Konten dari Pengguna

Argumentasi Pendiri Bangsa agar Syariat Islam Jadi Bagian dari Dasar Negara

Sejarah dan Sosial
Artikel yang membahas seputar sejarah hingga topik sosial lainnya.
11 September 2024 17:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi argumentasi pendiri bangsa agar syariat Islam jadi bagian dari dasar negara. Foto: Pexels.com/Andisal Nz
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi argumentasi pendiri bangsa agar syariat Islam jadi bagian dari dasar negara. Foto: Pexels.com/Andisal Nz
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Argumentasi pendiri bangsa agar syariat Islam jadi bagian dari dasar negara merupakan salah satu isu yang cukup hangat pada masa awal pembentukan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam proses penyusunan dasar negara, beberapa tokoh terkemuka dari kalangan Islam mengusulkan agar ajaran syariat Islam menjadi bagian penting dari landasan negara.
Usulan ini muncul dengan alasan bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga sepatutnya syariat Islam menjadi bagian yang diakui dalam konstitusi negara.

Argumentasi Pendiri Bangsa agar Syariat Islam Jadi Bagian dari Dasar Negara

Ilustrasi argumentasi pendiri bangsa agar syariat Islam jadi bagian dari dasar negara. Foto: Pexels.com/Ache Surya
Bagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara? Argumentasi ini diawali dengan pembahasan panjang yang berfokus pada Piagam Jakarta.
Salah satu argumen penting yang muncul adalah bahwa ajaran Islam sudah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga perlu diakomodasi dalam dasar negara.
Penempatan syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara pertama kali dirumuskan dalam Piagam Jakarta yang disepakati pada 22 Juni 1945.
ADVERTISEMENT
Piagam ini mencantumkan sila pertama yang berbunyi, "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya."
Hal ini mencerminkan semangat kelompok Islam yang menginginkan nilai-nilai agama menjadi bagian dari dasar negara.
Keinginan ini didorong oleh kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia pada masa itu adalah Muslim, dan mereka percaya bahwa prinsip-prinsip syariat dapat memperkuat moralitas dan etika sosial.
Namun, setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, muncul desakan dari golongan Indonesia Timur yang merasa bahwa penerapan syariat Islam hanya relevan bagi pemeluk agama Islam.
Mereka berargumen bahwa Indonesia terdiri dari berbagai agama dan budaya, dan penerapan syariat Islam secara formal dapat mengesampingkan hak-hak kelompok non-Muslim.
Desakan ini kemudian diterima oleh Moh. Hatta, yang menyarankan agar frasa tersebut dihilangkan dari dasar negara.
ADVERTISEMENT
Hatta berpendapat bahwa agama Islam tidak perlu dijadikan dasar negara secara formal, tetapi tetap bisa menjadi dasar moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengutip dari buku "Dekonstruksi Pemahaman Pancasila: Menggali Jati Diri Hukum" karya Ilham Yuli Isdiyanto (2021: 284), dijelaskan bahwa keputusan untuk tidak menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara juga didorong oleh semangat kebhinekaan.
Indonesia, sebagai negara pluralis, memiliki warga dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan.
Konstitusi berbasis syariat Islam dianggap dapat mengganggu harmoni sosial yang telah terjalin, serta bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dianut oleh negara.
Pada akhirnya, syariat Islam tidak dimasukkan sebagai bagian formal dari dasar negara.
Namun, ajaran agama Islam tetap dijadikan sebagai landasan moral yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Banyak elemen Islam yang masih menjadi bagian dari nilai-nilai Pancasila, khususnya pada sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Hal ini mencerminkan bahwa agama tetap menjadi landasan penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
Argumentasi pendiri bangsa agar syariat Islam jadi bagian dari dasar negara tetap menjadi perdebatan yang relevan, terutama dalam konteks memahami hubungan antara agama dan negara di Indonesia.