Konten dari Pengguna

Bagaimana Seharusnya Khalayak Menanggapi Kasus Pelecehan terhadap Perempuan?

Sekar Mutiara A
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
7 Januari 2022 19:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sekar Mutiara A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan menangis. Sumber: dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan menangis. Sumber: dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Golongan patriarki kerap kali menganggap mereka lebih unggul dibandingkan perempuan. Budaya patriarki juga memposisikan laki-laki sebagai pihak yang gagah dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apa pun terhadap perempuan. Budaya ini juga memberikan konstruksi dan pola pikir apabila laki-laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas sementara femininitas sendiri diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang lemah. Selain itu mereka juga berpikiran bahwa perempuan hanyalah objek pemuas.
ADVERTISEMENT
Latar belakang permasalahan Sustainable Development Goals (SDG's) nomer 5 terkait gender equality adalah 1 dari 3 perempuan (763 juta orang) pernah menjadi subjek fisik dan/atau pelecehan seksual. SDG's nomer 5 ini bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi, kekerasan terhadap wanita dan juga menempatkan wanita sejajar dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan.
Komnas Perempuan di Indonesia telah menerima setidaknya kurang lebih 4.500 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Oktober 2021. Angka ini terbilang mencengangkan karena naik dua kali lipat dibandingkan 2020. Terjadinya kasus pelecehan dan kekerasan terhadap anak dikarenakan anak belum dibekali ilmu reproduksi sejak dini. Orang tua seharusnya mengenalkan langkah pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual sebelum benar benar melepas anak untuk melihat dunia luar. Kesadaran kaum laki-laki terhadap pelecehan pun harus ditingkatkan. Selama ini, banyak orang yang justru menyalahkan perempuan karena selalu dianggap “memancing” laki-laki. Namun alangkah baiknya orang tua juga mengajarkan anak laki-lakinya untuk tidak melakukan perbuatan tercela tersebut.
ADVERTISEMENT
Penerimaan kasus oleh Komnas Perempuan ini dibarengi dengan beberapa kasus viral yang mencuat ke permukaan. Salah satunya adalah kasus Herry Wirawan, seorang ustaz asal Jawa Barat yang perkosa 21 santriwatinya. Kasus ini menuai kritik pedas karena seorang guru agama yang seharusnya mengajarkan kebaikan justru menjebak santri dan memperkosa santri.
Lalu bagaimana respons khalayak?
Khalayak sendiri berasal dari kata "audire" yang berarti mendengar dalam Bahasa Yunani (Whiney, 2009:126). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, khalayak diartikan— salah satunya sebagai “kelompok tertentu dalam masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi”. Namun, kata khalayak (audiences) selalu mengalami perkembangan, tidak statis tapi tidak selamanya dinamis, kadang pasif dan juga dengan kemajuan teknologi khalayak menjadi aktif.
Sementara khalayak aktif adalah khalayak yang justru aktif, sangat berdaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi. Penonton memiliki kekuatan untuk menghalangi dan menyerap semua rangsangan yang bersentuhan dengannya. Berkaitan dengan hal tersebut, para ahli termasuk Wilbur Schramm dan Roberts (dalam Nimmo 2011) mengoreksi teori mereka dan mengakui adanya teori baru yang disebut teori khalayak kepala batu (the obstinate audience theory).
ADVERTISEMENT
Khalayak pasif dalam kasus ini dapat terlihat dari beberapa oknum seperti guru-guru di Boarding School milik tersangka Herry Wirawan yang terkesan sama sekali tidak peduli dan tidak mengeluarkan pendapat di berbagai kesempatan. Sedangkan khalayak aktif adalah yang ikut serta menyebarkan kesadaran betapa bahayanya pelaku kejahatan. Khalayak aktif pula ikut berkomentar dalam video media sosial maupun dalam berita terkini di berbagai website.
Lalu bagaimana posisi perempuan?
Dari sudut pandang subjektif, perempuan selalu menjadi kaum minoritas sejak dulu. Bahkan hingga kini perempuan masih ditempatkan pada posisi “kedua” dalam berbagai hal. Walaupun Ibu Kartini telah berhasil menjadi pelopor emansipasi perempuan, nyatanya perempuan masih dianggap hanya remahan kecil. Dalam kasus Herry Wirawan ini, sangat terlihat perempuan tidak bisa untuk mengutarakan pendapatnya dengan bebas. Masih ada anggapan bahwa mengutarakan hal seperti pelecehan dan kekerasan seksual adalah hal yang tabu.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan kekuasaan yang terjadi, mengakibatkan wanita harus tutup mulut demi dianggap sebagai wanita “baik”. Penggambaran ketidaksetaraan perempuan ini diwujudkan dalam pandangan yang menempatkan perempuan di ranah keluarga. Dibandingkan dengan laki-laki yang selalu dianggap sebagai fondasi ekonomi masyarakat. Subyek percakapan selalu dianggap sebagai komunikasi sosial yang penting (Reiter,1975:12).
Dilihat dari kasus ini saya sangat setuju bila pelaku, Herry Wirawan diberi hukuman yang sepantasnya. Mengingat ia adalah guru agama di Boarding School. Hukuman harus diberikan baik itu mengikuti prosedur agama maupun prosedur Pemerintahan RI. Namun, sekencang-kencangnya hukuman yang diberikan kepada pelaku, tidak akan sebanding dengan rasa sakit hati korban dan orang tua. Pemberian hukuman juga tak sebanding dengan suara yang selama ini telah dibungkam.
ADVERTISEMENT
Sebagai perempuan, kita juga harus bisa menjaga diri dengan cara selalu memproteksi diri dari segala gangguan dan ancaman laki-laki. Namun bila terjadi hal yang tidak diinginkan segera kumpulkan bukti sebanyaknya, bercerita kepada orang terdekat yang akan selalu memberi support dan lapor ke pihak berwajib seperti Komnas Perempuan dan Kepolisian.
Daftar Pustaka
https://news.detik.com/berita/d-5843373/komnas-perempuan-terima-4500-aduan-kekerasan-seksual-di-januari-oktober-2021.
Sakina, A. I. (2017). Menyoroti budaya patriarki di Indonesia. Share: Social Work Journal, 7(1), 71-80.
Nasrullah, M. S., & Rulli, D. (2018). Riset khalayak digital: Perspektif khalayak media dan realitas virtual di media sosial. Bandung Institute of Technology.
Turistiati, A. T. (2016). Fenomena Black Campaign Dalam Pemilihan Kepala Daerah 2015. Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, 8(2), 208-215.