Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Sejarah Kitab Sutasoma, Karya Monumental Mpu Tantular
21 Februari 2025 18:47 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Keberadaannya tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam membentuk konsep persatuan dan toleransi di Nusantara.
Sejarah Kitab Sutasoma
Dikutip dari fahum.umsu.ac.id, berikut adalah sejarah Kitab Sutasoma yang merupakan karya sastra berbentuk kakawin yang ditulis pada abad ke-14 oleh Empu Tantular.
Kitab ini disusun pertama kali dalam bahasa Jawa Kuno dengan menggunakan aksara Bali dan ditulis di atas daun lontar.
Kakawin ini terdiri dari 1.210 bait dalam 148 pupuh, dengan gaya sastra yang mengikuti pola metrum India. Penulisan kitab ini diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang memimpin Majapahit antara tahun 1350 hingga 1389 Masehi.
Kitab Sutasoma mengisahkan perjalanan hidup seorang pangeran bernama Sutasoma yang memilih meninggalkan kehidupan kerajaan demi memperdalam ajaran Buddha.
ADVERTISEMENT
Perjalanannya penuh dengan berbagai ujian, seperti menghadapi raksasa, makhluk mitologi, dan dewa yang menguji ketabahannya.
Salah satu bagian paling terkenal dari kisah ini adalah ketika Sutasoma rela mengorbankan diri kepada Batara Kala sebagai ganti seratus raja yang ditawan oleh Raja Purusada.
Namun, ketulusan Sutasoma justru membuat Batara Kala menyadari kesalahannya dan membebaskan para tawanan.
Kitab ini juga dikenal karena mengandung semboyan yang kini menjadi moto negara Indonesia, yaitu "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa".
Ungkapan ini berarti bahwa meskipun terdapat perbedaan dalam kepercayaan, tetapi kebenaran tetap satu adanya.
Semboyan ini muncul dalam konteks ajaran Hindu dan Buddha yang hidup berdampingan pada masa Majapahit, menegaskan pentingnya toleransi dan persatuan dalam keberagaman.
ADVERTISEMENT
Selain aspek historis dan filosofisnya, Kitab Sutasoma juga menggambarkan kondisi sosial serta pemikiran masyarakat Majapahit pada saat itu.
Melalui kisahnya, kakawin ini mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, pengorbanan, dan kebijaksanaan yang dianggap penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Kitab ini menjadi salah satu bukti bahwa sastra Jawa Kuno memiliki peran besar dalam membentuk pemikiran dan nilai-nilai budaya di Nusantara.
Kitab Sutasoma hingga kini tetap menjadi sumber kajian bagi sejarawan, filolog, dan pemerhati sastra karena keunikan isinya yang mencerminkan perpaduan antara nilai spiritual dan konsep kepemimpinan.
Sejarah Kitab Sutasoma menggambarkan perjalanan seorang tokoh yang menanamkan pentingnya toleransi, pengorbanan, dan kebijaksanaan, yang tetap relevan dalam kehidupan hingga saat ini. (Khoirul)
ADVERTISEMENT