Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Timnas Indonesia Mencari Striker
2 Agustus 2022 12:44 WIB
Tulisan dari Sehan Gerin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ricky Yakobi, Kurniawan Dwi Yulianto, Gendut Doni, Bambang Pamungkas, hingga sang permata dari timur yaitu Boaz Solossa saling bergantian menjadi ujung tombak Tim Nasional Sepak Bola Indonesia. Pada masa emasnya, Indonesia tidak pernah kehilangan seorang penyerang tajam dan buas yang selalu haus akan gol. Namun memasuki era baru, seakan Indonesia kehilangan ujung tombak yang perkasa, regenerasi gagal dilakukan oleh Tim Nasional kita. Belum ada yang sanggup menggantikan peran para legenda yang sudah lebih dulu pamit undur diri dari Tim Nasional.
ADVERTISEMENT
Indonesia sempat mengandalkan naturalisasi, buktinya ada nama-nama seperti Beto, Spaso, dan Gonzales yang menjadi ujung tombak negara tapi apa daya mereka ketika sudah termakan oleh usia seperti saat ini. Melihat kembali ke belakang, tepatnya pada Sea Games U-23 yang dilaksanakan pada tahun 2011, ada dua nama yang memberi masyarakat harapan, keduanya adalah Titus Bonai dan Patrich Wanggai. Duet maut dari timur itu menggila dan mendominasi sepanjang gelaran Sea Games 2011, masyarakat Indonesia menaruh harapan mereka kepada dua pemain tersebut dan berharap mereka akan mengembalikan magis Indonesia namun ternyata takdir berkata lain, keduanya gagal memenuhi ekspetasi masyarakat dan kesuksesan yang sama tidak pernah terulang, secara perlahan mereka mulai menghilang dari dunia sepak bola tanah air.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun Indonesia tidak memiliki penyerang murni dan tetap, nama-nama seperti Ferdinand Sinaga, Samsul Arief, Lerby Eliandry, bahkan Irfan Bachdim dan Osvaldo Haay juga pernah menempati posisi ujung tombak namun mereka masih belum bisa meneruskan langkah para pemain terdahulu, khusus dua nama terakhir, mereka bahkan bukan pemain nomor sembilan murni. Tahun 2018 Sutan Zico Bersama Bagus Kahfi dan Rendy Juliansyah saling bahu-membahu menjadi lini depan Garuda Muda, Zico memperlihatkan keganasannya sebagai nomor sembilan murni serta Bagus yang memiliki kecepatan serta kelincahan sebagai seorang penyerang dilengkapi oleh kecerdasan Rendy dalam membangun serangan dan berperan sebagai playmaker.
Namun entah mengapa, mereka seakan belum bisa mencapai potensi yang digadang-gadang. Zico kesulitan mendapatkan menit bermain di kasta kedua Liga Indonesia. Hal yang sama terjadi pada Rendy juga setelah dirinya mengalami cidera ACL, sedangkan Bagus kini telah berkelana ke Liga Belanda dan sekarang dikabarkan akan melanjutkan karirnya di Liga Yunani. Karir Bagus terlihat lebih menjanjikan dibanding kedua temannya namun nyatanya, dirinya belum membuktikkan apa-apa.
ADVERTISEMENT
Memasuki Timnas era Shin Tae-Yong atau yang kerap disapa STY, Timnas mengalami revolusi besar-besaran dari segi mental hingga permainan. Namun masalah yang sama masih dihadapi oleh STY yaitu krisisnya penyerang murni. Pada gelaran Piala AFF 2020 lalu, STY membawa KH Yudo, Ezra Walian, Dedik Setiawan, dan Hanis Saghara namun keempat penyerang ini hanya mampu menghasilkan satu gol saja. Kualifikasi Piala Asia kemarinpun STY hanya membawa dua penyerang murni yaitu Dimas Drajad dan M.Rafli, namun saat itu STY lebih memilih untuk menggunakan false nine hingga pada pertandingan penentuan melawan Nepal, Dimas Drajad dan M.Rafli diberikan kepercayaan. Namun, penampilan mereka masih belum cukup memuaskan.
Indonesia benar-benar sedang krisis ujung tombak, banyaknya pemain asing di Liga Indonesia menjadi salah satu alasan penyerang lokal kesulitan untuk berkembang. Sepak bola modern yang mengandalkan satu penyerang murni dan mengandalkan kecepatan sayap juga membuat pemain lokal kesulitan untuk mendapatkan menit bermain sehingga perkembangan mereka terhambat dan tidak mencapai potensi maksimal. Berbeda dengan dulu ketika masih mengandalkan dua penyerang, penyerang lokal masih mendapatkan kesempatan untuk bermain sehingga dapat berkembang.
ADVERTISEMENT
Belum lagi infrastruktur sepak bola Indonesia yang sangat buruk, kompetisi usia dini saja tidak jelas jadi bagaimana pemain muda akan berkembang? Apakah federasi akan diam-diam saja seperti ini? Selalu menuntut hasil namun menutup mata pada proses, apakah tidak ada niatan untuk membangun infrastruktur serta kompetisi dini yang lebih baik untuk sepak bola Indonesia berprestasi? Mungkin ini yang membuat regenerasi Indonesia gagal, padahal setiap tahunnya pasti selalu ada talenta baru yang lahir.
Pemain muda Indonesia banyak juga yang mudah besar kepala, prestasi belum seberapa namun merasa di atas langit hanya karena mendapatkan banyak penggemar dan terkenal. Kalian bermain bola untuk terkenal saja atau untuk juara? Belum lagi mengingat banyak pemain Indonesia yang tidak mau keluar dari zona nyaman dan hanya ingin bermain di Liga Indonesia, liga yang jadwalnya saja tidak jelas. Indonesia sejatinya tidak pernah kekurangan talenta sepak bola apalagi kehilangan. Mental serta pola pikir yang harus dirubah dan harus ada kerja sama dari federasi serta tim-tim lokal untuk memperbaiki infrastruktur agar bibit muda dapat berkembang, berikan mereka kepercayaan dan biarkan mereka mengepakkan sayap mereka.
ADVERTISEMENT
Masyarakat percaya Shin Tae-Yong dapat merubah sepak bola Indonesia, biarkanlah proses yang berbicara. Tanah air sudah rindu dengan penyerang murni yang tajam seperti Bambang Pamungkas dan semoga Shin Tae-Yong dapat mematahkan kutukan itu untuk kita semua. Buka mata pada proses, sudah cukup menuntut hasil jangka pendek, korbankan saja itu dan biarkanlah jangka panjang yang menjawab. Buang semua pemikiran kolot karena itu tidak akan membantu, ini sudah saatnya sepak bola Indonesia berbenah diri karena Indonesia sedang mencari striker.