Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Sejarah Gudeg, Makanan Khas Yogyakarta
14 Februari 2025 12:39 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi Sejarah Gudeg, Unsplash/Inna Safa](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkyk4d9r621k2wwcje4p8qwj.jpg)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Gudeg adalah makanan khas Yogyakarta dengan berbagai macam pengembangan variasi yang melekat di dalamnya.
Gudeg juga terdapat di beberapa bagian Jawa lainnya tetapi Yogyakarta yang berhasil membawa makanan ini menjadi bagian dari identitas dan ciri khas makanan wilayahnya.
Sejarah Gudeg
Dikutip dari situs kebudayaan.jogjakota.go.id dan baradja.jambiprov.go.id, perjalanan sejarah gudeg tercatat pula dalam Serat Centhini yang merupakan sebuah ensiklopedia kebudayaan Jawa yang ditulis pada 1814-1823.
Serat Centhini yang terdiri dari 12 jilid mencakup berbagai aspek kehidupan termasuk kuliner. Gudeg diketahui disebut sebagai salah satu masakan tradisional yang diakui dalam ensiklopedia tersebut.
Berdasarkan kisah yang ditulis dalam Serat Centhini diperkirakan gudeg telah dikenal sejak abad 16 atau 17. Meski gudeg belum dapat dilacak tentang awak keberadaaan gudeg, dapat dipastikan gudeg telah dikenal jauh sebelum Kesultanan Yogyakarta berdiri.
ADVERTISEMENT
Pada Serat Centhini juga dikisahkan bahwa gudeg telah menjadi makanan yang dijual para penjaja saat ada keramaian yang dilengkapi dengan pertunjukan wayang dan hidangan ketika menjamu para tamu di wilayah pedesaan Jawa.
Gudeg bukanlah sekadar hidangan yang lezat tetapi bagian dari narasi sejarah Kerajaan Mataram yang dibangun pada abad ke-16. Pohon nangka yang melimpah di wilayah Mataram memainkan peran utama dalam penciptaan masakan ini.
Pada saat itu, nangka diketahui tidak diminati oleh penjajah karena nilai jualnya rendah. Tetapi masyarakat Mataram menemukan cara yang unik untuk mengolah nangka muda menjadi hidangan yang lezat yang kemudian dikenal sebagai gudeg.
Dalam sejarah gudeg, gudeg pertama kali dimasak dalam porsi besar untuk memenuhi kebutuhan banyak orang dan teknik mengaduknya menggunakan alat yang menyerupai dayung perahu yang dikenal dalam bahasa Jawa sebagai hangudek atau hangudeg.
ADVERTISEMENT
Dari situlah nama gudeg lahir dan mulai dikenal luas oleh masyarakat Mataram.
Bumbu gudeg versi Serat Centhini mencakup daun salam, daun jeruk, gula jawa, santan, lengkuas, kemiri, ketumbar, terasi, jintan, dan garam. Gudeg nangka ini disajikan di beberapa wilayah, seperti Mataram (Jogja), Tembayat (Bayat, Klaten), dan Wanagiri (Wonogiri).
Serat Centhini telah menjadi bukti sahih bahwa gudeg telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa sejak abad ke-19.
Era 1970-an membawa perubahan yang signifikan untuk gudeg seiring dengan perkembangan Yogyakarta sebagai kota wisata. Jalan Wijilan menjadi saksi perkembangan gudeg yang semakin populer.
Warung kaki lima bukan lagi satu-satunya tempat penyajian gude. Kini, hidangan ini juga dihidangkan di hotel dan restoran, memperluas jangkauan dan popularitasnya.
ADVERTISEMENT
Gudeg juga telah berkembang menjadi 2 varian utama, yakni gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg kering memiliki sedikit santan sementara gudeg basah lebih kaya dengan santan.
Gudeg kering yang ditemukan sekitar 6 dasawarsa lalu mempunyai keunggulan tahan lama. Ini membuatnya menjadi pilihan populer sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta.
Dengan sifatnya yang tahan lama, gudeg kering menciptakan peluang untuk industri rumahan yang mengkhususkan diri dalam produksi oleh-oleh.
Dengan mengenal sejarah gudeg, pengalaman kuliner yang mendalam bisa didapatkan karena setiap kelezatan gudeg mengandung sejarah yang melekat dengan budaya leluhur. (Mey)