Nasi Padang dan RM Padang yang Salah Pandang

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
7 September 2023 6:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi nasi padang. Foto: Michaelnero/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi nasi padang. Foto: Michaelnero/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu lalu seorang kenalan menghubungi saya, meski telah lama kami tak pernah kontak langsung kecuali melalui sambungan media sosial. Ia menelepon meminta waktu untuk diskusi soal rencananya membuat film dokumenter tentang Nasi Padang dan Rumah makan (RM) Padang.
ADVERTISEMENT
Selama hampir setengah jam ia asyik menanyakan banyak hal terkait Nasi Padang dan RM Padang. Ia ingin tahu soal sejarah berdirinya rumah makan Padang. Konteks nasi Padang dengan istilah yang dipakai konsumennya berupa Nasi Ampera.
Orang Sumatera Barat sendiri bila ke rumah makan akan meminta Nasi Ampera. Si kenalan bertanya apakah ada relasi penamaan itu dengan semboyan masa Sukarno dulu. Nasi Ampera yang dijual RM Padang itu apakah maksudnya nasi amanat penderitaan rakyat?

Tionghoa Padang

Ilustrasi Pecinaan Kota Padang masa kolonial. Foto KITLV/Commons Wikimedia.
Pertama, sulit menyatakan kapan tepatnya RM Padang muncul. Sejarawan juga akan kesulitan menentukan siapa pemilik RM Padang pertama di Indonesia.
Padang sendiri sebagai kota bentukan kolonial sekira 3,5 abad lalu tidak memiliki jalinan sejarah yang kuat dengan orang Minangkabau yang tinggal di pedalaman pulau. Padang sejak lama merupakan hunian bekas budak Nias yang ditelantarkan Tuan Kolonialnya, perantau Tionghoa, dan “imigran” Minangkabau sendiri.
ADVERTISEMENT
Jadi istilah RM Padang jelas sebutan akhir-akhir ini. Bila RM Padang diasosiasikan pada perantau Minangkabau, maka hal ini fenomena kontemporer. Bila kita telusuri kisah-kisah roman lampau di masa kolonial, kita tak akan bersua orang Minangkabau penjual makanan, kecuali kain, jasa, atau pegawai negeri.
Jadi darimana RM Padang datang? Kota Padang sendiri sebagai sebutan sebuah rumah makan baru mengenal warung nasi pada masa pendudukan Jepang, sekira 1942-1945. Beberapa lembar arsip yang masih disimpan di Balai Kota menyebutkan sebuah permohonan izin mendirikan warung makan di daerah Alang Lawas, pusat kota, tak jauh dari kantor wali kota sekarang.
Orang pertama yang mengajukan pembukaan RM Padang di kota ini adalah seorang perempuan Tionghoa. Ia mengajukan izin membuka sebuah warung yang menjual nasi pada pejabat kota. Permohonan ini tak lama diikuti orang Tionghoa lain di kawasan Pondok atau Pecinaan Kota Padang.
ADVERTISEMENT
Orang Minangkabau sendiri tak memiliki tradisi menjual nasi. Nasi dengan lauk-pauknya merupakan hal yang sakral bagi mereka. Selain itu, tradisi makan di luar Rumah Gadang tidak diperkenankan kecuali untuk para Parewa atau bandit yang terusir dari keluarga besar mereka. Mereka menjarah, merampok, atau menyamun demi menyambung hidup. Jadi tak heran bila mereka makan relatif bebas di mana saja. Berbanding terbalik dengan “orang normal”.

