news-card-video
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Kisah Khalifah Al-Makmun, Pemimpin Cendekiawan yang Mengubah Peradaban Islam

Sejarah dan Sosial
Artikel yang membahas seputar sejarah hingga topik sosial lainnya.
11 Maret 2025 15:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kisah Khalifah Al-Makmun. Foto: Pexels.com/Mahmoud Mahrous
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kisah Khalifah Al-Makmun. Foto: Pexels.com/Mahmoud Mahrous
ADVERTISEMENT
Kisah Khalifah Al-Makmun menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah kejayaan Dinasti Abbasiyah.
ADVERTISEMENT
Ia dikenal sebagai pemimpin yang tidak hanya berfokus pada stabilitas politik, tetapi juga sangat peduli terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Perjalanannya menuju kekuasaan hingga kebijakan-kebijakannya memberikan dampak besar bagi peradaban Islam.

Kisah Khalifah Al-Makmun

Ilustrasi kisah Khalifah Al-Makmun. Foto: Pexels.com/Necati Ömer Karpuzoğlu
Dikutip dari an-nur.ac.id, kisah Khalifah Al-Makmun dimulai sejak kelahirannya pada tahun 786 M di Baghdad, ibu kota Dinasti Abbasiyah.
Ia merupakan putra dari Khalifah Harun al-Rasyid dan seorang selir asal Persia bernama Marajil.
Sejak kecil, Al-Makmun telah mendapatkan pendidikan dalam berbagai bidang, termasuk agama, sastra, filsafat, dan ilmu pengetahuan, yang membentuknya menjadi sosok pemimpin dengan visi intelektual yang kuat.
Setelah wafatnya Harun al-Rasyid pada tahun 809 M, terjadi konflik perebutan kekuasaan antara Al-Makmun dan saudara tirinya, Al-Amin.
ADVERTISEMENT
Harun al-Rasyid sebelumnya telah membagi wilayah kekhalifahan, dengan Al-Amin menguasai Baghdad dan Al-Makmun mengendalikan Khorasan.
Namun, Al-Amin mencoba mencabut kekuasaan saudaranya, yang akhirnya memicu Perang Saudara Abbasiyah selama empat tahun.
Pada tahun 813 M, pasukan Al-Makmun berhasil merebut Baghdad, mengeksekusi Al-Amin, dan menjadikannya sebagai khalifah.
Meskipun telah memenangkan perang, Al-Makmun menghadapi tantangan besar dalam menyatukan kembali wilayah kekhalifahan yang terpecah akibat konflik.
Ia harus berhadapan dengan pemberontakan dari berbagai kelompok, termasuk dari golongan Syiah dan Khawarij, serta memastikan loyalitas gubernur-gubernur regional yang sebelumnya berpihak pada Al-Amin.
Untuk mengokohkan kekuasaannya, ia mengambil langkah-langkah strategis, termasuk mendekati kelompok Syiah dengan mengangkat Ali bin Musa al-Ridha sebagai pewaris takhta, meskipun kebijakan ini kemudian tidak berlanjut setelah wafatnya Ali al-Ridha.
ADVERTISEMENT
Dalam bidang keilmuan, Al-Makmun dikenang sebagai khalifah yang sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.
Ia mendirikan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad, yang menjadi pusat penerjemahan dan studi ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban.
Para cendekiawan dari berbagai latar belakang, termasuk ilmuwan Yunani, Persia, dan India, diundang untuk bekerja di Bayt al-Hikmah.
Karya-karya penting dari Aristoteles, Plato, Galen, dan Ptolemaeus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, memberikan kontribusi besar bagi perkembangan filsafat, kedokteran, matematika, dan astronomi di dunia Islam.
Selain penerjemahan, Al-Makmun juga mendorong penelitian ilmiah, terutama dalam bidang astronomi.
Ia mendirikan observatorium di Baghdad dan Damaskus, yang memungkinkan para astronom Muslim untuk melakukan pengamatan langit dengan lebih akurat.
Salah satu proyek penting pada masa pemerintahannya adalah pengukuran keliling bumi, yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan dengan metode trigonometri yang cukup canggih untuk zamannya.
ADVERTISEMENT
Hasil pengukuran mereka mendekati nilai yang diterima dalam ilmu pengetahuan modern.
Meskipun terkenal sebagai khalifah cendekiawan, Al-Makmun juga menerapkan kebijakan teologi yang kontroversial, yaitu mihnah.
Kebijakan ini merupakan ujian teologis yang mengharuskan para ulama menerima doktrin Mu’tazilah, sebuah aliran yang menekankan rasionalitas dan berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan sifat Tuhan yang kekal.
Kebijakan ini menimbulkan perlawanan, terutama dari ulama tradisional seperti Ahmad bin Hanbal.
Mihnah kemudian dihapus setelah Al-Makmun wafat, tetapi meninggalkan jejak ketegangan dalam dunia Islam.
Di bidang ekonomi dan administrasi, Al-Makmun berupaya meningkatkan efisiensi sistem perpajakan dan mengembangkan infrastruktur seperti irigasi dan jalan raya untuk mendukung perdagangan serta pertanian.
Ia juga merekrut tentara bayaran dari berbagai etnis, termasuk bangsa Turki, untuk memperkuat militer Abbasiyah.
ADVERTISEMENT
Meskipun kebijakan ini membantu mempertahankan stabilitas, penggunaan tentara bayaran juga menimbulkan masalah loyalitas di masa mendatang.
Khalifah Al-Makmun meninggal pada tahun 833 M di Tarsus, saat sedang memimpin kampanye militer melawan Kekaisaran Bizantium.
Warisan yang ditinggalkannya, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, tetap dikenang sebagai bagian dari Zaman Keemasan Islam.
Sebagai kesimpulan, kisah Khalifah Al-Makmun menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat membawa perubahan besar dalam peradaban melalui kebijakan intelektual dan politiknya.
Ia tidak hanya memulihkan stabilitas kekhalifahan, tetapi juga membuka jalan bagi kemajuan ilmu pengetahuan yang bertahan selama berabad-abad. (Shofia)