Konten dari Pengguna

Adanya Relaksasi Peraturan Pemerintah, Industri Tekstil Kian Terpuruk

Sekarsari Sugihartono
Mahasiswi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Studi Hubungan Internasional
26 Juni 2024 12:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sekarsari Sugihartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada hari Selasa, 25 Juni 2024, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) di Solo menyelenggarakan konferensi pers untuk menanggapi kondisi industri TPT yang semakin terpuruk. Wakil Ketua API Jawa Tengah, Liliek Setiawan, menyatakan bahwa lesunya industri tekstil Indonesia disebabkan oleh maraknya Predatory Pricing dimana adanya strategi ilegal menjual barang di bawah harga yang merupakan salah satu trik perdagangan yang bertujuan untuk monopoli pasar. Secara alamiah konsumen akan mencari penjual yang membanderol barang dengan harga murah. Secara garis besar, perilaku predatory pricing memberikan banyak dampak merugikan bagi semua pihak. Di Indonesia, praktik perdagangan dengan sistem tersebut seharusnya mendapatkan peringatan keras dari Kemenkop UMKM.
Konferensi Pers Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah di AK-Teksti Solo pada tanggal 25 Juni 2024. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah di AK-Teksti Solo pada tanggal 25 Juni 2024. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Kondisi industri TPT di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan, yang secara garis besar diakibatkan oleh kondisi perekonomian saat pandemi Covid-19, diikuti dengan faktor geopolitik dengan adanya perang antara Rusia dan Ukraina sehingga menyebabkan pergeseran priority spending bagi para konsumen tekstil Indonesia dari negara lain khususnya di kawasan Eropa, tak terkecuali disebabkan juga oleh adanya pergeseran industri tekstil dari China ke Indo China (seperti Kamboja, Laos, Vietnam, dan Myanmar) serta IPB (India, Pakistan, dan Bangladesh) yang meningkatkan daya saing industri TPT di Indonesia dalam pasar dunia.
ADVERTISEMENT
Munculnya Permendag No 36 Tahun 2023 cukup membuat industri tekstil dapat bernafas lega sebab adanya proteksi yang solid terhadap impor ilegal, namun dengan diubahnya peraturan tersebut menjadi Permendag No 8 Tahun 2024 yang kembali memberi relaksasi terhadap impor yang masuk, kembali menjatuhkan industri tekstil karena tidak adanya perlindungan yang kuat terhadap komoditas produksi tekstil dalam negeri. Hal ini tentunya menjadi polemik yang sangat besar, mengingat industri TPT di Indonesia menyerap setidaknya 3,6 juta tenaga kerja setiap tahunnya terhitung pada tahun 2022 dan menyumbang sekitar 6,38 persen PDB dari sektor nonmigas di tahun yang sama.
Industri Tekstil Indonesia yang menyerap setidaknya 43% tenaga kerja secara nasional yang tengah mengalami keterpurukan. Sumber: AsiaToday.id
Keterpurukan industri tekstil tentunya sangat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dan pemasukan devisa negara. Adanya inkonsistensi dalam peraturan pemerintah sudah cukup menyulitkan industri TPT, apalagi ditambah dengan faktor eksternal seperti kondisi geopolitik dan persaingan harga di pasar dunia.
ADVERTISEMENT
Pak Lilik menyatakan bahwa utilitas industri tekstil yang dulunya berada di 100% sekarang menurun drastis menjadi 45%, sedangkan sektor ini dari hulu ke hilir sangat menyerap banyak tenaga kerja khususnya di sektor hilir, apabila utilitas terus menurun maka semua komponen akan ikut turun juga. Industri TPT merupakan industri yang sangat berkaitan dengan sektor lain, seperti tenaga kerja, pendidikan, dan transportasi.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) berharap bahwa aturan pemerintah dapat diperketat mengenai impor ilegal yang masuk serta dilakukannya konsistensi dalam pembuatan peraturan tersebut. Apabila aturan terus diubah dan relaksasi terus dilakukan maka industri TPT akan semakin terpuruk dan susah untuk pulih lagi.