Konten dari Pengguna

Asal-usul Tradisi Jenang Suro dan Maknanya untuk Sambut Tahun Baru Islam

Sejarah dan Sosial
Artikel yang membahas seputar sejarah hingga topik sosial lainnya.
14 September 2024 0:49 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Tradisi Jenang Suro, Foto: Pixabay/dhimastjondro
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tradisi Jenang Suro, Foto: Pixabay/dhimastjondro
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tradisi jenang suro atau bubur suro biasanya digelar untuk menyambut Tahun Baru Islam. Menghidangkan bubur suro juga biasa dilakukan saat menjelang 10 Muharram dalam kalender Hijriyah.
ADVERTISEMENT
Tradisi jenang suro ini juga biasa dilakukan di beberapa daerah Jawa atau dirayakan untuk perayaan Tahun Baru Islam secara turun-menurun.
Bubur suro tersebut dalam bahasa Jawa yaitu ubarampe yang berarti alat, dan bukan sebagai sesajen.

Tradisi Jenang Suro

Ilustrasi Tradisi Jenang Suro, Foto: Pixabay/lillith_um
Tradisi Jenang Suro yaitu berupa bubur yang disantap beramai-ramai dalam menyambut perayaan 1 Muharram. Biasanya seringkali disambut di Pulau Jawa di Jawa Timur, dan Madura seperti Sumenep.
Dikutip dari buku Dialektika Islam dan Budaya Nusantara, Prof. Dr. Ahmad Rofiq, M.A, (2020: 187-188) tradisi jenang suro atau tajin sora dalam bahasa Madura terbuat dari bubur nasi dan kuah beras ketan.
Bubur ini terdiri dari dua warna yaitu merah dan putih. Namun dalam pandangan masyarakat Madura dan Jawa, tradisi jenang suro ini sebagai bulan yang nahas. Terdapat pantangan bagi masyarakat, yaitu dilarang bepergian yang jauh agar terhindar dari mara bahaya.
ADVERTISEMENT
Warna merah dalam bubur melambangkan simbol darah, di mana darah tersebut sebagai darah yang tumpah dari Husein, cucu baginda Nabi yang terbunuh di Padang Karbala.
Untuk warna putih dalam bubur melambangkan kesucian, yang berarti sebagai perjuangan Husein.
Tradisi jenang suro ini sudah diadakan sejak masa Pemerintahan Sultan Agung. Namun muncul keyakinan lainnya, asal-usul dari tradisi jenang suro ini untuk memperingati hari di mana Nabi Nuh selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar.
Dari yang berkaitan dengan selamatnya Nabi Nuh, maka tradisi bersedekah dengan bubur suro yang berkembang di tengah masyarakat memiliki landasan dan tidak sembarang dilakukan.
Bubur suro juga melambangkan rasa syukur masyarakat Jawa dan Madura kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh.
ADVERTISEMENT
Bubur suro juga mengandung angka tujuh, seperti penggunaan tujuh jenis kacang dan angka tujuh melambangkan tujuh hari dalam seminggu.
Masyarakat yang menyantap bubur suro dan merayakan tradisi jenang suro nantinya akan selalu diberikan berkah melimpah dan kelancaran hidup setiap harinya.