretisme adalah ziarah kubur atau di beberapa wilayah dikenal dengan nyekar.
ADVERTISEMENT
Ketika Islam datang, yang diubah dari tradisi-tradisi seperti ziarah kubur adalah bentuk dan esensinya. Dalam Islam, akulturasi antara tradisi dengan ajaran agama mendapatkan landasan teori fiqih yang cukup banyak. Seperti kaidah fiqih:
العادة محكمة
“Adat/tradisi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syara’”.
Atau kaidah:
الثابت بالعرف كا لثا بت بالنص
“Ketetapan hukum yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’”.
Atau bisa juga:
استعمال الناس حجة يجب العمل بها
“Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus diikuti”.
Tentu saja kaidah hukum ini mengharuskan adanya kesesuaian dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Sebagaimana tradisi ziarah kubur yang notabene sudah ada di Jawa pra-Islam, kemudian dimodifikasi/diakulturasikan sedemikian rupa hingga esensi, tujuan dan bentuknya selaras dengan ajaran Islam.
ADVERTISEMENT