Konten dari Pengguna

Pilpres Rasa Kecap Pedas

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
6 September 2023 15:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perlahan, tetabuhan Pemilu serentak, pemilihan anggota DPRD, DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden, mulai terdengar sayup-sayup sampai. Bunyi itu pun mulai diiringi nyanyian caci-maki para pendukung untuk para legislator maupun capres-cawapres. Kita pun para rakyat badarai menyambut (kembali) politik caci-maki. Makin pedas makin cadas!
ADVERTISEMENT
Setiap pemilihan di negeri ini sejak beberapa periode belakangan senantiasa disertai politik caci-maki. Politik caci-maki seakan jadi metode pencarian massa paling efektif ketimbang mengusung rencana-rencana pembangunan Indonesia ke depan. Strategi itu tampak dimainkan di berbagai platform media sosial, terutama para operator pemenangan tiap kubu atau kontestan.
Ilustrasi konflik. Foto Shutterstock.
Jagat bahasa politik kita selalu kaya dengan para kreator yang bekerja mencari istilah baru bahkan pemeo baru. Pemeo baru itu terutama sebagai belati kata-kata yang menusuk lawan-lawan politik patronnya.
Sejak Pilpres 2014, olok-olok pada lawan politik menjadi hal biasa. Drama politik kita memainkan lakon-lakon menjijikkan soal istilah-istilah kotor yang naik panggung.
Kita tahu betapa istilah cebong, kampret, buzzerRp, kadrun, dan banyak lagi merupakan istilah yang lahir dari ekspresi kebencian dan perundungan dalam diskursus politik kita. Dunia politik kita pada tingkatan menengah bawah tengah tidak sehat.
ADVERTISEMENT
Pada lapisan elite atau menengah-atas, wacana kritis pada lawan politik adalah hal biasa. Tak ada lawan atau kawan yang abadi kecuali kepentingan. Jadi tak heran bila Prabowo-Sandi yang menjadi lawan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 dapat bergandeng tangan membentuk kabinet, meski sebelumnya ada drama saling serang kebijakan, sindir, bahkan menjurus pada persoalan hukum.
Tapi pada lapisan menengah-bawah, pasca pembentukan kabinet, istilah cebong, kampret, buzzerRp, kadrun, dan banyak lagi masih tetap hidup. Mereka masih menggunakan pemeo tersebut untuk menyerang orang-orang atau kelompok lain yang mendukung Jokowi cs atau Prabowo cs, meski Pilpres telah usai.
Pada Pilpres 2024 mendatang, para elite yang bertikai di Pilpres 2019 mulai membentuk pola kisaran baru. Dulu teman sekarang lawan. Kemarin sobat kini pengkhianat. Macam-macam sebutannya.
ADVERTISEMENT
Namun seiring meningkatnya arus tegangan pada Pilpres, terutama pada masa kampanye, kita akan disuguhkan pemeo-pemeo baru yang mungkin (tak kalah) sadis dari periode lalu. Ini menariknya Pilpres di negeri kita. Pilpres rasa kecap pedas.

Mencari jarum di tumpukan jerami

Salah satu partai politik yang terkenal dengan agitasi melalui kata-kata kasar, caci-maki, dan perundungan adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI sejak Pemilu 1955 sampai kehancurannya pada 1966 menggunakan narasi-narasi kebencian pada satu kelompok untuk mendapatkan kekuasaan.
Pemeo “setan desa”, “Manikebu”, “bajingan tengik”, dan banyak lagi sering berhamburan secara lisan dan tulisan dari para pemimpin PKI. Mereka menggunakan kata-kata vulgar tersebut untuk menunjukkan kebusukan para ulama, lurah, atau lawan-lawan politiknya yang lain. Ucapan vulgar dan narasi kebencian yang dihamburkan dari lisan pemimpin PKI umumnya mereka sampaikan dalam berbagai rapat-rapat umum yang menghadirkan ribuan massa pendukung.
ADVERTISEMENT
Salah satu keuntungan PKI dapat mendatangkan massa pada tiap rapat umum mereka pada 1960an adalah adanya konsep Nasakom. Nasakom adalah singkatan dari nasionalisme, agama, dan komunisme.
PKI melalui kampanye Nasakom memaksakan adanya perwakilan komunis di berbagai daerah atau level kekuasaan, meski area itu tidak ada pendukung mereka. Semua dari tingkat provinsi sampai kelurahan mesti ada unsur Nasakom!
Demikian PKI memainkan isu politik kala itu. Kemampuan mereka memainkan isu-isu melalui kata-kata cacian pada setiap rapat-rapat umum membuat elite partai ini merasa telah menguasai panggung kekuasaan di Indonesia.
Kepercayaan diri para elite ini yang coba mereka tes pada Gerakan 30 September tahun 1965. Namun testing the water para elite PKI ini ternyata gagal mendapat dukungan rakyat. Terbukti dalam hitungan singkat tentara dapat menghancurkan gerakan para elite partai ini, dan berimbas pada orang-orang yang dulu hanya ikut-ikutan karena takut pada PKI.
ADVERTISEMENT
Menurut Bung Hatta hal itu disebabkan praktik kampanye Aidit (ketua PKI) yang mendasarkan pengerahan-pengerahan massa dan agitasi serta teror mental. Akibatnya banyak orang hanya ikut-ikutan untuk mengamankan diri saja.
“Itulah akibat dari kenyataan, bahwa faktor pendidikan dan keinsyafan tidak didahulukannya, bahkan diabaikannya...” sebut Bung Hatta (Bung Hatta Menjawab, 1979) kala menganalisis kenapa PKI yang katanya partai komunis nomor lima besar dunia dengan cepat hancur di tangan tentara pada 1966.
Praktik politik santun dalam tradisi pemilihan kita ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Para elite kita tahu konsep politik santun sebagai bagian dari identitas yang diwarisi dari para bapak bangsa. Namun bagi mereka mendapatkan suara melalui simpati atau dukungan kemarahan, dan kebencian pada satu kaum lebih penting daripada keinsafan rakyat untuk memilih mereka.
ADVERTISEMENT
Rakyat yang insaf tak akan mau memilih elite yang menjual kecap pedas dalam kampanye mereka. Mereka tahu, bila sempat kecap pedas itu mereka icip-icip saja, alamat cepat naik asam lambung kesengsaraan mereka untuk beberapa tahun mendatang.