Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwan, Arsitek Kemajuan Islam di Era Umayyah
11 Maret 2025 15:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berbagai wilayah dalam kekhalifahan dilanda perpecahan akibat perang saudara dan perebutan kekuasaan.
Perjalanan kepemimpinannya menunjukkan strategi militer yang kuat, administrasi yang cermat, serta kebijakan yang membentuk stabilitas Dinasti Umayyah.
Kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwan
Berikut adalah kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwan, seorang pemimpin tangguh yang berhasil menyatukan dunia Islam di tengah kekacauan politik dan perang saudara, dikutip dari mbstarakan.sch.id.
Ia naik tahta pada tahun 65 H (685 M) setelah ayahnya, Marwan bin al-Hakam, wafat, sementara kondisi kekhalifahan penuh dengan konflik.
Pada masa itu, dunia Islam mengalami perpecahan besar dengan kekuatan Abdullah bin Zubair yang semakin kokoh di Hijaz, Irak, dan Khurasan.
Sebagian besar wilayah Islam telah mengakui kekhalifahan Abdullah bin Zubair, menjadikan posisi Abdul Malik di Damaskus dalam ancaman serius.
ADVERTISEMENT
Untuk mengembalikan kendali atas kekhalifahan, Abdul Malik memutuskan untuk merebut Irak sebagai langkah awal. Saudaranya, Mush’ab bin Zubair, yang menjadi gubernur di sana, menjadi target utama.
Meskipun banyak penasihatnya menyarankan agar menunda serangan, Abdul Malik tetap teguh pada keputusannya.
Pasukannya melancarkan serangan besar-besaran, menyebabkan pertempuran sengit yang berakhir dengan terbunuhnya Mush’ab bin Zubair.
Dengan jatuhnya Irak ke tangan Abdul Malik, ia kemudian melanjutkan ekspansi ke Khurasan, menempatkan adiknya, Busyr bin Marwan, sebagai gubernur di wilayah tersebut.
Setelah berhasil menguasai Irak dan Khurasan, satu-satunya wilayah yang masih berada di bawah kendali Abdullah bin Zubair adalah Hijaz.
Untuk menaklukkan Mekah, Abdul Malik mengirim Hajaj bin Yusuf, seorang panglima yang terkenal dengan kebrutalannya.
ADVERTISEMENT
Hajaj mengepung Mekah dan menggunakan manjaniq, pelontar batu besar, untuk menyerang kota. Bahkan, Ka’bah terbakar akibat serangan ini.
Dalam tekanan yang hebat, banyak pendukung Abdullah bin Zubair yang menyerah, tetapi ia sendiri bertahan hingga akhir.
Setelah mendapatkan nasihat dari ibunya, Asma binti Abu Bakar, bahwa lebih baik mati dengan kehormatan, Abdullah maju ke medan perang dan akhirnya gugur di dekat Ka’bah.
Kepalanya dibawa ke Damaskus sebagai tanda kemenangan Abdul Malik, dan tubuhnya digantung selama beberapa hari di Mekah sebagai peringatan bagi para pemberontak.
Setelah mengamankan kekuasaan, Abdul Malik mulai membangun kembali stabilitas kekhalifahan yang sempat hancur akibat perang saudara.
Ia mengonsolidasikan wilayah yang telah ditaklukkan dan memperkuat administrasi dengan menunjuk gubernur-gubernur yang loyal.
ADVERTISEMENT
Untuk memperkuat identitas Islam dalam pemerintahan, ia mengganti penggunaan mata uang Bizantium dan Persia dengan dinar dan dirham khusus yang berbahasa Arab. Kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam sistem ekonomi Islam.
Ekspansi militer juga menjadi bagian utama dari kepemimpinan Abdul Malik. Ia mengutus panglima-panglimanya untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Romawi dan Persia.
Mahlab bin Abi Shufrah diperintahkan untuk memperluas wilayah ke timur, sementara pasukan lainnya dikirim ke barat untuk mengamankan perbatasan dengan Kekaisaran Bizantium.
Penaklukan ini tidak hanya memperbesar wilayah Islam tetapi juga memperkuat otoritas Abdul Malik sebagai khalifah yang berhasil menyatukan dunia Islam di bawah panji Dinasti Umayyah.
Dalam bidang administrasi, Abdul Malik dikenal sebagai pemimpin yang cerdas dan tegas. Ia memperkenalkan sistem birokrasi yang lebih teratur dan menerapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Langkah ini memperkuat kesatuan administrasi dan mengurangi ketergantungan pada pejabat non-Arab.
Selain itu, ia membangun berbagai infrastruktur, termasuk jalan raya dan saluran air, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Menjelang akhir hayatnya, Abdul Malik merasa kesehatannya semakin menurun. Ia kemudian menetapkan wasiat bahwa putra sulungnya, al-Walid bin Abdul Malik, akan menjadi penggantinya.
Keputusan ini memastikan keberlanjutan kekuasaan Dinasti Umayyah tanpa adanya perebutan takhta yang dapat memicu perang saudara kembali.
Kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwan menunjukkan bagaimana kepemimpinan yang kuat dan strategi yang cermat mampu mengakhiri konflik dan menyatukan umat Islam.
Dengan kebijakan militernya yang agresif serta reformasi administratifnya yang visioner, ia berhasil membawa stabilitas dalam masa sulit dan meletakkan dasar bagi kejayaan Dinasti Umayyah. (Shofia)
ADVERTISEMENT