Konten dari Pengguna

Menunggu Calon Ambtenaar atau CPNS (Kolonial) Baru

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
11 Agustus 2023 16:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peserta mengikuti tes SKD CPNS Kemenkumham di Jawa Timur. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Peserta mengikuti tes SKD CPNS Kemenkumham di Jawa Timur. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Setiap tahun para lulusan baru atau sarjana yang belum dapat kerja menunggu dengan berdebar: kapan jadwal penerimaan PNS diumumkan pemerintah? Pengumuman CPNS 2023 kali ini salah satu paling ditunggu masyarakat, ketimbang siapa calon wakil presiden Anies Baswedan, Prabowo Subianto, atau Ganjar Pranowo dalam pemilu 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Pemerintah pada 2023 ini akan membuka lowongan CPNS pada 16-20 September 2023 mendatang (Detik.com, 10/8/2023). Badan Kepegawaian Negara (BKN) melalui situsnya menyatakan akan menerima CPNS dan PPPK tahun 2023 sebanyak 1 juta lebih pelamar.
Setiap tahun pemerintah rata-rata menerima 500 ribu sampai 1 juta lebih CPNS. Penerimaan CPNS baru itu sebagai pengganti banyaknya pegawai negeri yang akan pensiun, sehingga dikhawatirkan akan berdampak buruk pada pelayanan masyarakat bila tidak ada penggantinya.
Persoalannya apakah jumlah PNS atau ASN yang bertambah setiap tahun akan sebanding dengan peningkatan kualitas layanan terhadap masyarakat?
Optimisme pemerintah tentu dapat kita pahami, namun realitas di lapangan justru menunjukkan banyaknya oknum PNS/ASN terjerat kasus KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Mereka di antaranya justru menjadi simpul-simpul pengikat terjadinya korupsi di tubuh birokrasi negara.
ADVERTISEMENT

Warisan

Potret ASN Kolonial di Bali. Foto oleh Commons Wikimedia.
Korupnya PNS/ASN, yang dulu dikenal dengan nama ambtenaar, dianggap biasa ketimbang jujur dan bersih. Justru bila ada ambtenaar ini yang tidak mau KKN akan dianggap aneh dan sok suci.
Namun kontradiksinya, meski pada realitanya masyarakat berharap para pelayan publik itu bersih dan melayani, namun mereka justru mencari celah agar urusan pribadi atau kelompoknya mudah dan cepat dengan suap atau sogokan. Istilahnya beri uang rokok. Sekadarnya saja.
Keinginan pelayanan yang cepat dan mudah dengan kebutuhan gaya hidup di luar batas kemampuan finansial, meneguhkan warisan bobrok kolonial tentang status ambtenaar. Semua ada biayanya bila urusan ingin cepat! Dan gaya hidup dilayani dengan “amplop” semakin melengkapi 100 tahun warisan kehidupan para ambtenaar kolonial di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Masa kolonial para ambtenaar adalah raja sekaligus pelayan. Mereka raja di kalangan rakyat kecil, tapi pelayan di bawah dagu pejabat kolonial atau orang kulit putih!
Calon-calon ambtenaar bersekolah di lembaga khusus dengan mentalitas dan gaya hidup yang diatur sedemikian rupa, sehingga garang di depan rakyatnya, tapi ciut di depan lintingan kumis pejabat Belanda. Salah satu sekolah ambtenaar paling tenar se-Hindia-Belanda adalah Kwekschool di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Sekolah Raja

Potret siswa CPNS Kolonial di Sekolah Raja Bukittinggi tahun 1880. Foto Commons Wikimedia.
Kwekschool di Bukittinggi dikenal dengan nama Sekolah Raja. Sekolah ini selain melahirkan calon guru-guru untuk mengajar di sekolah rendah (Sekolah Rakyat/volkschool), juga tempat mendidik CPNS kolonial. Sekolah Raja awalnya sebuah Normaal School yang berdiri pada 1856.
Namun pada 1873 terjadi perubahan sistem pendidikan, terutama persiapan calon ambtenaar untuk mengisi birokrasi kolonial, sehingga penduduk mengenal lembaga ini dengan nama Sekolah Raja. Nama ini kemudian diadopsi pemerintah kolonial, dan segera menjadi tujuan utama orang tua di tanah Sumatera menyekolahkan anaknya ke Sekolah Raja.
ADVERTISEMENT
Para calon CPNS kolonial di Sekolah Raja mesti lulus seleksi awal sebagai keluarga bangsawan Aceh, Deli, Siak, atau anak Laras Minangkabau (jabatan setingkat bupati di Jawa masa itu). Setiap tahun sekitar 20-an calon CPNS di Sekolah Raja digodok di Bukittinggi, dan selepas pengajaran segera mereka menduduki berbagai jabatan bergengsi di kampungnya masing-masing.
Kehidupan siswa CPNS kolonial di Sekolah Raja penuh disiplin dan ketat dalam aturan. Mereka tidak diizinkan keluar asrama di malam hari. Pakaian mereka mesti necis, dengan sepatu kulit yang mengkilat.
Biasanya para CPNS kolonial itu tidak mau mencuci pakaian mereka sendiri, tapi mereka serahkan pada Tukang Dobi atau laundry dalam istilah hari ini. Sehari-hari calon pangreh praja ini berbahasa Belanda, dan jijik bila berkawan dengan pribumi.
ADVERTISEMENT
Salah seorang tokoh nasional yang pernah bersekolah di Sekolah Raja adalah Tan Malaka. Ia masuk sekolah ini pada 1908 dengan tujuan awal menjadi guru kepala, atau ambtenaar di kampungnya, di Suliki, Sumatera Barat sana.
Namun kegagalan menjadi guru kepala di Belanda dan pertemuannya dengan penderitaan anak bangsanya sendiri mengubah haluan Tan Malaka. Ia kemudian berontak dan menyerukan pembentukan Republik Indonesia melalui karyanya berjudul Naar de Republiek Indonesia pada 1925.
Negeri ini lahir dari anti-tesis kolonial. Kita telah menjalani proses dekoloni atau lepas dari jajahan tanah induk sejak 1950. Tapi satu yang tak bisa kita lepas adalah mentalitas kolonial.
Umur Indonesia yang sudah 78 tahun sudah semestinya mendewasakan kita sebagai bangsa. Bangsa yang dewasa dan matang dimulai dari para ambtenaarnya yang reformis dan jujur. Tanpa itu, kita mungkin tanpa sadar telah melakukan rekolonialisasi: kembali menikmati alam dan mentalitas kolonialisme dari masa 100 tahun lalu. Menyedihkan!
ADVERTISEMENT