Bajamba

Ilustrasi makan bajamba di Sawahlunto. Foto Humas Pemko Sawahlunto.
Orang Minangkabau memiliki tradisi makan bersama. Rumah Gadang merupakan tempat makan bersama atau makan bajamba. Setiap hidangan, lapak lauk dan nasi ditempatkan, serta lokasi duduk orang perorangan telah ditentukan berdasarkan status mereka di Rumah Gadang.
Tempat duduk ninik-mamak atau penghulu datuk, tak akan bisa diduduki urang sumando, atau semenda. Biasanya mereka diberikan tempat duduk dekat dengan hidangan utama. Sementara semenda duduk di ujung-ujung. Demikian juga adat makan. Tak elok orang semenda atau yang muda memulai mengambil piring atau menyauk nasi tanpa mendahulukan yang tua atau ninik-mamak.
ADVERTISEMENT
Apakah setelah selesai makan bisa langsung cuci-makan? Tidak boleh bila engku Datuk belum mencuci makan. Bila beliau masih mengunyah makanan, sementara Anda sudah selesai makan di pinggan, maka carilah makan penutup seperti buah pisang, kue bolu, atau agar-agar untuk dilahap meski tangan masih berlepotan kuah gulai kambing.
Hidangan yang disajikan di Rumah Gadang sarat nilai dan makna. Setiap hidangan, letak, dan kekurangan lauk-pauk memiliki fungsi dan informasi. Biasanya para perempuanlah yang menyampaikan maksud hati mereka ke khalayak yang makan melalui berbagai hidangan tersebut.
“Engku Datuk, Buya Pudin, Abak Si Ranti. Silahkan dimakan hidangan yang telah disediakan. Si Ranti tadi memasak semua ini. Semoga senang hati para tuan semua. Sejuk di hati, tenang di dalam kiro-kiro (perasaan)”.
ADVERTISEMENT
Setelah orang-orang memakan hidangan, tersengat lidah engku datuk. Tersebab lidahnya merasakan asinnya gulai kalio kambing Si Ranti. Ia mafhum. Setelah semua piring-piring diantarkan ke dapur, maka berbisiklah engku datuk ke ninik mamak dan ayah Si Ranti. Bertanya apakah Si Ranti sudah hendak menikah?
Apa sebab? Asinnya gulai kalio kambing itu sebagai isyarat dari perempuan dapur untuk mencarikan kemenakannya jodoh. Para ninik-mamak dan sang ayah pun mengangguk-angguk maksud hati Si Ranti dan perempuan di dapur. Demikian filosofi dari praktik makan bajamba di Rumah Gadang orang Minangkabau.
Jadi kemunculan RM Padang, bahkan banyak memakai nama RM Minang hari ini tak lain sebuah fenomena ekonomi. Ia bukan lahir dari kultur orang Minangkabau. Oleh karena itu, kita hanya bisa mengukur level kesejarahannya pada tiap-tiap RM Padang atau RM Minang yang ada. Artinya sejarah RM Padang ada pada masing-masing rumah makan itu.
ADVERTISEMENT
Terakhir tentang Nasi Ampera. Jawabannya bisa jadi mengarah pada Nasi Amanat Penderitaan Rakyat yang menjadi isu pada tahun 1960. Namun Nasi Ampera mungkin saja adaptasi dari nama yang sama dari tempat lain, seperti istilah dari Sunda.
Tetapi bila kita berpatokan pada yang pertama, sulit untuk diterima dalam konteks sejarah masa itu. Ampera yang merupakan judul pidato Presiden Sukarno dalam Kongres Partai Murba pada akhir 1960, tak mungkin dipakai orang Padang sebagai nama jualan nasi mereka.
Sebab pada saat yang sama orang Minangkabau tengah menjadi “etnis pesakitan” karena peristiwa PRRI. Masa ini banyak orang Minangkabau yang menyembunyikan identitas mereka. Apabila mereka ketahuan sebagai orang Minangkabau, maka aparat segera membawa mereka ke kantor untuk ditanyai terkait keterlibatan mereka dalam pemberontakan PRRI. Jadi Nasi Ampera di RM Padang bukanlah berasal dari orang Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Terakhir, kuliner dari Ranah Minangkabau saat ini relatif bisa diterima sebagian besar orang Indonesia. Namun viral atau populernya masakan Rang Awak ini mestinya tidak mengalami proses mitologis.
Tak mesti apa yang menjadi kebanggaan hari ini harus pula memiliki sejarah yang panjang selama 50 tahun sampai berabad-abad lalu. Kadang produk kuliner itu tak lebih sebuah bentuk kreativitas kekinian, tapi juga tak kalah sarat makna dan filosofi kehidupan. Lantas kenapa mesti dicari-cari dalil sejarah yang tak akan ada berkasnya?