Dilema China dalam Memperkuat Hubungan Diplomatis dengan Rusia

Sekarsari Sugihartono
Mahasiswi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Studi Hubungan Internasional
Konten dari Pengguna
21 Maret 2023 6:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sekarsari Sugihartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan pidato tahunannya kepada Majelis Federal di Moskow, Rusia, Rabu (21/2/2023). Foto: Sputnik/Pavel Bednyakov/Kremlin via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan pidato tahunannya kepada Majelis Federal di Moskow, Rusia, Rabu (21/2/2023). Foto: Sputnik/Pavel Bednyakov/Kremlin via REUTERS
ADVERTISEMENT
Pada hari Jumat, 17 Maret 2023, Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) telah mengeluarkan surat penangkapan terhadap President Rusia, Vladimir Putin, dengan tuduhan ia telah melakukan kejahatan perang dengan mendeportasi secara illegal ratusan anak dari Ukraina.
ADVERTISEMENT
Hal ini menyatakan bahwa 123 negara anggota wajib menangkap Putin dan memindahkannya ke Den Haag untuk diadili. Pihak Rusia membantah akan tuduhan kejahatan ini dan menganggap bahwa surat penangkapan ini merupakan bentuk kegagalan hukum.
Meskipun Rusia menghadapi ancaman dan berada di posisi yang rapuh, tidak membuat Presiden China, Xi Jinping gentar dalam membangun hubungan diplomasi yang kuat dengan Rusia.
Pada hari Senin, Xi Jinping melakukan kunjungan diplomatis ke Rusia untuk menemui Putin dengan tujuan untuk memperkuat hubungan kedua negara.
Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden China Xi Jinping saat bertemu di St. Petersburg pada 6 Juni 2019. Foto: Dmitry Lovetsky/KOLAM/AFP
Presiden Putin menyambut positif kunjungan ini dan secara tidak langsung mengakui pada dunia bahwa Rusia memiliki China sebagai sekutu mereka. Semenjak dilantik untuk ketiga kalinya sebagai Presiden China, Xi telah menyatakan tekadnya untuk membawa China sebagai global peacemaker atau pembuat perdamaian global.
ADVERTISEMENT
Xi juga mengkritik negara-negara Barat yang telah mengeluarkan sanksi kepada Rusia, yang secara tidak langsung menegaskan akan hubungan dekatnya dengan Negara Beruang Merah tersebut. Xi menyatakan bahwa ia akan tetap bertindak netral terhadap perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Pada bulan lalu, Xi merilis The China Proposal, sebuah makalah yang berisi 12 poin dengan inti bahwa ia mewakili kesatuan pandangan masyarakat dunia sebanyak mungkin.
"Dokumen tersebut berfungsi sebagai faktor konstruktif dalam menetralkan konsekuensi krisis dan mempromosikan penyelesaian politik. Masalah yang kompleks tidak memiliki solusi yang sederhana," kata Xi, merujuk pada kekhawatiran isu perang antara Rusia dan Ukraina. Ia juga menyatakan bahwa resolusi ini diharapkan dapat memastikan stabilitas produksi global dan rantai pasokan.
Pertemuan Vladimir Putin dengan Xi Jinping di Beijing. Foto: Sputnik/Aleksey Druzhinin/Kremlin via REUTERS
Langkah yang diambil Xi tentu mendatangkan banyak kehawatiran dan sikap skeptis dari banyak pengamat. Selama bertahun-tahun China telah membangun hubungan yang kuat dengan Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya terkuat, dengan kerja sama yang terbangun dengan solid, China telah berhasil menciptakan harmonisasi hubungan ekonomi, perdagangan, dan banyak sektor lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan pernyataan Xi akan dukungannya terhadap Rusia, yang bisa dikatakan musuh dari negara-negara barat untuk saat ini, akan memposisikan China di tempat yang kritis dan lemah. Saat ini negara-negara Barat sudah mengeluarkan sanksi dan melakukan pemboikotan terhadap berbagai pengiriman pasokan dari Rusia, yang melemahkan kondisi ekonomi mereka.
Apabila Xi tetap melakukan penguatan hubungan diplomasi ini, China mungkin saja akan mengalami efek domino dari konflik yang dialami Rusia dengan negara-negara barat.
Amerika Serikat juga telah menuduh China memasok senjata kepada Rusia yang secara langsung ditampik oleh Xi. Ia menyatakan bahwa hubungannya dengan Rusia hanya bertujuan untuk memperkuat persahabatan antar kedua negara dan menciptakan kemitraan menyeluruh dan interaksi strategis di tengah serangan tindakan hegemoni dan perundungan.
Presiden China Xi Jinping berbicara selama sesi penutupan Kongres Rakyat Nasional (NPC) di Aula Besar Rakyat di Beijing pada 13 Maret 2023. Foto: Noel Celis/Pool/AFP
"Tidak ada model pemerintahan universal dan tidak ada tatanan dunia di mana kata yang menentukan adalah milik satu negara, solidaritas global dan perdamaian tanpa perpecahan dan pergolakan adalah kepentingan bersama seluruh umat manusia," kata Xi.
ADVERTISEMENT
Langkah yang diambil Xi merupakan tindakan yang berani dan tegas, mengingat China dan Amerika Serikat juga sedang bersitegang karena balon mata-mata China ditembak jatuh oleh Pentagon beberapa waktu silam.
Polemik hubungan diplomasi China dan Rusia sangat rumit dan membuat penasaran banyak pihak, hal ini bisa membawa hasil yang baik maupun buruk.
Apabila China memperkuat hubungannya dengan Rusia, tentu akan mendatangkan banyak kesempatan kerja sama baru dengan Soviet, baik itu ekonomi, perdagangan, militer, dan lain-lain.
Di satu sisi, China juga akan menghadapi perlawanan dari negara-negara barat atau mungkin seluruh dunia karena dukungannya terhadap Rusia, yang dapat mengakibatkan banyak sanksi dan pemboikotan seperti yang telah mereka lakukan kepada Rusia.