Konten dari Pengguna

Sejarah Situs Candi Menggung, Warisan Budaya yang Sarat Makna

Sejarah dan Sosial
Artikel yang membahas seputar sejarah hingga topik sosial lainnya.
10 Januari 2025 12:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sejarah situs Candi Menggung. Foto: Pexels.com/Mike van Schoonderwalt
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sejarah situs Candi Menggung. Foto: Pexels.com/Mike van Schoonderwalt
ADVERTISEMENT
Sejarah situs Candi Menggung mencerminkan kekayaan budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa pada masa lalu.
ADVERTISEMENT
Situs ini memiliki nilai sejarah yang mendalam bagi masyarakat setempat dan menjadi bagian penting dalam memahami peradaban Indonesia.

Sejarah Situs Candi Menggung

Ilustrasi Sejarah situs Candi Menggung. Foto: Pexels.com/Mike van Schoonderwalt
Mengutip dari hima.fib.ugm.ac.id, berikut adalah sejarah situs Candi Menggung, warisan budaya yang sarat makna.
Situs Candi Menggung terletak di Dusun Nglurah, Desa Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Candi ini ditemukan di atas perbukitan dengan elevasi sekitar 1.003 meter di atas permukaan laut, di mana banyak pohon besar tumbuh di sekitar situs, menciptakan suasana yang penuh dengan misteri dan keagungan.
Nama "Menggung" sendiri berasal dari sosok Mbah Menggung, yang sebenarnya merupakan Narotama, seorang pengikut setia Raja Airlangga.
Setelah Airlangga memutuskan untuk kembali ke Kediri, Narotama memilih untuk tinggal di Nglurah dan mendirikan peristirahatan di sana.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, situs ini juga dikenal dengan sebutan Punden Nglurah, yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur, terutama Mbah Menggung, yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai penguasa desa.
Mbah Menggung dikaitkan dengan keturunan pendeta Tumenggung dan dipercaya sebagai pendamping setia Raja Airlangga.
Masyarakat yang tinggal di sekitar situs ini kemudian mempercayai bahwa arwah Mbah Menggung menjaga dan melindungi mereka.
Berdasarkan catatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, situs ini terdiri dari lima halaman teras yang disusun secara bertingkat.
Meskipun batas antar teras tidak terlalu jelas, situs ini tetap menunjukkan keunikan dalam struktur bangunannya. Beberapa arca ditemukan di situs ini, termasuk enam arca Dwarapala yang menjadi simbol penjaga.
Arca Dwarapala ditemukan pada dua teras yang berbeda, dengan ciri khas berupa pedang dan posisi tubuh yang menyeramkan, dengan satu kaki terangkat.
ADVERTISEMENT
Selain arca Dwarapala, terdapat juga Arca Kyai Menggung dan Arca Durga Mahisasuramardhini, yang menurut kepercayaan setempat, merupakan perwujudan dari Nyi Rasa Putih.
Di pusat situs ini juga ditemukan sebuah Yoni, yang menunjukkan adanya pemujaan terhadap dewa Siwa.
Penemuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa situs ini digunakan sebagai tempat ibadah atau pemujaan pada masa lampau.
Arca Bhima tanpa kepala yang ditemukan di sekitar situs juga menambah nilai historisnya, meskipun posisinya terhalang oleh akar pohon besar yang tumbuh di sana.
Selain sebagai situs arkeologi, Candi Menggung juga memiliki nilai spiritual yang kuat bagi masyarakat sekitar.
Setiap tahun, masyarakat mengadakan upacara tradisional yang disebut "Dukutan." Upacara ini dilaksanakan pada Selasa Kliwon wuku Dukut, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah yang diterima.
ADVERTISEMENT
Selain itu, upacara ini juga bertujuan untuk memperingati kelahiran Mbah Menggung, yang dianggap sebagai roh leluhur yang melindungi desa.
Acara puncak dari Dukutan melibatkan tawur sesaji yang dilakukan dengan cara berjalan mengelilingi situs sambil melemparkan sesaji. Pagelaran wayang kulit juga menjadi bagian dari perayaan ini, yang berlangsung sepanjang malam.
Secara keseluruhan, situs Candi Menggung memiliki pengaruh besar dalam memperkaya pengetahuan tentang sejarah Indonesia, khususnya dalam konteks kebudayaan dan kepercayaan masyarakat pada masa lalu.
Sejarah situs Candi Menggung perlu terus dilestarikan agar generasi mendatang dapat mempelajari dan menghargai warisan budaya tersebut. (Shofia)